Oleh Husna Nashihin

Kedermawanan menjadi harga yang sangat mahal saat ini. Sementara sikap pelit, tidak mau berbagi, dan hobi menumpuk harta menjadi semakin populer di kalangan masyarakat elit yang sebenarnya memiliki kesempatan dan daya untuk mempraktikan sikap dermawan. Ironisnya, terkadang masyarakat kelas bawah justru yang banyak mempraktikan sikap kedermawanan ditengah segala keterbatasan ekonomi yang dimiliki.

Potret ini menjadi tamparan keras bagi pendidikan Indonesia dalam membentuk karakter kedermawanan sosial. Kemanakah pendidikan karakter yang seharusnya mampu membentuk manusia menjadi dermawan dan tidak pelit dalam berbagi harta?

Parahnya, realitas ini dikuatkan dengan data kesenjangan sosial ekonomi masyarakat yang semakin tinggi. Gampangnya, masyarakat yang miskin semakin miskin, masyarakat yang kaya semakin kaya. Apakah realitas seperti ini yang diinginkan pendidikan Indonesia sebagai tonggak perubahan sosial di masyarakat?

Ketika beberapa bulan menjadi warga Temanggung, ada satu tradisi masyarakat tepatnya di daerah Traji, Ngadirejo, Parakan, Temanggung yang masih nguri-uri atau menjaga tradisi “Pasar Papringan”. Rasa kaget yang sekaligus membuat rasa penasaran semakin meningkat tatkala mengetahui transaksi yang dilakukan bukan menggunakan uang resmi, melainkan dengan menggunakan daun bambu (daun pring).



Sepintas dalam benak berkata, ini gila? Tradisi seperti ini harus dipandang sebagai tradisi konyol yang menyalahi ketentuan ataukah tradisi yang harus dilestarikan sebagai warisan nenek moyang? Terlepas dari pertanyaan ini dan jawaban apapun, rupanya masyarakat di Parakan, Temanggung masih dan akan terus melestarikan tradisi lama ini.

Jika coba menilik menggunakan perspektif pendidikan, ternyata ada banyak nilai pendidikan yang bisa terkuak, terutama pendidikan karakter. Bahkan, bisa dibilang, tradisi semacam ini merupakan basis pendidikan karakter pada masyarakat yang cukup ampuh untuk dilestarikan. Lantas, nilai pendidikan karakter apa yang terkandung dalam tradisi ini?

Pasar Papringan merupakan tradisi yang diselenggarakan di perkebunan pohon bambu atau yang dalam bahasa Jawa disebut pring. Papringan sendiri berasal dari kata pring yang berarti daun bambu, sehingga tidak heran jika tradisi ini juga menggunakan daun pring sebagai alat jual beli makanan.

Pada dasarnya, masyarakat di Parakan hanya berusaha melakukan sedekah kepada masyarakat lain dalam tradisi ini, hanya saja diwujudkan melalui sebuah tradisi yang merupakan warisan nenek moyang. Makanan yang diperjualbelikan antara lain, snak kering atau cemilan, jajanan pasar, kue tradisional, gorengan, olahan ketan seperti wajik dan jadah, dan lain sebagainya.

Tradisi ini dilaksanakan setiap 45 hari sekali dan berlangsung selama satu hari. Dalam waktu sehari, masyarakat sekitar desa Traji ini sudah mempersiapkan tempat dan barang dagangannya. Selanjutnya, masyarakat dari seluruh penjuru Temanggung datang untuk membeli dagangan tersebut dengan menggunakan daun pring sebagai alat jual beli. Ada yang harganya satu pring, dua pring, dan seterusnya.

Tradisi yang menjadi produk kebudayaan masyarakat ini sejatinya jika dilihat dari sudut pandang pendidikan, merupakan cerminan pendidikan kedermawanan sosial pada masyarakat Temanggung. Bagaimana tidak, dagangan yang seharusnya dijual untuk mendapatkan keuntungan, justru dibeli dengan menggunakan daun pring yang notabene tidak bisa digunakan sebagai alat jual beli di tempat lain?

Berdasakan wawancara dengan para pedagang, bisa dipastikan bahwa niat semua masyarakat yang menjajakan dagangannya pada tradisi Pasar Papringan ini adalah sedekah atau dermawan. Proses jual beli menggunakan daun pring hanya menjadi tradisi yang menjadi kekayaan budaya lokal semata, bukan lantas menjadikan daun pring sebagai sebuah “keberkahan” apalagi sebagai alat jual beli yang sebenarnya.

Tradisi Pasar Papringan semacam ini sangat layak untuk dipraktikan dan dijadikan model pengembangan pendidikan dan kebudayaan pada masyarakat lain. Sebagai sebuah kebudayaan, tentunya praktik ini mampu menjadi basis pendidikan karakter kedermawanan sosial di tempat lain, karena bagaimanapun juga antara pendidikan dan kebudayaan harus bersinergi dalam mewujudkan pendidikan karakter yang komprehensif dan ampuh.

-Penulis merupakan akademisi STAINU Temanggung.
Bagikan :

Tambahkan Komentar