Oleh Miftaf Pradika Putra

Kader Rayon Makukuhan Komisariat Trisula INISNU Temanggung


Memahami hakikat modersi dalam Islam dan cakupannya, merupakan sebuah keniscayaan guna memperoleh rahmat dan karunia Tuhannya. Dengan bersikap moderat dalam beragama, manusia akan merasakan kenyamanan dan kemudahan dalam hidupnya. Karena sifat moderat tersebut merupakan ajaran Islam yang terbaik dan paling bijak. Nilai yang terkandung didalamnya sangatlah komprehensif dan dapat mencakup segala lini kehidupan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “moderasi” diartikan sebagai pengurangan kekerasan atau menghindari sesuatu yang bersifat ekstrem. Sedangkan kata “moderat” berarti selalu menghindari suatu hal yang sifatnya ekstrem dan lebih condong kearah jalan tengah. Moderasi dalam ajaran Islam mencakup moderasi tempat, moderasi zaman, moderasi aqidah, moderasi ibadah, dan moderasi akhlaq.

Namun, disisi lain juga meliputi aspek kehidupan berkeluarga, atau lebih tepatnya adalah hukum keluarga. Oleh karenanya, secara intens hakikat moderasi dalam islam juga mencakup pembahasan tentang moderasi dalam hukum keluarga Islam. Karena hukum keluarga merupakan ajaran Islam yang terlihat jelas memiliki karakter moderat. Dan keluarga merupakan bagian terpenting dalam masyarakat, dimana kebaikan masyarakat akan terwujud dengan adanya kebaikan keluaga, dan sebaliknya.

Melalui sikap moderat dalam berkeluarga, kegaduhan dan ketidakharmonisan keluarga dengan sendirinya akan sirna. Bahkan, dengan adanya paham moderat dalam keluarga, juga dapat memberikan sumbangsih dalam rangka memperbaiki kualitas keluarga.

Moderasi Poligami

“dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat.”

Redaksi ayat dalam surah al-Nisa’ ayat 3 yang memiliki arti seperti yang telah disebutkan di atas kerap kali diartikan secara sempit, bahwasannya praktek poligami dalam Islam merupakan bagian dari praktek sunah. Padahal sejatinya ayat tersebut jauh untuk dipahami sebagai ayat yang menganjurkan dan mewajibkan utuk berpoligami.

Bahkan Islam mebatasi jumlah istri dalam jumlah istri empat ini tidaklah bersifat mutlak, melainkan dibarengi dengan berbagai persyaratan yang tidaklah mudah. Redaksi tersebut hanya berbicara tentang bolehnya melakukan poligamy apabila seorang suami mampu menerapkan keadilan diantara istri-istrinya.

Namun bersikap adil diantara istri merupakan perkara yang sulit untuk diwujudkan, bahkan sekuat-kuatnya keinginan manusia untuk berlaku adil terhadap istri pasti tidak akan mampu mewujudkannya. Dalam hal ini, Al-Qur’an mengarahkan kita untuk melakukan praktek monogami, dan poligami hanyalah sebuah produk hukum Al-Qur’an yang sifatnya fleksibel. Poligami dapat pula dijadikan alternatif yang diperbolehkan dalam Islam demi sebuah kemaslahatan. Sebaliknya, poligami tidak dianjurkan dalam ajaran Islam apabila nilai kemaslahatannya terkalahkan oleh nilai kemudharatan. Atau dengan kata lain, potensi datangnya kemudharatan lebih besar daripada kemaslahatannya.

Dari pembahasan tersebut, dapat dikatakan bahwa praktek poligami pada dasarnya adalah praktek moderat diantara praktek monogami dan prektek pernikahan tanpa batas. Kemudian ketika praktek poligami dilakukan secara moderat dapat meminimalisir dampak negatif yang muncul dari praktek itu sendiri. Di sisi lain juga dapat meminimalisir merebaknya praktek keji dalam masyarakat.

Moderasi Pembagian Harta Waris

Jenis kelamin laki-laki maupun perempuan dalam hukum waris bukanlah sebagai ukuran perbedaan secara mutlak. Akan tetapi, ada beberapa hal yang menjadi ukuran perbedaan selain menggunakan jenis kelamin. Pertama, tingkat kekerabatan. Semakin tinggi haknya dalam waris abapila tingkat kekerabatannya dengan si mayit semakin dekat.

Kedua, memandang posisi generasi pewaris dalam tingkatan maupun mata rantai generasi. Semakin kecil umur seorang pewaris, dari generasi yang menyongsong kehidupan dan menghadapi tanggung jawab yang semakin berkembang, maka semakin besar pula bagian warisnya. Dengan hal demikian, putra si mayit lebih banyak mendapat warisan daripada ayah si mayit, padahal keduanya sama-sama laki-laki. Kemudian puteri si mayit mendapatkan warisan lebih banyak dari ibunya, padahal keduaanya adalah perempuan. Dan bahkan puteri si mayit mewarisi lebih banyak daripada ayah si mayit.

Ketiga, beban finansial. Apabila kedua faktor tersebut telah seimbang dalam hal tingkatan maupun posisi, dan yang membedakan hanyalah antara anak laki-laki yang diberi beban untuk menafkahi istri, keluarga, dan anak-anaknya, maka bagian laki-laki sama dengan bagian dua perempuan.

Dalam berbagai pembagian tersebut sama sekali tidak ada unsur deskriminasi, dan yang ada justru mengistimewakan perempuan sebagai bentuk kehati-hatian karena lemahnya. Lalu kenapa laki-laki lebih mendapat bagian yang lebih banyak dari perempuan? Karena dalam Islam kaum laki-laki dari segi materi memiliki kewajiban yang lebih berat dibanding perempuan. Sebab Islam mengharuskan para suami untuk menafkahi istri dan segenap keluarganya. Disisilain, dalam waktu yang bersamaan, Islam juga tidak membebani istri dengan beban materi apapun untuk orang lain selainnya.

Hukum Islam ketika dipelajari dan dipahami secara komprehensif, tidak memungkinkan lagi seorang individu maupun kelompok mengatakan bahwasannya dalam Islam terdapat praktek deskriminasi. Bahkan dalam pembagian hukum waris juga sejatinya lebih menguntungkan kaum perempuan dibandingkan dengan kaum laki-laki.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembagian harta waris merupakan pembagian moderat diantara praktek deskriminasi dengan praktek kesetaraan. Praktek deskriminasi yang dimaksud adalah praktek yang tidak memberikan hak waris terhadap kaum perempuan. Dan praktek kesetaraan adalah praktek yang berupaya untuk menyamakan hak laki-laki dan perempuan.

Moderasi Pembayaran dan Kepemilikan Mahar

Pada masa pra Islam, kerap sekali terjadi praktek eksploitasi terhadap perempuan, dan salah satunya adalah dalam hal pembayan dan kepemilikan mahar. Karena pada masa Arab Jahiliyah sering terjadi pernikahan tanpa mahar. Atau dengan kata lain, seorang laki-laki menikahi perempuan dengan tidak memberikan maupun membayar mahar.

Dan ketika seorang laki-laki mampu memberikan mahar, seorang perempuan sama sekali tidak berhak atas maharnya. Karena mahar tersebut menjadi hak milik orang tua maupun wali dari perempuan tersebut

Akan tetapi sekarang berbalik fakta, pada masyarakat modern seperti saat ini banyak pihak perempuan yang senang meninggikan harga mahar. Sehingga hal tersebut terkesan mengandung unsur komersialisasi dalam pembayaran mahar. Masalah inilah yang menjadikan seorang laki-laki telat menikah. Karena untuk memenuhi kemauan kaum perempuan, mereka akan menabung terlebih dahulu, dan itupun membutuhkan waktu yang cukup lama.

Islam dengan ajarannya yang moderat berupaya memberikan jalan tengan diantara dua fenomena negatif diatas. Karena sejatinya mahar diperuntukkan untuk kaum perempuan yang hendak dinikahi, bukan untuk orang tuanya bahkan orang lain. Disisi lain, mahar juga di syariatkan dalam Islam untuk memuliakan kaum perempuan.

Batasan minimum maupun maksimum juga tidak ditentukan oleh ajaran Islam. Karena kuantitas maupun kualitas mahar adalah relatif bisa berbeda, tergantung adat istiadat setempat. Atas dasar tersebut, dalam hal pembayaran mahar, syariat Islam juga memberikan kelonggaran sesuai dengan kesanggupan dan kemampuan pihak laki-laki. Karena yang terpenting hanyalah mahar tersebut memilki nilai yang tidak memberatkan kedua calon mempelai dan telah disepakati oleh keduanya.

Dengan begitu, ajaran seputar pembayaran dan kepemilikan mahar tersebut juga memiliki nilai-nilai moderasi didalamnya. Dimana hukum Islam tersebut dapat menjadi jalan tengah diantara praktek eksploitasi yang menguntungkan para wali dan praktek komersalisasi yang merugikan calon suami.

Dari beberapa penjelasan tentang moderasi yang ada di dalam hukum keluarga Islam, dapat memberikan sebuah kesimpulan. Bahwa membumikan nilai-nilai moderasi hukum keluarga merupakan sebuah keniscayaan ditengah fenomena ekstrimisme yang kian merebak. Dengan menjadi penengah antara pemikiran ekstrim kanan maupun kiri, dapat juga menghadirkan ajaran Islam yang orisinil. Bukan menjadi ajaran yang diskriminatif terhadap perempuan, seperti yang dituduhkan selama ini. Akan tetapi menjadi sebuah ajaran yang memberikan keadilan terhadap semua manusia di muka bumi ini.


Bagikan :

Tambahkan Komentar