Betapa menggelisahkannya. Aku jatuh hati kepada seorang perempuan, tetapi aku sama sekali tak punya kepercayaan diri untuk menyatakannya. Aku merasa tidak punya daya tarik, sedang ia memang tidak menunjukkan gelagat ketertarikan kepadaku. 

"Harus bagaimana, ya? Aku jatuh hati kepadanya, tetapi aku ragu kalau perasaanku akan berbalas," tuturku kemudian, kepada Herman, seorang kerabatku, dua bulan yang lalu, saat kami sedang makan siang di sebuah warung, di tengah jam istirahat kami sebagai karyawan sebuah pabrik pakan ternak.

Herman sontak tertawa panjang. Sesaat kemudian, ia pun menanggapi dengan raut meledek, "Kau memang patut ragu-ragu untuk mendapatkan perempuan sesempurna dia. Aku saja merasa akan tertolak kalau sama dia, padahal aku jelas lebih tampan darimu."

Aku pun melengos atas remehannya.

"Saranku sih, lebih baik kau memendam dan meredam perasaanmu kepadanya, daripada kau kecewa setelah mendapatkan jawaban yang menyakitkan," katanya, lantas menepuk-nepuk punggungku.

"He, perasaan itu tidak mungkin bisa dihapuskan begitu saja,” kesalku atas responsnya yang sama sekali tidak mengandung solusi. “Kau pernah jatuh hati kepada perempuan, tidak, sih?"

Ia lantas tergelak keras. "Baiklah. Kalau kau memang ingin memaksakan, ya, tidak ada jalan lain, dukun harus bertindak. Kau mesti menemui Mbah Jasi."

Karena kesal terhadap sikap penghinaannya, aku pun tak lagi membalas. Tetapi diam-diam, aku mempertimbangkan juga sarannya itu, hingga aku benar-benar melakukannya. 

Tetapi setelah semua terjadi, aku malah tak mengerti tentang perasaanku sendiri. Aku telah mendapatkan seseorang yang kuinginkan, tetapi aku malah kehilangan selera untuk melakukan apa yang sedari dahulu kuinginkan. Aku telah menikahi sang wanita pujaanku, tetapi aku malah tidak bernafsu untuk menyentuhnya. Aku hanya terus bergelut dengan isi pikiranku ketika ia tengah berada di atas kasur.

Malam pertama bulan madu kami, akhirnya lewat begitu saja. Kami hanya mengobrol perihal pesta pernikahan kami, kemudian kelelahan dan tertidur pulas. Lalu di malam kedua ini, aku masih saja tidak punya daya untuk melakukan hubungan yang intim. Aku merasa tak tega untuk merenggut kewanitaannya atas perikatan kami yang tak benar-benar dilandasi oleh cinta yang murni. 

Detik demi detik bergulir, dan perasaanku makin kecut saja. Aku sesekali meliriknya, dan aku makin kasihan kepadanya. Bagaimanapun, ia tak benar-benar mencintaiku. Ia tak akan berada di sisiku jika saja aku tidak memperdayanya dengan pelet. Karena itu, aku jadi mengutuki ketegaanku sendiri yang telah menaklukkannya dengan cara yang terlarang.

Aku memang telah menemui Jasi sekitar dua bulan yang lalu. Aku meminta bantuan kepadanya agar aku memiliki daya tarik di depan sang wanita yang kini menjadi istriku tersebut. Itu karena aku begitu rendah diri, sebab aku hanyalah seorang lelaki bertampang pas-pasan dari keluarga yang hidup sederhana, sedangkan ia begitu cantik dan berasal dari keluarga yang cukup berada. 

"Jangan ragu. Caraku ampuh. Dalam satu sampai tiga hari, kau pasti bisa mendapatkan hatinya," tutur Mbah Jasi, kala itu, seolah memberi garansi. 

"Tetapi ini tidak ada efek sampingnya, kan, Mbah? Jiwaku tidak akan terganggu kalau ada masalah apa-apa dengan penerapan ajian Embah?" tanyaku, setengah yakin untuk benar-benar melakukannya. 

"Ini aman. Efek sampingnya, ya, perempuan itu akan kelepek-kelepek saat melihatmu," balasnya, setengah bercanda, kemudian tertawa lepas.

"Lalu, apakah khasiatnya akan bertahan selama-lamanya, Mbah? Apakah ia akan tertarik kepadaku selama-lamanya?" selisikku lagi, demi mengantisipasi risiko di masa mendatang.

Ia pun menggeleng dengan raut melempem. "Karena pikatannya bukan dari hati, ya, khasiatnya pasti akan memudar. Tetapi, kukira, khasiatnya akan bertahan dalam waktu yang cukup lama."

Aku kembali ragu-ragu untuk melakukannya. 

"Tetapi itu seharusnya tidak menjadi soal kalau kau memang menginginkannya, daripada tidak sama sekali?" katanya, terkesan membujuk. "Lagi pula, kau bisa datang lagi ke sini kalau khasiatnya memang melemah."

Aku pun kembali berpikir-pikir. 

"Bagaimana?" tanyanya, meminta penegasan. 

"Baiklah, Mbah. Lakukanlah," jawabku, pasrah, lantas menyerahkan selembar foto perempuan pujaanku itu, yang pada sisi belakangnya telah kutulisi dengan nama dan identitas singkatnya. 

Akhirnya, Mbah Jasi mulai memantrai foto pemberianku. Selepas itu, ia lantas meletakkannya di bawah sebuah gelas yang berisi air putih, kemudian kembali memantrainya. Setelah itu, ia memintaku untuk meminum air putih tersebut. Ritual pun selesai, dan aku pergi setelah memberinya bayaran yang cukup mahal.

Dua hari berselang, dengan perasaan deg-degan, aku lantas menghampiri sang gadis pujaanku pada sebuah gelaran pasar malam di lapangan desa. Aku kemudian mentraktirnya dengan setongkat es krim, kemudian mengajaknya duduk berdua untuk menonton pertunjukan dan mengobrolkan hal-hal yang biasa. Sampai akhirnya, aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku. Dan ajaibnya, ia menerimaku dengan senang hati. 

Karena cara culasku itulah, aku jadi bimbang menyikapi sang perempuan yang kini telah resmi menjadi istriku sendiri. Aku senang bisa mendapatkannya, tetapi aku merasa bersalah telah mempermainkannya. Aku senang bisa hidup bersamanya, tetapi aku khawatir kalau khasiat pelet Mbah Jasi kedaluwarsa dan ia mencampakkanku dengan perasaan jijik. 

Kini, di dalam kamar hotel penginapan kami, aku larut saja dalam kekalutan yang mendalam. Aku hanya duduk terus sambil memandang lampu kota di balik jendela, tanpa kuasa untuk berbalik dan mendekap istriku di atas kasur. 

Sampai akhirnya, ia menghampiriku dan merangkul leherku dari belakang. Ia lantas bertutur dengan suara yang lembut, "Kakak kok merenung terus? Apa sih yang sedang Kakak pikirkan?"

Aku lekas menggeleng. "Aku tidak sedang memikirkan apa-apa, Kok," balasku, kemudian menimpali dengan gombalan. "Aku ini hanya sedang memikirkanmu, Sayang."

Ia pun tersenyum manis. "Ya, sudah, ayo, ke kasur."

Atas dorongan hasratku yang seketika bertumbuh, aku pun mengangguk saja dan mengikuti langkahnya. Hingga akhirnya, kami berbaring-bersampingan-berhadapan lekat di atas kasur. 

Dan sebelum segalanya terjadi, aku lekas mempertanyakan kebimbanganku demi mendapatkan jawabannya sebagai dasar bagiku untuk melanjutkan kemesraan kami atau malah kembali menundanya, "Apa kau benar-benar mencintaiku?"

Ia pun tampak heran. "Ya, iyalah. Aku tidak akan mau menikah dengan Kakak kalau aku tidak cinta."

"Apakah itu benar-benar dari hatimu?" sergahku, meski kutahu kalau aku hanya menuntut jawaban yang membohongi diriku sendiri. 

"Ya, iyalah. Cinta itu kan memang dari hati, Kak, Dan di dalam hatiku, hanya ada cinta untuk Kakak seorang," jawabnya, dengan sikap manja.

"Apa buktinya?" tuntutku.

Ia sontak tergelak pendek. Tampak menggemaskan keraguanku. "Kak, dahulu, banyak orang yang mencoba mendapatkan hatiku. Entah Toni, Romi, Soni, atau Dandi. Termasuk juga Herman, teman Kakak itu. Bahkan Mbah Jasi, si dukun duda itu. Mereka pernah menyatakan kehendaknya kepadaku secara langsung, atau melalui orang tuaku, tetapi aku menolak mereka karena aku hanya mencintai dan mengharapkan Kakak. Apa itu belum cukup untuk membuktikan cintaku?"

Seketika, aku merasa mendapatkan kejutan yang paling membahagiakan. Dan akhirnya, terjadilah apa yang semestinya terjadi.***


.

Oleh Ramli Lahaping. (Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring.)

 


Bagikan :

Tambahkan Komentar