Oleh Rizal Arifqi

Mahasiswa Inisnu Temanggung

Saparan berasal dari kata Sapar yang merupakan nama bulan dalam kalender Jawa. Mayarakat setempat merayakan tradisi Saparan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen warga yang melimpah dan ketentraman desa. Saparan juga sering disebut dengan istilah merit dusun, yaitu perayaan atas rasa syukur dengan mengadakan agenda perayaan seperti upacara adat, wayangan, tledekan, lenggeran dan lain-lain karena setiap dusun akan berbeda kegiatannya.

Tujuan diadakan acara saparan selain karena rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa juga sebagai wadah untuk menjalin silaturahmi antar kerabat, sanak saudara atau pun teman untuk mengunjugi rumah yang dusunnya sedang melaksanakan rangkaian acara saparan, kemudian akan ada jamuan makanan kecil dan berat untuk menghormati tamu yang berkunjung.

Di dusun Kwayuhan, Desa Munggangsari, Kec. Kaliangkrik, Kab. Magelang rutin setiap tahun mengadakan kegiatan saparan dengan mementaskan pagelaran wayang kulit semalam suntuk, di dusun yang ditinggali lebih dari 250 kepala keluarga ini untuk kegiatan saparan sendiri yaitu pada pagi hari semua kepala keluarga membawa nasi tumpeng, pisang setundun, tape, dan daging tusuk (indik) yang kemudian dijadikan satu lalu berdoa bersama dan menyantapnya bersama-sama, kemudian setelah itu barulah pementasan wayang kulit dimulai.

Menurut para sesepuh dusun, saparan bukan hanya sekedar perayaan biasa, banyak sekali makna yang ada didalamnya, seperti yang penulis ketahui berdasarkan cerita turun temurun mengatakan bahwa lakon wayang yang ditampilkan di acara saparan itu benar-benar terjadi pada kehidupan warga masyarakat itu sendiri. Dan entah hanya kebetulan atau memang itu nyata pernah ada lakon “Petruk gagal mantu” dari lakon itu penulis melihat banyak sekali orang yang mengalami gagal dalam berumah tangga, terutama bagi yang baru menikah, ada juga yang sedang melaksanakan tunangan juga batal untuk menikah. Entah benar hal itu terjadi tetapi memang banyak hal-hal yang terjadi sebelum penulis menjumpai sendiri berdasarkan cerita dari masa lalu.

Pada tahun 2020 lalu, awal baru muncul nya pandemic virus corona di Indonesia, hal ini memicu pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk membatasi kegiatan yang menimbulkan kerumunan. Lalu bagaimana kegiatan saparan apakah ditiadakan? Ternyata tidak, kegiatan dan perayaan saparan tetap berjalan seperti biasa, meski pada awalnya sempat ada himbauan untuk kegiatan di tiadakan, akan tetapi para kepala desa yang desanya melaksanakan kegiatan saparan melakukan musyawarah dan meminta agar kegiatan saparan tetap diadakan karena tidak ingin ada kejadian yang tidak diinginkan terjadi.

Akhirnya keputusan keluar dari Bupati yang segala bentuk keputusan di serahkan ke kecamatan, akhirnya pemerintah kecamatan mengeluarkan kebijakan agar kegiatan saparan dilaksanakan serentak agar tidak ada kerumunan di satu titik tempat. Angin segar bagi para kepala desa dan para warga masyarakat bahwa saparan tahun 2020 tetap diadakan.

Dalam sikap mempercayai jika akan adanya sesuatu perkara yang terjadi tanpa ada dasar yang kuat tentu jelas akan menimbulkan polemik di masyarakat tentunya, hal ini harus mampu dihindari tanpa menghormati kepercayaan orang lain dan dengan rasa yang santun, setiap orang akan memiliki pandangan masing-masing kaitannya dengan hal-hal yang tabu baginya dan terdapat pula orang-orang yang menganggap hal itu sebagai tanda kewaspadaan. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menunjukan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan demikian sudah sepatutnya kita menjaga tradisi dan budaya bangsa, menghargai plularisme sebagai warisan negara dan menjadikan agama sebagai landasan untuk menuntun ke jalan yang di ridhoi-Nya.

Dalam hal mempercayai perkara yang terjadi sesudah adanya pentas wayang itu merupakan hal yang syirik, seperti Firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya :

”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An-Nisa: 48)”

Berdasarkan ayat tersebut maka sudah sepatutnya rasa syukur harus diimbangi dengan perbuatan yang menunjukannya tanpa adanya sifat yang menyekutukannya. Semua tergantung pada niat setiap individu dengan caranya sendiri-sendiri.


Bagikan :

Tambahkan Komentar