Aku menatap patung wanita muslim yang menjulang setingi 93 meter, dan mengacungkan obor ke arah langit hadiah dari Prancis untuk negri Adidaya.Patung perunggu yang diresmikan pada tanggal 28 Oktober 1886 ini merupakan hadiah seratus tahun kemerdekaan Amerika Serikat dan merupakan ungkapan persahabatan antara kedua negara.
Maha karya Tuhan yang di laksanakan oleh tangan pemahat yang ahli, Frederic Auguste Bartholdi, dan Gustave Eiffel (desainer Menara Eiffel) mereka merancang struktur penyangga dalamnya. Patung Liberty melambangkan kemerdekaan dan kebebasan dari tekanan. Yang pada tahun 1984, dimasukan dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO.
Aku menghela napas, tersenyum tipis saat menyadari bahwa ada aroma hangat Robusta yang menyapa penciumanku seseorang telah menyodorkan Robusta dengan gelas kertas dan menunguku untuk menerimanya
“Thanks " aku menerima minuman favorit nya.
“ Neight fall.. “desia pria di sampingku pandangannya mengarah pada langit senja yang menjadi backgroud indah Liberty “ lets go to home" dia mengajakku pergi sudahi kenikmatan ini.
Aku menyeruput kopi milikku. " I will stay in here, please together with me." pintaku. Aku tahu pria ini mulai bosan. Tapi entah kenapa aku ingin lebih lama di sini. Sudah lama aku tak manikmati suguhan indah senja di bawah patung raksasa ini.
Dia menghela nafas, melepas kaca mata hitamnya "One minuts again ?” kami tertawa, satu menit katanya ? agh. Seperti halnya satu detik, tidak cukup.
"Ayolah.. pekerjaanku masih banyak. kita tu dah seharian jalan-jalan mulu. Lain waktu hang out lagi” nadanya saperti menjanjikan permen Lolipop pada anak TK
"Promise ?" Tanyaku menyakinkan
“Al wa du dain” Dia malah mendalil "Janji adalah hutang, Insya allah aja dah...”
Air wajahku mulai kecewa tangan kirinya merangkul lenganku menambah kalkulasi kehangatan senja dengan semilir angin yang tak dapat ku temui di kota lain. Selain kota metropolitan Adidaya. Aku bersyukur Allah telah mengirimkannya untuk ku temani dan menemaniku. Dia masih dengan sosok hangatanya yang tak pernah berubah sejak awal pertemuan enam tahun lalu.
Aku masih ingat kala pertama kita berjumpa. Dia duduk di samping kursi pesawat ku. Dia melihat kecemasan yang tergurat di wajahku yang semakin pucat” Belum pernah tak pesawat ?" tanyanya
Aku mengeleng tersenyum "Belum kak...'
“Don't worry. Al is well..”
Saat itu kali pertama aku akan naik pesawat dan langsung lintas negara. Aku hendak injakkan kaki untuk pertama kali di ranah Adidaya dengan status mahasisiwi Indonesia di salah satu Universitas di Amerika. Dia adalah seniorku, dua tahun lebih awal menetap di negara ini, USA.
Namanya tertera di bet kiri yang menempel di seragam dongkernya “Rizal Fadlana”
Aku pernah mendengar nama itu sebelumnya, saat pak Heri memberikan pelajaran tambahan. Yah Rizal Fadlana, kalau tidak salah dia adalah mahasiswa gapyears yang cuti sekolah dua tahun demi mengahafal sabda Tuhan. Dia seorang khafidz. Yang menghafalkan Al Quran selama dua tahun seusai lulus SMA. Dan setelah finish dia melanjutkan study di negri Adidaya ini.
Aku sangat bersyukur, lima tahun setelah itu kami menikah. Dan menetap di negara ini menjadi salah satu diaspora aktif dari Indonesia. Kami membeli sebuah Apartemen di sini.
Setiap akhir pekan kami selalu menghabiskan waktu bersama seperti hari ini. Dia telah menemaniku pergi memanjakan mata sekedar keliling New York Berjalan di High Line menatap pencakar langit dan mobil yang berlalu lalang teratur di bawah jembatan garis tinggi.
Kemudian kami minikmati makan siang di sebuah Restoran cepat saji di Central Park. Aku memesan Egg Benny dengan dauble mayo dan cheese melahap gurih, asin, dan lezatnya saus yang menguyur. Namun mas Rizal hanya memesan minuman. Dia tidak suka makanan favoritku
Tujuan akhir perjalanan hari ini adalah menuju Liberty, menghabiskan waktu di sana. Mentadaburi sebuah kehidupan. Memaknai sebuah kebebasan yang harus di sertai peraturan serta pertangung jawaban atas kebebasan tersebut. Hanya dengan menatapnya dan menghirup udara di bawahnya aku dapat merasakan sentuhan dari Dimensi kebebasan. enjoy dan tidak merasa tertekan.
Sayangnya waktu berputar secepat yang tidak ku harapkan. Sehingga senja tiba-tiba sudah terlukis di langit Manhattan.
"Deadline Laporanmu lusa kan ?" Tanya Mas Rizal.
"Aku udah Finish kok"
"Em... Berarti nanti malem kita lembur buat job ku."
"Oke... Siap laksanakan " Aku memberi hormat padanya bagai police 86. Dia mengusap ubun ubunku sembari tersenyum haru, tanggannya yang nampak berat membuat kacau tatanan hijabku kami terbiasa saling berkolaborasi, saling membantu satu sama lain. Sama-sama tak bisa tidur jika pekerjaan belum kelar. Kami selalu begadang lembur bersama. walau kadang tidak bisa membantu dalam suatu hal, setidaknya kami saling menemani kala karut malam mencengkram.
Untung nya kami hidup di Never Sleep zone, sehingga pada jam tersulitpun pasti masih ada Resto pizza yang siap mangantarkan hidangan pizza hangat ke apartemen
"Mau makan apa malam ini?" tanyaku sebelum memasuki area apartement.
Langkshaya terhenti, Mas Rizal diam tangannya memegang dahi dengan kepala yang menunduk.
"What Happen ?" aku panik.
Tangan kirinya meremas lambung sehingga badannya menunduk seperti orang rukuk dan dia meringis kesakitan.
"Are you oke?" aku semakin panik. “ Lets go to hospital….” Desisku parau. Aku menuntunnya kembali menuju mobil dan kali ini aku mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi.
Hatiku tak henti berdoa untuk kesembuhannya, beberapa menit kemudian dokter selesai mengecek kondisinya. Asam lambung mas Rizal naik.
Aku tak tahu jika dia punya Riwayat itu. Tapi seingatku dulu setelah dia selesai tesis dia pernah opnam karena Magh. Yah aku baru sadar dia belum makan seharian ini, tadi pagi mas Rizal menolak untuk sarapan dan tadi siangpun dia hanya minum jus. Terlebih sore ini, perutnya kosong tapi dia malah beli Robusta. Yah semua sudah terjadi, tak bisa disalahkan, hanya perlu di perbaiki
Aku memasuki kamarnya, matanya masih terpejam dia belum sadar, aku duduk di sampingnya mengelus lengannya penuh harap "Be healty again, mas..." bisikku lirih. Handphonenya tiba-tiba berdering. Aku mengambilnya, di layarnya tertulis nama "Bapak" aku setengah bimbang ragu. Aku sedang tidak mod untuk berbicara dengan Pribumi Nusantara, maaf...
Pangilan itu ku tolak namun sedetik kemudian beliau memanggil lagi. Aku menghela napas mempersiapkan hati menerima pangilan itu
"Assalamualaikum.. nak Rizal ?"
"Waalaikum salam warahmatullah, maaf pak ini Risna".
"Bapak ingin bicara dengan nak Rizal, tolong."
"Dia..." apakah aku harus mengatakan bahwa mas Rizal sedang sakit ? "Sedang istirahat pak..."
“Risna..” ucapannya terjeda. “Pulanglah nak… Ibumu sakit, sudah genap enam tahun kau tak pulang. Tak melihat permainya negrimu.”
Mataku merah, haruskah aku menatap negeri dimana seluruh isi pikiranku ditolak dan tidak dihormati ? kembali pulang demi seorang wanita yang menentang keras segala ambisiku?
"Dia merindukanmu Risna." ucapan Bapak berhasil mendorong keluar air mataku. Siapa yang tak merindukan belai halus tangan ibu ? Hanya aku seorang. "Semalaman matanya terpejam namun tak henti berbisik namamu. Dia ingin melihatmu pulang. Tolong nak... tolong Ibumu. penuhi permintaannya kali ini saja." Aku mematikan handphone. Tidak ingin Bapak mendengar isakan tangisku.
Bapak menelphone kembali "Risna...Bapak mohon.. Jangan egois."
"Maaf pak... Risna ngak bisa." ucapku tegar.
"Tidak ingat kamu...?" nadanya meninggi, "sudahlah pak, saya masih mampu merawa Ibu. Jangan toma terhadap manusia. Kalo dia tidak mau ngak perlu di harapkan." aku mendengar suara mas Fathnan menenangkan Bapak. Mas Fathnan mengambil alih telphone Bapak. "Dek.. "Ucapnya tegas. "Kamu sudah dengan pilihanmu. Jangan kecewa kalo nanti ibu pergi." tegasnya.
Mas Rizal mendengar percakapan kami. Matanya telah terbuka lebar. Dia tersenyum, melihat air mataku deras mengalir. "Kangen ibu, kan ?"
Aku mengeleng, masih menangis.
"Pulanglah ke Indonesia, surgamu ada di sana."
"Kamu surgaku, mas."
"Surgamu yang ini.." dia menujuk dirinya sendiri." menyuruhmu pulang, jenguk surga awalmu. Aljannatu tahta akdamil ummahad.." katanya lemas. Dia merebut handphone miliknya. Menelphone seseorang untuk segera menyiapkan tiket penerbangan pulangku." Harus sore ini..." katanya.
Dia dengan segala sindiran halusnya memaksaku. Mau tidak mau aku harus menuruti kemauannya. Perjalanan New York ke Semarang sekitar sehari. Aku di suruh pergi ke bandara Internasional John F. Kennedy New York seorang diri. Dan semua sudah di persiapkan secepat yang mereka bisa ? Bagaimana mungkin secepat itu ? Aku juga tak habis pikir semua hal yang terplanning dalam spekulasi mas Rizal selalu cepat terlaksana.
Aku meningalkan negara Adidaya. Meningalkan jejak senja yang masih terekam indah dalam ingatan. Menuju negara Tembakau, aku akan menatap langit Temanggung, setelah enam tahun pergi darinya.
Aku tertidur pulas beberapa jam di pesawat. Bangun ketika transit. Sebenarnya aku hanya tak ingin peduli dengan pikiranku yang terus memikirkan takdir. Aku belum menerima takdir kepulanganku ke Nusantara.
Kakiku berkenalan dengan Bandar Udara A. Yani di Semarang. Aku sudah di tunggu mba Ratna, kakak iparku. Dia menyetir mobilnya dengan kecepatan tinggi. Langit Semarang sudah menelan habis senja miliknya. Hanya tersisa gelap hitamnya langit malam.
Yang mba Ratna tau, hanya tentang bagaimana aku bisa cepat sampai di Temanggung. Cepat melihat ibu yang masih belum sadarkan diri. Dia tak mengeluarkan kalimat bosa basi. Panik di wajahnya tergambar jelas. Kami setengah berlari menyusuri koridor Rumah Sakit. Mataku merah, tak terpungkiri. Semua kenangan masa lalu hadir. Aku akan segera menemui surgaku, yang selama ini tak ku taati kemauannya.
Mba Ratna membuka pintu, aku mematung di sana. Melihat senyum ibu yang sudah disiapkan untukku. Beliau mendesis sesuatu yang tak dapat ku dengar. Dan berlahan aku maju, tapi kalah cepat dengan suara syahadatain yang ibu lafalkan sempurna. Kurang beberapa langkah. Matanya telah terpejam, Allah telah memangil Beliau.
.
Oleh Nia Laili
(Penulis lepas di beberapa platfrom online. Penulis cerpen "Fan Wali Majnun" yang dimuat di media cetak Suara Merdeka)
Tambahkan Komentar