Oleh Ninda Herlina Rahmawati

Mahasiswa INISNU Temanggung


Seiring dengan perjalanan waktu, akselerasi wacana konsep Ekonomi Syari’ah terus mendapatkan tempat ditengah tengah masyarakat, dan bahkan menjadi “titik penasaran” tersendiri bagi pemerhati dan pelaku Ekonomi. Menurut Adiwarman Karim, Indonesia adalah sebuah negara yang pertumbuhan Ekonomi Syari’ah-nya paling cepat didunia, melampaui Malaysia bahkan negara negara Timur Tengah. 

Kondisi tersebut satu sisi membuncahkan harapan akan kehadiran Ekonomi Syari’ah sebagai alternatif bagi system Ekonomi Konvensional. Akan tetapi, pada saat yang sama kita prihatin, bahwa percepatan pertumbuhan Ekonomi Syari’ah tidak seiring dengan penguatan sumber daya manusia bagi para pelaku bisnis syari’ah, khususnya penguatan dibidang wacana ke-syari’ahannya. Banyak diantara mereka yang sama sekali belum mengenal konsep konsep dasar transaksi bisnis yang ada dalam Ekonomi Syari’ah. Sebab, banyak diantara mereka yang mempraktekkan Ekonomi Syari’ah berdasarkan pengalaman kerja dalam lingkungan praktek ekonomi konvensional. Ketika perusahaan tempat mereka mempraktekkan Ekonomi Syari’ah, merekapun tiba tiba beralih haluan dengan mengubah sedikit managemennya. Dapat dibayangkan apa yang dapat mereka lakukan dalam mengelola usahanya agar sesuai dengan garis garis syar’i.

Sebuah fakta terjadi pada kasus perbankan. Tidak dapat dipungkiri bahwa, seiring dengan semakin diterimanya perbankan syari’ah oleh masyarakat, banyak bank bank konvensional membuka Cabang Syari’ah atau Syari’ah Window. 

Dengan berbagai macam alasan, mereka mengikuti trend yang sedang berkembang ditengah tengah masyarakat. Akan tetapi manage tetap memakai orang lama, yang nota benenya sudah lama bergelut dengan praktek konvensional. Sehingga perilaku mereka tidak jauh berbeda dengan perilaku pada saat mereka mengoperasikan bank konvensional yang sudah mereka geluti bertahun tahun. 

Akibat fatal dari kasus seoerti itu adalah munculnya perilaku bisnis yang tidak berbeda dengan ekonomi konvensional meskipun tetap memakai baju Ekonomi Syari’ah. Kondisi seperti ini dikhawatirkan akan menggerogoti kewibawaan Ekonomi Syari’ah yang sebenarnya sarat dengan pesan-pesan moralnya.

Bank syariah adalah lembaga perbankkan yang menganut asas-asas dan prinsip-prinsip syariat islam. Bank syariah tidak mengenal yang namanya riba, dan menentang keras praktik riba. Bunga dalam dunia perbankkan termasuk riba, dan bank syariah tidak melaksanakan bunga tersebut. Sebagai gantinya bank syariah melaksanakan bagi hasil, marjin, dan ujroh. Ketiga hal tersebut jelas mubah dalam syariat islam.

Dalam perbankkan syariah, terdapat banyak produk dari bank syariah tersebut. Salah satunnya mudhorobah. Akad mudhorobah adalah akan pembiayaan dimana pihak bank selaku pembiaya membiayai nasabah selaku peminjam dan pembagian hasil ditentukan diawal (nisbah bagi hasil). 

Perbankkan syariah memiliki produk kawin silang antara mudhorobah dan musyarokah dimana kedua belah pihak sama-sama menyertakan modal. Hal ini sangat wajar, hal yang janggal dalam akad ini tentang bagi hasil. Bila terdapat bagi hasil maka pembagiannya ditentukan diawal begitupun kerugiannya yang harus ditanggung bersama selagi bukan karena kelalaian nasabah. Namun bank syariah disini tidak demikian. Mereka tidak menghendaki kerugian, bila pembiayaan disini mengalami kerugian nasabah selaku peminjam harus mengganti pembiayaannya 100%. Apakah demikian?

Maka perlu adanya pengecekan secara berkala bank syariah kepada Dewan Pengawas Syariah (DPS) agar tidak adanya kasus kasus bank konvensional yang menyerupai bank syariah. Sangat disayangkan sekali apabila prinsip prinsib bank syariah yang sudah ada dengan segala peraturan syariah-nya tercemar dengan pengakuan bank yang tidak seharusnya.


Bagikan :

Tambahkan Komentar