Oleh Gunadi

Mahasiswa STAINU Temanggung 

“Tersesat Di Jalan Yang Terang”  judul ini sering kita  jumpai baik dimedia sosial dan  media elektronik ataupun pada lembaran-lembaran stiker yang tertempel di dinding atau bahu pada mobil, truk maupun bus yang lalu lalang di sekitar kita. Kata ”Tersesat Di Jalan Yang Terang” adalah potongan syair lagu Biarkan bulan bicara yang dinyanyikan almarhum Broery Pesolima,Adapun artikel kali  ini bukan akan membahas topik tersebut dari sudut pandang politik yang  tidak akan selesai jika bicarakan pada forum ini akan tetapi saya akan mengalirkan tema “Tersesat Di Jalan Yang Terang”  kedalam  sudut pandang  pendidikan agama Islam.

Kita tahu bahwa agama Islam adalah salah satu dari tiga agama samawi yang turun dari atas langit kemuka bumi ini, serta agama yang paling pamungkas, komplit dan terperinci dalam bahasanya mengatur makhluk Tuhan di alam semesta ini. Menurut wikipedia Islam (bahasa Arab: الإسلام) adalah salah satu agama dari kelompok agama yang diterima oleh seorang nabi (agama samawi) yang mengajarkan monoteisme tanpa kompromi, iman terhadap wahyu, iman terhadap akhir zaman, dan tanggung jawab.Bersama para pengikut Yudaisme dan Kekristenan, seluruh muslim–pengikut ajaran Islam–adalah anak turun Ibrahim. Islam diikuti oleh 1,8 miliar orang di seluruh dunia sehingga menjadi agama terbesar kedua setelah Kristen

Setelah mengetahui sekelumit pengertian dari Agama Islam, kita akan menkorelasikan antara kata “Tersesat Di Jalan Yang Terang”  dengan perspektif pendidikan agama Islam. baiklah kita urai dulu satu persatu kata demi kata. Dlama judul ini’Tersesat’ menurut kbbi sesat/se·sat/ tidak melalui jalan yang benar; salah jalan atau; kesasar, Sedangkan kata ‘jalan’ artinya tempat untuk lalu lintas orang (kendaraan dan sebagainya), kata ‘terang’ artinya dalam keadaan dapat dilihat (didengar); nyata; jelas:atau cerah; bersinar. Adapun korelasi terhadap PAI adalah pembahasan dalam ruang linkup pendidikan atau tarbiyah.

Memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani].

Kata “Tersesat Di Jalan Yang Terang”,  kita boleh berfikir sejenak, kalau menurut logika, merupakan sesuatu yang mustahil dapat tersesat di jalan yang lurus untuk menuju tempat tujuan di ujung sana. Namun hal ini benar-benar terjadi.

Sungguh benar bahwa agama Islam adalah nur atau  cahaya dimuka bumi ini yang lurus. Akan tetapi jika agama Islam disampaikan oleh orang yang tidak mempunyai beground atau latar belakang pendidikan yang jelas tentang keagamaanya . Maka hal tersebut merupan sesuatu yang harus diluruskan. Kita pernah mendengar slogan kata “ jika suatu pekerjaan dilakukan bukan dari bidangnya, maka tunggulah kerusakan/ kehancuranya”.

 

 

 

Slogan tersebut sebenarnya dari sabda Nabi Muhammad yang mulia

إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة

(Jika diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah tibanya hari kiamat)

Kita sering mendengar ceramah-ceramah dari kyai, ustad, mubaliq ataupun dai berbicara masalah agama. Kita harus ingat bahwasnaya perkara agama tidaklah ringan  hanya masalah dunia saja, akan tetapi tanggung jawabnya sungguh berat di akherat kelak. Sampai-sampai Rosulullah Muhammad solallahualaihiwasallam bersabda

وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi no. 2951. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if)

Memang benar adanya jika salah satu kewajiban pendakwah adalah menyampaikan risalah dari nabi besar Muhammad solalahu’alaihiwasallam, akan tetapi kita sering menjumpai ada segelintir dari  mereka dalam salah menafsir dan menakwil Alquran dan hadist nabi semaunya wudele dewe. Kita sebagai orang  awam akhirnya dibuat bingung dengan fatwa-fatwa yang berbeda-beda tentang permasalahan keagamaan . Dari satu ayat atau satu hadist saja penyampaian ma’nawinya berbeda beda.

Mungkin salah satu solusi agar kita tidak “Tersesat Di Jalan Yang Terang” adalah melihat dan mengetahui pendakwah tersebut mempunyai latar belakang pendidikan apa dan dimana? Tidak salah jika kita  menanyakan tentang beliau (kyai atau ustad atau dai atau mubaligh) kepada orang dekat atau yang yg mengetahui hal ikhwal hidup pendakwah tersebut, seumpama “Pak  kyai Fulan pernah mondok dimana? gurunya siapa? Atau yang lebih mendalam lagi ustad tersebut sudah lulus di universitas Islam mana? Bagaimana penguasaan bahasa arabnya, dai terebut mengetahui ilmu ushul fiqih atau itidak? Kira-kira contoh kecil pertanyaan seperti itu.

Beda hal jika seorang penuntut ilmu yang sering mondar mandir menghadiri majelis ta’lim dan belajar agama Islam, mereka mungkin bisa menilai mubaligh ini berkompeten tidaknya baik  dari bahasa atau keilmuan agamanya akan terlihat sangat berbeda dengan pendakwah yang abal-abal. Dari cara pendakwah membacakan ayat atau hadist saja sudah kelihatan dia ‘alim atau jahil.

Apalagi jika ditest dengan menggunakan kitab-kitab fiqih yang tidak ada harokatnya (kitab kuning/ kitab gundul) hal tersebut akan terlihat sekali tingkat kealimanya. Dalam konteks pembahasan ini saya tidak menjustifikasi bahwa pendakwah yang tidak bisa baca kita kuning adalah jahil/ bodoh. Akan tetapi kunci memahami agama Islam berawal dari penguasaan ilmu bahasa Arab seperti nahwu, shorof, dan lain sebagainya.

Kenapa kunci awal belajar agama Islam harus mengusai ilmu bahasa Arab? Secara simpel saja, kitab yang berisi ilmu tentang agama Islam yang ditulis oleh ulama salaf kebanyakan dalam keadaan tidak berkharokat/ gundulan. Pertanyaanya sederhana ,” mana mungkin dia ‘alim jika membaca kitab saja tidak bisa’.

Berbeda dijaman sekarang ini. Dimana media sosial dan media elektronik sudah merambah dari kota sampai kedesa-desa. Ada sekelompok manusia jaman now yang  ingin  belajar atau menuntut ilmu agama dengan cara instan yaitu  hanya mengandalkan media sosial baik itu yang berupa youtube atau jejaring sosial yang lain. Hal tersebut tidaklah salah jika kondisi tidak mendukung dari segala aspek. Dalam konsep PAI, dalam belajar atau menuntut ilmu agama tidaklah seperti membalikkan telapak tangan.

Akan tetapi pendidikan harus melalui proses yang panjang dan juga sulit. Ada pepatah kata ‘bersakit sakit dahulu berenang-renang kemudian’. Di dalam kesulitan dalam berproses menutut ilmu denganrentan  waktu yang cukup lama, hal itulah yang akan menggembleng para siswa penuntut ilmu agar menjadi seorang yang kompeten dan ahli di bidangnya, khususnya dalam hal ini ahli di bidang ilmu agama Islam.

Kesimpulan yang bisa kita petik dari pembahasan ini adalah kata “Tersesat Di Jalan Yang Terang” dalam perspektif  PAI maknanya adalah ; 1) jangan sampai kita belajar agama Islam yang terang/ lurus ini dengan berguru  kepada guru yang salah/ tidak ‘alim atau sesat maka kita juga akan ikut tersesat pula.2) teliti dulu guru yang akan kita jadikan panutan baik itu dari segi sanad bergurunya atau tempat guru itu belajar agama 3)jika kita mendapati seorang pendakwah yang memang tidak kompeten dalam agama Islam jangan kita ikuti fatwanaya, itu adalah bentuk kehati hatian kita dalam belajar agama.4) jika kita tidak mempunyai ilmu-ilmu agama, jangan sekali-kali menafsirkan aayat Alquran dan hadist secara serampangan. 5) lebih amanya jika membaca tafsir kita sebaiknya mengikuti para ulama seperti tafsir Ibnu katsir, tafsir As Sa’di, tafsir At Tobari dan lain-lain.

 

WALLAHUA’LAMBISSOWAAB

 

 

 

 

Bagikan :

Tambahkan Komentar