Oleh Nurmashinta Fadhilah
Mahasiswa STAINU Temanggung
Pendidikan di
Indonesia adalah pendidikan yang mengharuskan setiap siswanya mampu menguasai
seluruh mata pelajaran. Lalu ketika melanjutkan ke perguruan tinggi, barulah
mahasiswa mempelajari mata kuliah dengan jurusan yang sesuai dengan pilihannya.
Namun tetap saja kurikulum seperti ini tidak dapat dihilangkan dari sistem pendidikan
di Indonesia. Sebelum membahas pola pendidikan zig zag, mari kita diskusikan
seberapa efektif kurikulum yang dianut di Indonesia.
Seperti yang kita
tau, negara Finlandia adalah salah satu negara dengan pendidikan terbaik di
Dunia yang menggunakan sistem pendidikan yang sangat berbeda dengan pendidikan
di Indonesia. Dikutip dari mediaguru.com perbedaan yang cukup jelas terlihat
berbeda adalah, Finlandia menggunakan sistem minat dalam pendidikannya dimana
siswa tidak mempelajari seluruh mata pelajaran dan ketika melanjutkan ke
pendidikan yang lebih tinggi, mereka tidak perlu lagi bingung jurusan apa yang
akan diambilnya pada perkuliahannya.
Berbicara mengenai
pola zig zag, istilah ini penulis gunakan karena sistem pendidikan yang
dibebaskan di Indonesia untuk memilih ke jalur mana pendidikan akan
dilanjutkan. Bukan memilih dalam artian tentang minat, namun memilih ke sekolah
mana akan dilanjutkan. Tetap saja materi, kurikulum, dan pelajaran tetap sama
atau bahkan lebih banyak. Misalnya saat sekolah dasar seseorang bersekolah di
Sekolah Dasar (SD), seharusnya jalur yang sejalan dengan pendidikan sebelumnya
adalah SMP namun siswa memilih pendidikan berbasis agama (MTs), lalu selanjutnya
siswa memlilih melanjutkan ke SMA atau sekolah umum, dan ketika perguruan
tinngi siswa tersebut memilih melnjutkan ke pendidikan Islam atau PAI. Tidak
ada yang salah dalam proses tersebut, namun apakah efektif proses pendidikan
seperti di atas ?
Setiap siswa
mempelajari seluruh mata pelajaran, mulai dari pendidikan umum hingga
pendidikan yang berbasis agama. Di sekolah berbasis agama sekalipun, siswa
mendapat materi tentang pendidikan umum dan sains. Siswa mendapat banyak sekali
materi dan belajar banyak hal, namun hanya mendapatkan segelintir materi dan
belum dapat menguasai banyak materi. Berbeda jika sejak usia sekolah siswa
hanya mempelajari materi yang akan mereka tekuni pada saat di perguruan tinggi
nanti, hanya beberapa materi yang dikuasai namun porsi yang didapatkannya akan
lebih banyak bukan ?
Seorang sarjana
Pendidikan Agama Islam pasti pernah mempelajari tentang ilmu sains ketika di
sekolahnya. Namun bisa kita lihat pendidikan tersebut sangat jarang digunakan
dalam menerangkan pendidikan agama islam, padahal pasti tidak ada ilmu yang
tidak berguna sekalipun tidak pernah digunakan dalam hidup manusia pada
umumnya.
Pemerintah
seharusnya mengatur lebih intens tentang sistem pendidikan zig zag seperti di
atas. Jika materi berkurang mungkin bukan menjadi masalah untuk siswa, namun
jika materi yang dipelajarinya tidak berurutan dan cenderung meloncat akan
sangat membingungkan siswa yang mempelajari materi tersebut karena setiap
materi akan melanjutkan materi yang telah disampaikan dari kelas sebelumnya.
Mengapa hal ini tetap berhubungan dengan pereturan dari pemerintah ? hal ini
dikarenakan jika peraturan tentang pendidikan zig zag dilarang, maka tentunya
masyarakat akan mengikuti peraturan tersebut bukan?
Dalam sekolah berbasis
islam yang ada di Indonesia, terdapat lebih dari 3 mata pelajaran yang
mempelajari tentang agama. Seberapa fokuskah pendidikan agama tersebut
diperhatikan? Tetap saja yang difokuskan adalah pendidikan umum dan sains
bukan? Maka dari itu seharusnya pendidikan untuk sekolah keagamaan tidak
terlalu memusatkan pendidikan sains atau materi non keagamaan lainnya. Agar
ketika melanjutkan ke perguruan tinggi dengan jurusan pendidikan islam,
pengetahuan mengenai agama lebih luas lagi.
Tambahkan Komentar