Oleh Siti Sutanti
Mahasiswi Prodi PIAUD STAINU Temanggung
Berbagai analisa historis menyatakan bahwa Islam memiliki akar yang
kuat dalam ranah masyarakat, pendekatan
budaya menjadi aspek keunggulan Islam di Indonesia, sehingga dalam kurun waktu
yang lama Islam di Indonesia sudah menjadi ‘way of life’ yang tersimpul dalam
tradisi, bahasa dan budaya sehari-hari. Dan Islam memberikan warna yang
tersendiri bagi keragaman masyarakat Indonesia. Nilai tambah inilah yang
menjadikan Islam Indonesia memiliki ke-khasan dibanding dengan Islam yang
berkembang di negara-negara lainnya.
Namun dalam sisi yang lain, aspirasi umat Islam untuk dapat menjadikan
Islam “doktrin negara’ dan terlembagakan dalam simbol negara, menemui penolakan.
Meskipun Islam sebagai agama telah berjasa bagi kemerdekaan Negara Indonesia,
namun hal itu belum semulus perjalanan Islam dalam konteks pendidikan. Dalam
konteks politik, Islam seakan menjadi ‘pahlawan tanpa tanda jasa’, sudah
memberikan hadiah besar bagi negara ini. Namun hal itu tidak serta merta
menjadikan Islam sebagai pilar pilihan politik. Hal ini dikarenakan perbedaan
sudut pandang dalam memposisikan agama serta hubungan antara agama dengan
negara, dan hal inipun sudah usai seiring disepakatinya ‘Pancasila’ sebagai
pemersatu atas perbedaan pandangan tersebut. Meskipun dalam proses selanjutnya
perdebatan-perdebatan tentang relasi keduanya masih terus menghangat hingga
kini.
Perdebatan mengenai pendidikan Islam semakin menarik, apalagi jika dikaitkan
dengan fakta historis, telaah terhadap kebijakan dan analisa historis. Dengan
cara seperti ini, maka dapat memetakan perjalanan, kebijakan dan analisa yang
menguntungkan bahkan yang merugikan terhadap eksistensi pendidikan Islam di
Indonesia.
Usia Pendidikan Islam di Indonesia telah berjalan selama dan seiring
dengan umur kemerdekaan negara Indonesia, hal ini karena dalam fakta sejarah
disebutkan bahwa benih-benih dari pendidikan Islam adalah munculnya semangat untuk
merdeka. Benih-benih nasionalisme muncul dari lembaga pendidikan Islam waktu
itu, dari pesantren, surau dan masjid, sehingga sangat logis apabila kolonial
sangat mengekang keberadaan lembaga Pendidikan Islam waktu itu.
Dalam pemahaman yang sederhana, pendidikan Islam dapat dipahami dan
dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam
sumber dasarnya yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, pendidikan atau praktek
penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat
Islam, dalam arti proses perkembangan Islam dan umatnya, baik Islam sebagai
agama, ajaran, maupun sistem budaya dan peradaban sejak Zaman nabi Muhammad SAW
sampai sekarang. Pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidik agama Islam atau
ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi jalan hidup.
Pada pemahaman sejauh ini belum ada pemikir muslim yang secara
gamblang, lengkap, dan menyeluruh mengemukakan konsepnya tentang itu, dan
diterima oleh semua pihak. Gambaran yang cukup jelas mengenai hal itu mungkin
baru diperoleh jika melakukan kajian-kajian terhadap eksperimen-eksperimen yang
dilakukan baik oleh individu, komunitas ataupun organisasi-organisasi Islam.
Tetapi jika itu dilakukan secara sepintas sudah tampak perbedaan antara satu
dengan lainnya. Organisasi-organisai tertentu lebih menitik beratkan pada pola
pesantren atau majlis ta’lim yang melulu mengajarkan pelajaran agama.
Organisasi yang lain lebih suka mengembangkan keseimbangan antara pengetahuan
umum dan agama dalam bentuk madrasah atau
mencampurkan ketiganya. Semuanya itu dibawah Kementerian Agama. Sementara itu,
organisasi Islam lainnya ternyata lebih siap untuk menerapkan sistem sekolah,
seperti yang diasuh oleh Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan dengan
menambahkan ke dalamnya materi atau suasana agama dalam kadar yang cukup. Perbedaan
seperti itu amat mungkin hanya karena perbedaan pengalaman dalam hal
pengelolaan lembaga pendidikan, sebab teryata diantara semuanya memiliki
kesamaaan-kesamaan pokok, yaitu dikelola oleh orang Islam; murid muridnya
muslim; di dalamnya ada pelajaran keislaman; bahkan didalamnya ada suasana atau
cepatnya simbol-simbol keislaman seperti busana muslim dan mushala misalnya.
Sekalipun penggambaran yang demikian juga belum
dapat menjelaskan konsep yang utuh, tetapi dalam batas-batas tertentu
bentuk-bentuk pendidikan Islam yang dianggap benar, atau setidaknya tepat. Para
pemikir tengah memang biasanya tidak berani untuk mengatakan bentuk-bentuk
pilihan diatas sebagai pendidikan Islam dengan kata sifat dan menganggapnya itu
cukup, sebab baginya mustahil mencari pendidikan Islam yang ideal dan normatif.
Manakala pemahaman diatas diikuti dan keputusan beberapa organisasi,
komunitas dan individu muslim untuk mengelola sekolah dapat disetujui sebagai
pendidikan Islam maka niscaya beberapa sekolah seperti yang dikelola
Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan sekarang, meskipun secara selektif
dan dengan beberapa catatan dapat dikategorikan sebagai institusi pendidikan
Islam. Walaupun demikian, jika tidak salah belum ada organisasi Islam yang
secara tegas mengeluarkan fatwa hukum, bahwa pergi ke sekolah itu telah
memenuhi kewajiban mencari ilmu dan sama sahnya dengan pergi ke pesantren atau
madrasah. Yang terjadi barulah bentuk ijma’ sukuti. Padahal dilapangan telah
banyak umat Islam memprioritaskan pendidikan putra-putrinya pergi ke sekolah
atau apa yang kita kenal sebagai sekolah umum. Sebagai pengimbang, mereka
menambah kekurangannya dalam pengetahuan agama dengan mendatangkan guru ngaji
privat atau mendampingkannya dengan dimasukkan ke dalam pesantren atau madrasah
diniyah.
Disamping itu, masa-masa terakhir ini selain terjadi peningkatan jumlah
dan perluasan institusi-institusi pendidikan Islam, juga muncul lembaga-lembaga
baru yang jumlahnya semakin tahun semakin banyak pula, seperti TPA, TKA dan
Kelompok Kajian Islam untuk strata tertentu. Sedangkan pada pemahaman
pendidikan Islam yang ketiga, yaitu pendidikan (agama Islam), maka akan
terdapat perbedaan mengenai agama itu sendiri, apakah nilainya, ilmunya atau
apapun namanya.
Kalau saat ini terdapat keluhan tentang tercerabutnya nilai humanis
dalam pengajaran agama, maka yang dimaksud pendidikan agama adalah pendidikan
nilai-nilainya. Atau jika banyak masyarakat gelisah karena banyaknya anak didik
yang tidak lagi menaruh hormat kepada guru atau orang tuanya. Ini pun
menunjukan bahwa tuntutatn pendidikan agama adalah tuntutan pendidikan nilai,
bukan ilmunya. Namuan demikian, lembaga-lembaga pendidikan Islam kebanyakan
menganggap pendidikan agama adalah pendidikan ilmu-ilmu agama dengan segala
rinciannya.
Bahkan saat ini telah ada kabar bahwa pendidikan Islam akan dihapuskan
yang kemudian akan diganti dengan pendidikan karakter. Padahal pendidikan Islam
ini sudah menjadi pendidikan karakter yang menunjukkan jati diri tentang Islam.
Begitu banyak liku yang dihadapi pendidikan Islam di negara Indonesia ini.
Tambahkan Komentar