Oleh Rofi Hiznul F

Masalah moral sering kali menjadi momok utama yang sering kali jadi tema pembahasan dari masa ke masa. Tak henti-hentinya bangsa kita mengalami hal serupa dari tahun ke tahun. Dimulai sejak manusia pertama di bumi yaitu adam dan hawa, degradasi moral sering kali disalah artikan sebagai suatu hal yang biasa dalam lingkup remaja.

Sebagaimana kita ketahui, sejak istilah pandemi ini masuk ke Indonesia kita dihadapkan dalam suatu delima yang cukup membingungkan, terhitung sudah setahun lebih virus ini leluasa masuk di negara kita, hal ini menyebabkan kebijakan baru dimunculkan,proses belajar mengajar yang tadinya dilaksanakan tatap muka secara langsung kini terbengkalai, sunyi nan sepi. Suasanya kampus, sekolah,lembaga pendidikan yang tadinya ramai oleh para pelajar dan siswa kini terpaksa harus diliburkan/dilakukan secara daring lewat gadget masing-masing. Seorang anak usia sekolah dasar harus terpaksa memegang gadget demi keberlangsungan proses pembelajaran secara daring.

Sejak aktifitas belajar mengajar beralih dari tatap muka ke interaksi kelas-kelas digital platform baru mulai digalakkan, platform kelas digital seperti zoom, google clasroom, google meet, ruang guru dan lain sebagainya mulai bermunculan. Hal ini membuat para guru harus bisa menyesuaikan kelasnya masing-masing, belum lagi media social seperti WA, facebook dan ig mulai dipergunakan dalam pembelajaran online/daring di era digital yang semakin meluap membuat para guru harus kreatif serta tanggap akan kemajuan yang serba cepat. Informasi yang kian mewabah tanpa filter membuat guru PAI harus bisa mengatasi moral yang kian tak terkendali.

Namun sayang, masih banyak guru yang tak siap hadapi era digitalisasi, hal ini menyebabkan pengurangan layanan pendidikan dari guru ke siswa, belum lagi tanggung jawab seorang guru PAI yang harusnya mendidik para peserta didik secara langsung melalui tatap muka kini telah terganti jarak jauh dilayar 5 inch, hal ini menyebabkan guru tidak leluasa mengedukasi diswa dalam bimbingan serta mendidik, mengarahkan maupun memotivasi secara langsung. Seperti menjadi tantangan tersendiri bagi para guru dan jadi permasalahan baru yang kian memburuk.

Selain itu sistem pembelajaran online menambah jauhnya pengawasan terhadap peserta didik yang sangat membutuhkan perhatian. Guru tidak bisa langsung memantau perilaku siswa. Bagi peserta didik yang bermasalah baik dalam pembelajaran maupun lingkup lingkungan sekolah ataupun pertemanan dan lingkup tempat tinggal mereka terpaksa harus dipendam sehingga memunculkan dampak psikis maupun perilaku emosi yang tak baik nantinya. Hal tersebut membawa kekosongan dalam diri siswa terhadap nilai-nilai pendidikan moral dan karakter.

Meskipun secara formal pembelajaran tetap berlangsung dengan baik tanpa ada kendala dan sebagai solusi di masa pandemi yang kuan menjadi, namun pendidikan moral peserta didik dimasa pandemi sangat terabaikan, guru yang harusnya menjadi figur bagi para siswa kini seperti hilang ditelan alam. Mereka kehilangan sosok yang seharusnya ada pada diri peserta didik.

Selama pembelajaran virtual intensitas perjumpaan guru dan siswa sangat minim sehingga siswa mudah sekali terhanyut dalam lingkungan yang tak seharusnya, seperti komunikasi antar siswa dan guru yang harusnya terjalin kini telah terganti dengan dunia maya, kedekatan batin sesta proses iklim belajar yang kondusif kini terkendala oleh jarak dan waktu, guru tak tahu jika mereka berselancar dalam dunia maya dan hanyut dalam internet serta dunia maya yang tak terfilter dan berita yang kian mewabah setiap detik, belum lagi virus pornografi, game online serta sosmed yang menjadikan degradasi moral yang kian memburuk. sikap apatis dan kurangnya empati serta menghargai orang lain dan budaya barat seperti menjadi dampak utama akibat pergelakan dunia maya yang tak terkendali.

Pembelajaran jarak jauh memang mensyaratkan bagi para pengguna untuk mengakses perangkat menggunakan handphone serta internet sebagai media pembelajaran. Interaksi virtual dalam waktu lama secara tidak langsung membentuk ketergantungan serta kecenderungan peserta didik dalam aksesnya, hal ini menyebabkan efek candu serta sindrom yang tak terkendali, terlebih lagi dunia maya dengan segala kebebasannya menawarkan kemudahan serta berbagai akses fasilitas dan konten menarik yang membuat para pengguna betah berlama-lama. Jika sudajmh demikian bukan tidak mungkin media sangat menjerumuskan bagi para pemilik sebagai salah satu penyebab menurunnya moralitas serta degradasi moral bagi para siswa, remaja dan anak muda,khususnya bagi para pelajar.

Keharusan siswa menghabiskan waktu di sekolah dengan berbagai kegiatan yang edukatif serta ruang interaksi terbuka, keterlibatan serta penyaluran energi sangat membantu siswa dalah mengolah serta mengasah pola berpikir serta kecerdasan yang membuat para siswa lebih sehat dalam bersosialisasi serta sisi mental yang baik (mengurangi depresi, kecemasan dan juga stres) sehingga mereka dapat menyalurkan hobi dan bakat mereka sehingga terjalin iklim suasanya baik dalam diri, lingkungan maupun masyarakat yang kondusif dan kondisional dalam perkembangannya.

Akan tetapi hal demikian berbanding terbalik dari apa yang seharusnya menjadi kebutuhan bagi para siswa, selama masa pandemi sebagian para siswa menghabiskan masa libur serta masa dirumah saja dimusim pandemi dengan hal yang tidak produktif, pembatasan aktifitas dan ruang gerak sangat berdampak bagi psikologi siswa, hal inj dibuktikan dengan banyak peserta didik yang mengeluh bosan, jenuh dan sulit berkonsentasi selama masa pandemi.

Depresi, pola asuh orang tua serta meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga membuat efek tersendiri bagi para siswa. Emosi yang labil, meningkatnya rasa cemas dan kesepian selama beradaptasi menambah efek buruk bagi para siswa, hal ini menjadi alasan para siswa melampiaskan diri mereka dengan menghabiskan waktunya di dunia maya, hal ini dibuktikan dengan banyak siswa yang larut dalam game online serta permainannya sendiri. Pergaulan bebas, penggunaan narkoba, judi online, pencurian seperti semakin marak terjadi di era pandemi ini.

Berdasar surat edaran dari kemendikbud Nomor 4 tanggal 24 Maret 2020 yang mengatur pelaksanaan pendidikan masa darurat covid 19 yang berisi tentang perlindungan warga satuan pendidikan dari dampak corona virus yang memastikan pemenuhan hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan untuk mencegah penularan serta penyebaran corona virus serta memastikan pemenuhan dukungan psikososial bagi pendidik, peserta didik serta orang tua/wali yang mengakibatkan degradasi moral sepertinya masih memerlukan arahan serta perhatian lebih dari semua pihak dan semua elemen masyarakat. (Radar Semarang.com)

Pasalnya menghadapi kebiasaan baru tidaklah mudah, membutuhkan persiapan serta kesiapan yang relatif lama hal ini yang menyebabkan delima besar bagi para guru dan peserta didik,belum lagi mengenai dampak finansial serta kemrosotan moral yang tak terkendali haruslah saling bahu membahu di semua lini baik dari pemerintah dan masyarakat secara umum.

Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah menghadapi tantangan yang tak ringan berkenaan dengan hadirnya teknologi digital yang berkembang pesat. Guru PAI yang mendapat amanat untuk mencetak generasi beriman dan beramal saleh kini dituntut ekstra waspada, pasalnya pandemi covid 19 telah mengubah banyak hal termasuk aturan teknis dalam dunia pendidikan. Kebijakan work from home (WFH) semakin digalakkan dengan alasan yang sama, kontrofersi diberbagai kalangan Agama kian hari kian meresahkan, rusaknya mental akibat internet dan dunia maya kian melanda.

Kebijakan Work from home (WFH) telah banyak diterapkan diberbagai sekolah mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Meskipun kemendikbud telah membebaskan guru dari tuntutan capaian kurikulum baik untuk kenaikan kelas maupun kelulusan, namun sebagai pengampu mata pelajaran, guru PAI memiliki tnggung jawab moral yang tidak sedikit dan sudah menjadi ketentuan serta persepsi masyarakat bahwa guru PAI harus tampil sebagai figur para siswa yang menjadi suri tauladan bagi anak-anaknya/peserta didik yang nantinya menjadi cikal bagi generasi bangsa.

Guru PAI memiliki kewajiban membentengi serta mengawasi anak didiknya dari kebebasan dunia digital di era super cepat agar terhindar dari rusaknya moral serta mental anak remaja dan dewasa yang mengancam setiap saat. Ketika anak usia sekolah dasar diberi keluasan untuk memegang gadget maka tidak ada jaminan mereka akan steril dari pengaruh dunia maya jika tidak diarahkan dan dikontrol serta diawasi secara baik dan bijak karena selain mereka masih dalam tahap perkembangan emosi mereka juga cenderung labil.

Komisi perlindungan anak (KPAI) turut ikut prihatin terhadap kondisi anak usia sekolah sekarang ini yang terancam berbagai macam kejahatan predator dunia cyber, kecemasan dikalangan praktisi pendidikan terkait pandemi yang mengharuskan anak belajar di rumah lewat dunia maya dengan berdampingan bersama internet bukan saja pada saat belajar, tetapi pada aktifitas lain menuai kekhawatiran bagi pendidik dalam pembahasan konferensi tahunan persatuan guru dan dosen, ATL yang berlangsung di Belfast 2014 lalu. (JawaPos.com).

Peran orang tua dan guru sangatlah penting dalam penanggulangi serta meminimalisir kasus tersebut. Perlunya kerjasama antar kedua belah pihak sebagai awal untuk pencegahan preventif untuk edukasi para peserta didik sehingga anak tahu batasannya. Jangan sampai niat membebaskan anak-anak dari virus Covid-19 justru memunculkan ancaman lain yang lebih membahayakan yakni pornografi yang berdampak pada kemerosotan moral anak-anak bangsa. Pembelajaran PAI di sekolah tidak cukup hanya bersifat teoritis (penyampaian pengetahuan) tetapi perlu diaplikasikan dalam tindakan nyata. (pai1/ida)

Bagikan :

Tambahkan Komentar