Oleh: Choirul Anam
Guru PAI di SD N 2 Wonotirto Kecamatan Bulu
Kabupaten Temanggung
Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki budaya
yang sangat banyak dan biasa disebut sebagai negara multi kultural, negara yang
terdiri dari berbagai pulau dan berbagai suku bangsa. Di Indonesia, setiap suku
bangsa pasti memiliki budaya, adat (tradisi) atau kebiasaan yang berbeda-beda. Menurut
saya budaya merupakan cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Melalui
kebudayaan manusia dapat beradaptasi dengan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan
hidup agar dapat bertahan dalam kehidupan.
Kehidupan manusia tidak bisa lepas dari kebudayaan.
Manusia disatu sisi menjadi kreator atau pemeran penting sekaligus produk dari
budaya tempat dia hidup, hubungan saling pengaruh ini merupakan salah satu
bukti bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa budaya. Kehidupan berbudaya
merupakan ciri khas manusia dan akan terus berlangsung mengikuti alur jaman.
Kebudayaan tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia dan hampir selalu
mengalami proses penciptayan kembali. Perkembangannya bisa berlangsung cepat
dan juga berkembang secara perlahan tergantung manusia.
Dalam sejarah perkembangan kebudayaan mengalami
akulturasi dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh karena itu, corak dan
bentuknya diwarnai oleh berbagai unsur budaya yang bermacam-macam. Setiap
masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh kondisi
sosial budaya masyarakat antara yang satu dengan yang lain berbeda. Perbedaan
tersebut saling berinteraksi secara terus-menerus menjadi norma yang kemudian
ditanamkan dan diyakini oleh masyarakat dan wariskan kepada generasi-generasi
selanjutnya.
Salah satu budaya yang mengalami akulturasi yaitu
tradisi sadranan. Sadranan, sebagian orang menyebutnya sebagai ruwahan, dimana
tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Jawa pada bulan Sya’ban atau menjelang
Ramadhan. Pada bulan ini kebanyakan masyarakat berdoa (mengirim doa) kepada
pada leluhur yang telah meninggal dunia agar diampuni dosa-dosanya, diterima
amal baiknya, dan mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Ritual ini dipahami
oleh masyarakat Jawa sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para
nenek moyang. Ritual yang tetap bertahan meski jaman menjadi modern dan ilmiah.
Tradisi sadranan merupakan suatu simbol adanya
hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Maha Kuasa atas segalanya.
Sadranan merupakan sebuah pola ritual yang mengombinasikan budaya lokal dan
nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental
Islami. Sadranan menjadi contoh akulturasi agama dan kearifan lokal.
Dengan adanya akulturasi budaya sangat terlihat nyata
pada tradisi sadranan yang dipraktekkan oleh masyarakat Jawa. Bahwa
sesungguhnya sadranan merupakan tradisi Hindu-Budha sekitar abad 15. Dalam
perjalanannya, sadranan mengalami akulturasi dengan budaya Islam. Dengan
demikian sadranan yang dulu syarat dengan pemujaan roh kemudian diluruskan
niatnya kepada yang Maha Esa oleh para ulama (wali songo). Akulturasi budaya
tersebut kini telah menjadi laku tetap bagi masyarakat Jawa. Tradisi sadranan
mampu menyatukan keanekaragaman masyarakat Jawa. Tradisi yang kental akan
nilai-nilai pluralitas dan menjadi watak masyarakatnya.
Selain nilai-nilai tersebut, masih banyak nilai-nilai
agung yang terpendam dalam tradisi sadranan. Nilai-nilai tersebut menjadi
karakter bagi masyarakat Jawa. Karakter yang secara tidak disadari terintegrasi
dalam jiwa generasi berikutnya.
Makna Ritual Sadranan
Di desa dan di masyarakat jawa khususnya setiap bulan
Ruwah atau Sya’ban, masyarakat Jawa berbondong-bondong datang ke makam dan
melakukan ritual bersama. Semua orang bersatu dalam satu tempat dan niat.
Bahkan ada beberapa orang yang sangat meresapi akan adanya ritual sadranan itu
hingga menangis. Merasa bahwa leluhurnya perlu beri apresiasi sangat besar
dengan cara do’a bersama. Memohon kepada yang Maha Kuasa agar leluhurnya (ahli
kubur) diampuni semua keburukan dan diterima amal ibadahnya serta ditempatkan
di surga. Pada dasarnya masyarakat mengadakan dan melestarikan budaya sadranan
dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan.
Secara sosio-kultural, implementasi dari Ritual
sadranan tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan
(kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus
landasan ritual doa. Sadranan juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan
sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan. Prosesi ritual
Sadranan biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak. Adonan
tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari
daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Kue-kue tersebut selain
dipakai munjung/ater-ater (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua,
juga menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan
bagian dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas sosial
kepada sesama.
Pertama biasanya masyarakat melakukan bersih makam.
Hal ini dilakukan pada sore hari. Semua anggota keluarga datang ke makam dan
membersihkan semua area pemakaman. Selesai melakukan pembersihan makam,
masyarakat menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau
lahan kosong yang ada di sekitar makam leluhur (keluarga). Ada juga yang
dilakukan pada pagi hari. Sebelum dilakukan Kenduri masyarakat memberi tahu
kepada masyarakat lain melalui pengeras suara di Musholla dan Masjid.
Lalu seluruh
keluarga dan anak-anak kecil serta remaja hadir dalam acara kenduri itu. Tiap
keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk
bersama. Kemudian, tokoh masyarakat membuka acara, isinya bermaksud untuk
mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia
menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya. Setelah itu,
dilakukan doa bersama dengan di pimpin oleh ulama setempat.
Sebagian masyarakat, tradisi sadranan juga diperingati
dengan bentuk pengajian. Masyarakat berkumpul dalam tempat tertentu seperti
madrasah atau masjid dekat makam yang telah ditentukan oleh panitia. Sejak pagi
hari masyarakat bersama-sama melakukan kerja bakti menyiapkan keperluan kenduri
atau pengajian. Menyiapkan masakan yang akan dihidangkan pada saat pengajian
bersama-sama. Kemudian mereka pulang dan bersiap-siap untuk melakukan ritual
kenduren.
Kenduri diawali dengan lantunan ayat-ayat suci Al
Qur’an kemudian dilanjutkan shalawat. Setelah itu masyarakat bersama-sama
membaca tahlil untuk para leluhur dan ahli kubur. Pembacaan tahlil biasanya
dipimpin oleh ulama desa. Saat pembacaan tahlil, semua aktifitas masyarakat
berhenti. Dilanjutkan dengan do’a tahlil. Do’a tahlil biasanya berisi
permohonan ampun untuk para leluhur dan permohonan agar leluhur dan para ahli
kubur ditempatkan di sisi-Nya. Tidak lupa permohonan kebaikan dan ketentraman
bagi desa dan semua warga desa, baik dunia maupun akhirat. Ditutup dengan do’a
sapu jagat.
Dari tata cara tersebut, jelas sadranan tidak sekadar
ziarah ke makam leluhur, tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya, seperti
budaya gotong-royong, guyub, pengorbanan, ekonomi. Nilai-nilai itu dipraktekan
oleh masyarakat Jawa dari generasi ke generasi. Sadranan sudah melekat dan
menyatu pada masyarakat Jawa khususnya. Hal ini bisa dilihat dari antusiasme
warga, bahkan banyak anggota keluarga yang sedang merantau di luar kota pulang
untuk melakukan sadranan dan ziarah. Mereka pulang untuk melakukan tradisi ini,
sekaligus untuk bersilaturahmi dengan keluarga besar. Di sini ada hubungan
kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau anggota trah.
Pendidikan Nilai dan Karakter Dalam Tradisi Sadranan
Ritual sadranan memberi dampak yang sangat besar bagi
masyarakat Jawa. Karakteristik kuat orang Jawa sangat tampak dalam ritual
tahunan tersebut. Dalam tradisi sadranan terdapat proses penanaman dan
pengembangan nilai-nilai dari seseorang kepada masyarakat, dari satu generasi
ke generasi selanjutnya. Sadranan menjadi media internalisasi nilai-nilai agama
dan budaya kepada masyarakat.
Sadranan memiliki beberapa pendidikan nilai dan
karakter yang tinggi, diantaranya:
1. Nilai Religius
Masyarakat Jawa terkenal sebagai masyarakat yang
religius. Religius maksudnya berhubungan dengan praktek ketuhanan. Masyarakat
yang percaya akan adanya kekuatan yang maha dasyat diluar kemampuan manusia.
Nilai religius ini juga tampak sangat jelas dalam ritual sadranan. Ritual yang
dimaksudkan untuk mendoakan para leluhur. Do’a merupakan unsur penting dalam
pelaksanaan ritual sadranan. Permohonan ampunan dan permohonan surga bagi para
leluhur dilakukan dengan tahlilan yang dipimpin oleh ulama setempat dan ziarah
makam.
2. Nilai Syukur
Masyarakat Jawa seperti telah diketahui, merupakan
masyarakat pemeluk agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Oleh
karena itu mempunyai kesadaran akan kewajibannya dalam melakukan pengabdian dan
persembahan kepada-Nya. Salah satu bentuk persembahannya yaitu melalui rasa
syukur. Syukur atas segala karunia yang diberikan Tuhan kepadanya setiap waktu.
Sadranan merupakan perwujudan rasa syukur masyarakat Jawa kepada Tuhan Yang
Maha Kaya. Masyarakat berlomba-lomba mensodaqohkan makanan atau jajanan kepada
saat sadranan. Tidak ada paksaan dalam laku ini. Masyarakat Jawa sangat
memperhatiakan dan bertaqwa bahwa dalam surah Ibrahim Ayat 7, dijelaskan bahwa
“….Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih”. Masyarakat Jawa menolak azab yang besar melalui laku sadranan.
3. Nilai Gotong-royong (Rukun)
Sikap rukun telah menjadi ciri yang dimiliki oleh
masyarakat Jawa. Pelaksanaan sikap rukun dalam kehidupan sosial kemasyarakat
lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada pribadi, jauh dari rasa
permusuhan, saling tolong menolong dalam kebaikan. Perintah wata’awanu alal
birri wattaqwa bagi masyarakat Jawa tidak hanya sekedar di atas kertas, tetapi
teraktualisasikan dalam laku sosial, bahkan menjadi kebutuhan sosial
masyarakat.
Seperti halnya tradisi sadranan di Jawa dirasakan
menjadi milik bersama, dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dijiwai
oleh rasa kebersamaan saling tolong menolong tanpa rasa perselisihan, merasa
saling mengungguli. Oleh karenanya sadranan merupakan perwujudan dari rasa
rukun masyarakat Jawa.
4. Nilai Saling Menghormati (Pluralisme)
Sadranan hakekatnya adalah ziarah kubur. Masyarakat
Jawa bersama-sama datang ke makam dalam rangka mendo’akan leluhur atau ahli
kuburnya. Tidak ada kekhususan bahwa ziarah dilakukan oleh orang muslim. Semua
diperbolehkan melakukan ritual ini, bahkan dengan non muslim. Melalui tradisi
sadranan, nilai-nilai saling menghormati perbedaan ditanamkan kepada setiap
generasi. Di tempat itu, semua orang menjadi satu atas nama persaudaraan.
Setelah selesai ziarah, setiap orang yang keluar dari makam salam bersalaman,
saling menebarkan kedamaian. Tua kepada yang muda, yang muda kepada yang tua
saling berjabat-tangan. Sadranan merupakan kearifan lokal masyarakat Jawa yang
syarat nilai dan karakter luhur. Tradisi apapun bentuknya jika tidak dijaga dan
dilestarikan akan hilang tergerus jaman. Jika bukan manusia sekarang, lalu
siapa lagi yang akan menjaga dan mengamalkan tradisi luhur para leluhur kita.
Tambahkan Komentar