Oleh Alifia Nur Fadhilah

Pesantren maju dan berkembang karena inisiatif dari para tokoh agama untuk mendidik masyarakat dalam bidang agama. Keberadaan pesantren kurang diperhatikan negara, karena pesantren sebagai lembaga pendidikan yang dianggap informal. Sebagian masyarakat yang kurang paham dengan pesantren mengecam bahwa pendidikan di dalam pesantren tidak modern. Dengan segala keterbatasan, pesantren tetap mampu bertahan. Sejarah panjang mengenai deskriminasi pesantren sebagai lembaga pendidikan sudah terjadi sejak era kolonial.

Pada saat itu pesantren menjadi basis perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Pada Era Orde Lama, pesantren menjadi basis kuat dalam menghadapi kelompok komunis yang berusaha melakukan provokasi. Pada Era Orde Baru, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai oposisi kuat. Semua hal terkait dengan infrastruktur sosial NU berusaha dihilangkan perkembangannya, termasuk salah satunya lembaga pendidikan pesantren. Baru pada era Reformasi, pengakuan dan pengembangan pesantren terus bertumbuh sampai sekarang.

Disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberi harapan baru dalam pemberdayaan pesantren yang kurang mendapatkan perhatian dari negara sebagaimana pendidikan lainnya. Data yang dikemukakan oleh Ronald A.L. Hashim dan Langgulung mereka menyatakan bahwa 20-25% usia Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Indonesia menempuh pendidikan di pesantren.

Mengkaji Ulang
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren resmi disahkan menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna 10 masa sidang 1 tahun oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ada 5 poin penting dalam Undang-Undang (UU) Pesantren yaitu: Pertama, Kitab Kuning. RUU Pesantren di setujui, lembaga pendidikan pesantren harus mengajarkan para siswanya menggunakan kurikulum kitab kuning. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 dan 3 dalam RUU Pesantren. Kedua, Lembaga Mandiri. Salah satu isi RUU Pesantren, menerangkan bahwa keberadaan pesantren sebagai lembaga mandiri. Sebab, pesantren memiliki ciri khas sebagai institusi yang menanamkan nilai-nilai ke imanan kepada Allah SWT.

Ketiga, Kiai Berpendidikan Pesantren. Dalam Pasal 5 RUU Pesantren, disebutkan bahwa Pesantren harus memiliki Kiai hanya saja, pada Pasal 1 ayat (9) Kiai harus seorang pendidik yang memiliki kompetensi ilmu agama berlatar belakang pendidikan pesantren. Keempat, Proses Pembelajaran. RUU Pesantren mengesahkan proses pembelajaran yang khas, yakni ijazah kelulusannya memiliki kesetaraan dengan lembaga formal lainnya dengan memenuhi jaminan mutu pendidikan. Kelima, Dapat Dana Abadi. Pesantren akan mendapatkan dana dari pemerintah. Ketentuan dana tersebut masuk dalam Pasal 49 ayat 1 dan 2.

Dengan adanya Undang-Undang Pesantren ini tidak akan bertentangan dengan UU Sisdiknas yang sudah ada sebelumnya mengingat dalam UU tersebut, hal terkait dengan pesantren tidak diatur secara khusus. Yang perlu diperhatikan adalah, jangan sampai terjadi peraturan yang saling bertentangan antara dua UU tersebut karena dua-duanya mengatur soal pendidikan di Indonesia. UU Sisdiknas mengatur pendidikan secara umum, sedangkan UU Pesantren mengatur secara khusus pesantren dan pendidikan keagamaan lainnya.

Dukungan pendanaan yang lebih adil  dari pemerintah sebagaimana diterima oleh institusi pendidikan formal lainnya memungkinnkan pesantren mengejar ketertinggalannya. Dan untuk itu diperlukan perundang-undangan sebagai dasar. Di sisi lain sebagian kalanagan pesantren bahwa UU Pesantren dan Keagamaan ini adalah upaya negara melakukan kooptasi terhadap pesantren. Yaitu dengan membuat UU untuk dapat melakukan intervensi terhadap keberadaan pesantren, mengatur kurikulumnya, serta mempengaruhi kebijakan yang dibuat untuk pesantren itu sendiri.

Kelemahan UU Pesantren misalnya dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat 7 disebutkan “Kyai, Ustadz, Syekh, atau sebutan lain adalah seorang pendidik yang memiliki kompetensi ilmu agama yang berperan sebagai figur, teladan, dan pengasuh Pesantren”. Dan dipersyaratkan merupakan lulusan pesantren , karena orang-orang lulusan non-pesantren maka ia tidak dapat disebut kia walaupun ia anak kiai, karena kenyataanya ada.

Selain itu UU ini juga tidak membahas apa yang dimasud dengan Kitab kuning dan ini relatif berbeda dengan komponen pesantren lain yang disebutkan masudnya. Kurikulum yang ada di pesantren sangat beragam. Sebagian besar pesantren mengutamakan kajian fiqh, tetapi ada pesantren Al-qur’an, pesantren untuk pengamalan tarekah, ilmu-ilmu hikmah. Mengatur keberagaman seperti ini bukan hal yang gampang. Negara harus mempertanggung jawabkan dana yang disalurkan kepada publik sebagai mekanisme sistem demokrasi.

Pembentukan
Sejauh mana kurikulum pesantren yang ada saat ini sudah memenuhi kebutuhan masyarakat? Para pengaruh pesantren perlu secara terus menerus melakukan evaluasi agar lulusan pesantren mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan solusi keagamaan. Contohnya pada ekonomi syariah atau ekonomi Islam berkembang dengan pesat dalam bentuk bank syariah, sukuk, asuransi syariah dan beragam akadnya. Kebutuhan akan kajian fiqih kontemporer di pesantren menjadi penting untuk menyesuaikan diri dengan konteks kekinian.

Masyarakat sadar bahwa pesantren menjadi solusi atas gegap gempita kekacauan akhlak kehidupan bangsa untuk memperbaiki moral. Masih banyak hal yang perlu diatur secara lebih detail di dalam UU tersebut. Pemberdayaan pesantren akan menjadi bagian dari cita-cita besar menjadikan Indonesia sebagai pusat peradaban Islam dunia. Cita-cita besar tanpa langkah konkret untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam hanyalah omong kosong yang sia-sia.

Jumlah pesantren di Indonesia mencapai 27.230 pesantren dengan jumlah terbanyak di Jawa. Dengan jumlah pesantren salaf (14.459), pesantren khalaf (7.727), dan pesantren kombinasi mencapai (5.044) berdasarkan yang di pakai oleh kementrian agama. Pesantren modern atau pesantren muadalah yang identik dengan mengarahkan para santri untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi setelah mereka tamat dari pesantren, upaya inovasi untuk memberi pilihan pendidikan yang arahnya tidak untuk menjadi ulam, tetapi memberi bekal kepada santri dengan pengetahuan agama yang cukup.


Pesantren salaf, yang sedari awal diorientasikan untuk mendidik calon-calon ahli agama, kini semakin sedikit peminatnya. Mereka kalah bersaing dengan perguruan tinggi Islam yang menawarkan gengsi dengan gelar sampai tingkat doktor dan akses lebih luas. Salah satu solusinya dengan pendirian ma’had ali yang menyetarakan pendidikan di pesantren setingkat dengan sarjana, kemungkinan ke depan akan ada inovasi yang lebih maju di masa depan. Dukungan  pemerintah yang lebih kuat akan membuat pesantren lebih berdaya dari sebelumnya.

- Penulis adalah Santri PP.Miftakhurrosyidin Temanggung

Bagikan :

Tambahkan Komentar