Oleh  Idammatussilmi
Guru MI Najmul Huda Kemloko Temanggung

Saat ini, banyak keluarga milenial tidak menjadikan rumah sebagai surga bagi anak, khususnya bagi keluarga di kota-kota. Mereka hanya memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan saja. Sementara asupan gizi dan moral tidak diprioritaskan. Padahal diktum “rumahku surgaku” sudah diajarkan dalam Islam sejak dulu. Jika anak-anak tidak menemukan surga di rumah, lalu di mana lagi?

Kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat karena untuk bulan Januari saja, jumlah anak korban kekerasan seksual bisa lebih dari 100 orang yang tersebar dibeberapa daerah. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengungkapkan, angka kasus kekerasan seksual pada tahun 2015 cukup tinggi. Kemudian tahun 2016 dan 2017 turun drastis. Namun, diawal tahun 2018 kembali tinggi dan naik sangat drastis mencapai 206 kasus (Detik.com, 30/09/2019).

Anak-anak tidak boleh kehilangan golden age (usia emas) karena masa itu penentu baik-buruk kehidupan mereka kelak. Yadi (2017:23) berpendapat bahwa anak yang menerima perkataan buruk, kebanyakan mereka akan menjadi generasi yang kasar, begitu sebaliknya. Rumah merupakan tempat awal anak  akan menemukan kepribadian dan karakter, jika lingkungnan anak tidak mendukung bagaimana bisa membentuk kepribadian dan karakter yang baik? Bagaimana nasib bangsa ini akan generasi penerus?

Anak akan menjadi penerus bangsa yang baik jika ia mendapat kasih sayang dan perlakuan hidup yang baik juga, sebab anak akan berpikir untuk apa menjadi penerus bangsa yang baik jika dalam lingkup kecil  saja anak sulit mendapat perhatian bahkan anak menjadi korban dalam tindakan asusila.

Pemikiran anak akan maju dan berkembang jika ia mendapat asupan pendidikan dan karakter yang baik dalam rumahnya, sebaliknya anak yang mempunyai masa kecilnya kelam akan tindakan suatu yang dialami oleh dirinya akan berdampak dan berpengaruh pada anak besok tuanya. Banyak anak yang bosan dan trauma dengan  rumahnya, karena dalam rumah anak pernah ada kejadian yang membuat anak itu beranggapan rumah bagaikan neraka.

Rumah Bukan Nerakaku!
Banyaknya kasus pedofil yang terjadi marak terjadi menjadikan rumah bagaikan “neraka” bagi anak. Kekerasan pada anak yang marak terjadi juga menurunkan mental anak. Selain itu pengaruh perilaku orang tua yang menyimpang banyak menjadikan anak jauh dari kebenaran. Anak yang mencontoh perilaku orang tuanya misalkan seperti orang tua yang bertato, mabuk-mabukan, judi sampai narkoba dan anak tersebut akan menularkan pada teman yang lain. Bahkan anak mempraktikkan perbuatan yang dilakukan orang tuanya.

Pada suatu ketika penulis mengalami hal yang tidak sewajarnya dikatakan oleh anak didiknya. Tepatnya pada hari Kamis, di MI Najmul Huda Kemloko kelas III sewaktu pelajaran  Al-Quran Hadist saat membahas kandungan surah Az-Zalzalah tentang tanda-tanda kiamat setiap murid membacakan satu-satu anak itu giliran membacakanya tidak seperti biasanya anak itu tiba-tiba memberontak tentang apa yang ia bacakan yaitu tentang maraknya minuman keras dan wanita yang membuka aurat.

Bu.... bapak saya setiap hari minum minuman keras dan saya pun sering ditawari untuk meminumnya tetapi buktinya hari ini belum juga kiamat dan ibu saya juga pakaianya seksi-seksi tapi sampai hari ini juga belum kiamat semua itukan tanda kiamat “Serontak anak itu”. Kejadian tersebut menandakan setiap perbuatan orang tua akan membekas dalam diri anak dan menunjukkan rumah adalah pendidikan pertama yang diperoleh anak.

Rumah bagi anak bukan untuk sarana perlindungan dan kasih sayang melainkan rumah bagaikan “neraka”. Dari kasus tersebut kita dapat melihat gaya hidup orang tua yang turun pada anaknya. Banyaknya kekerasan seksual timbul dari keluarga, karena perilaku orang tua dengan gaya hidup yang bebas.

Menurut Susanto, motif dari kasus kekerasan seksual ini ada beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, dendam maupun  dorongan seksual yang tinggi. Sementara itu psikolog Kassandra Putranto menilai kekerasan anak bagai fenomena gunung es. Di mana hanya tampak bagian puncaknya saja, sedangkan di bawahnya sulit terdeteksi. Menanggapi beberapa kasus yang terjadi anak-anak yang seharusnya mendapatkan perlakuan yang sebaik mungkin di rumahnya menjadikan anak mendapatkan perlakuan yang tidak selayaknya, dan menjadikan anak tergangu dari dari segi mental yang kurang maupun  yang berlebihan.

Rumahku Surgaku!
Sudah seharusnya rumah itu menjadi surga dan wajib hukumnya. Rumah akan menjadiakan surga bagi anak jika dalam rumah itu anak mendapatkan kasih sayang dan pendidikan yang selayaknya. Rumah  merupakan awal dari pembentukan sebuah karakter pada anak dan rumah merupakan awal dari anak memperoleh pengetahuan.

Oleh sebab itu rumahku surgaku merupakan awal pembentukan anak yang baik dan karakter kepribadian yang bisa membangun anak agar nemjadi generasi penerus bangsa yang baik dan sesuai Pancasila.  Ketika perilaku anak disebabkan karena faktor pengaruh digital. Hal tersebut akan memiliki pengaruh yang luar biasa. 

Dalam sejumlah kasus, anak menjadi korban kekerasan seksual.
Dalam membangun surga dalam keluarga dapat dilakukan dengan beberapa strategi seperti, mengajarkan pendidikan agama, penerapan pendidikan keluarga melalui pendidikan pra nikah, membatasi penggunaan gawai, meluangkan lebih banyak waktu untuk keluarga, membiasakan anak dalam melalukan permaianan tradisional seperti: congklak, gobak sodor dan lain-lain.

Pelaku terinspirasi dari pornografi yang ada di medsos, internet, HP, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa pengaruh dunia digital saat ini memang luar biasa. Dalam menimalisir penggunaan media social dibutuhkan peran para orang tua khususnya orang tua untuk memperhatikan anak-anaknya. Peran orang tua dinilai penting untuk menjadi pilar proteksi anak dari pornografi. Bagaimana jika orang tua justru menjadi faktor dalam pengaruh kekerasan seksual?

Bagikan :

Tambahkan Komentar