Oleh Budi Santoso
Seniman Kuas Digital

Dalam kamus Islam, mazhab ‘kagetan’ aslinya tidak ada. Namun, di era serba digital saat ini, banyak umat Islam yang mudah kagetan dan berdampak pada praktik ibadah mahzah maupun muamalah.
Aktivitas di media sosial yang memenuhi kebutuhan beragama seseorang adalah materi agama. Maraknya materi Islam yang mereka baca, membuatnya tertarik mempelajari Islam. Akan tetapi di sisi lain muncul juga kekhawatiran akan tumbuhnya ekstrimisme agama, maraknya ujaran kebencian, mudah menyalahkan orang lain yang tidak sesuai dengan apa yang ia pelajari, disorganisasi sosial (Soerjono Soekanto : 1990) Konsep ini merupakan proses melemahnya nilai dan norma dalam suatu masyarakat akibat terjadinya perubahan.

Sebagai contohnya, di era sosial media saat ini, masyarakat cenderung beralih kepada sikap individualistis (mementingkan diri sendiri) dan kurang memperhatikan lingkungan sosial sekitar, cultural shock atau guncangan budaya (Milstein: 2005) Kondisi ketika masyarakat mengalami kaget karena belum siap menerima perubahan. Yang disebabkan akibat adanya unsur-unsur kebudayaan lain yang berbeda dengan kebudayaan sendiri. Dampak terburuk dari cultural shock adalah ketertinggalan kondisi dan bisa menyebabkan terjadinya masalah sosial. Dampak negatif terakhir, setidaknya ada empat kata yang seringkali dituduhkan  umat Islam lain yang tidak sejalan,  klaimnya akidah mereka yang paling benar dan paling bersih. Empat tersebut kafir,  bid'ah,  sesat, dan musyrik.

Yang saya perhatikan dari beberapa orang yang aktif dalam kajian agama seperti di internet ia akan lebih condong mudah membagikannya mulai dari unggahan status Facebook, Instagram, Youtube, Whatsapp dan aplikasi lainnya sampai dalam bentuk Display Picture (DP) atau video Story Islami.
Sampai di sini muncullah pertanyaan apakah Islam cukup dipelajari melalui Story  media sosial? dan orang lain juga  harus ikut-ikutan bergabung sebagai bentuk dukungan  misi agama yang harus disebar luaskan? Anehnya ketika mengklik tombol suka, men-share dan bilang Amin bisa masuk surga.

Mazhab ‘Kagetan’
Ketika hakikat spiritual bergeser menjadi tren gaya hidup dan perpaduan  keselebritisan, packaging yang menarik dan mudahnya menyerap informasi di era digital tidak lagi orang mengklarifikasi kebenaran pada sumber informasi yang sebenarnya, tentu hal ini berdampak banyak sekali agar terkesan bahasanya uptodate dengan mudah mengatakan Hijrah.

Dalam pitutur luhurnya Sumodiningrat dan Wulandari (2014:11) mengatakan aja kagetan yang memiliki arti jangan mudah terkejut. Pitutur luhur ini artinya lebih kurang sama dengan aja gumunan. jangan mudah terkejut menyaksikan atau menemukan peristiwa yang luar biasa. Umumnya semakin banyak usia  semakin banyak pengalaman seseorang. Semakin matang seseorang, semakin ia menganggap segala sesuatu normal tidak mudah terkejut dan semakin bijaksana. Ia tidak akan kaget atau terkejut kalau mendengar berita heboh yang tidak biasa. Semuanya disikapi dengan wajar-wajar saja.

Orang yang mudah kagetan dan mudah kagum pada dasarnya mempunyai jiwa yang lemah dan mempunyai sikap negatif antara lain tidak percaya pada diri sendiri, mudah terpengaruh terhadap keadaan orang lain  (linkedin.com 2019). Nasihat‘ojo kagetan’ merupakan nasihat agar orang hanya melihat atau merasakan atau menganggap sesuatu yang terjadi atau sesuatu keadaan sebatas apa adanya. Dengan demikian  agar orang tidak perlu cepat-cepat melakukan interpretasi atau analisis atau mengambil keputusan atau menghakimi apa yang terjadi atau terhadap suatu keadaan. Dengan kata lain jangan lebay.

Jangan mudah kagetan pun akan melindungi kita dari bahaya hoaks. Jika mudah kagetan, kita dapat menjadi sasaran empuk hipnotis dan pesona orang tersebut. Di sinilah banyak orang tertipu. Orang yang melakukan tidak mudah terkejut dan tidak mudah kagum dapat otomatis menjadi tidak mudah sombong, itu dikarenakan selalu memberikan tempat kepada situasi (alam/Tuhan) untuk surut kembali ke titik normal.

Pentingnya Sanad
Sanad mencari ilmu  itu penting, artinya dalam belajar agama maupun mengkaji kitab maka carilah guru yang saat mengaji kitab dengan sanad hingga ke Rosulullah (nu.or.id 20/10/2019). Seseorang bisa keliru pikiran (gagal fokus) dan keyakinannya disebabkan ilmu yang diperolehnya salah. Karena itu, posisi ilmu sangat penting. Tidak cukup belajar agama dari seseorang yang hanya mengambil ilmu dari  buku-buku maupun  internet tanpa digurukan.

Sanad ilmu menunjukkan pentingnya otoritas dalam ilmu agama. Lebih-lebih Muslim yang masih awam yang tidak memiliki kemampuan menggali dan meneliti suatu persoalan dalam ilmu agama, wajib memiliki guru yang membimbingnya. Belajar agama tanpa guru sangat rawan gagal paham dalil agama, dan mudah ditipu aliran sesat. Sesorang ingin mengetahui makna al-Quran tanpa belajar dan tanpa bimbingan guru, akan menemui kesulitan. Seseorang jangan sembarangan memilih guru. Syekh Al-Zarnuji (1996: 24) Dalam memilih guru sebaiknya guru yang lebih alim (pandai), wira'i, (menjaga harga diri) dan lebih tua.

Ilmu semestinya mengendalikan hawa nafsu, bukan hawa nafsu yang menguasai ilmu. Seseorang tidak akan meraih ilmu kecuali dengan enam hal yaitu kecerdasan,  minat yang besar,  kesabaran,  bekal yang cukup,  petunjuk guru dan waktu yang lama Syekh Al-Zarnuji (1996: 27). Dorongan nafsu yang biasa menyerang penuntut ilmu adalah ketidaksabaran menerima ilmu. Imam Syafi’i menasihati, bahwa supaya penuntut ilmu berhasil, memerlukan waktu yang panjang (thulul zaman). Tetapi akibat dorongan nafsu, maka penuntut ilmu secara instan.

Perkembangan di dunia teknologi juga memberi peluang orang melakukan langkah instan dalam belajar. Seorang penuntut ilmu bisa mengakses segala informasi dari media sosial dan website.  Padahal salah satu adab seorang mencari ilmu agama adalah jangan sekali-kali mengambil ilmu dari buku tanpa guru.  Sebab, lembaran kertas tidak bisa membimbing. Sementara guru akan membimbing jika bacaan pelajar yang keliru. Sepandai apapun dan seluas apapun pengetahuan seseorang bila tidak memiliki sanad guru, maka dalam Islam keilmuannya tidak sah. Serta tidak pantas diangkat sebagai seorang guru alim Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (1925:29).

Bahwa Islam merupakan agama yang sangat menghormati, memulyakan dan memberi penekanan pada kepentingan ilmu. Apa pun yang dihubungkan dengan ilmu akan menjadi mulya. Ulama mulya karena penguasaan dan pengamalannya terhadap ilmu.(inpasonline.com:2019).

Dengan belajar kepada guru atau ulama maka terjalin genealogi keilmuan yang jelas atau sering disebut sanad keilmuan. Kajian kelimuan secara sanad riwayah(Hafidz Hasan Al Mas'udi:3) cukup penting,  agar teks yang dikaji tidak ada penyelewengan teks baik berupa pemalsuan teks maupun kesalahan tulisan yang akan berimplikasi terhadap kesalahan makna dan arti teks yang tertulis. Begitu pula kajian kelimuwan berlandaskan sanad dirayah (Hafidz Hasan Al Mas'udi:3). (kontekstual) juga penting, agar tidak terjadi kesalahan pemahaman dalam mengkaji suatu teks keilmuan.


Bagikan :

Tambahkan Komentar