Ilustrasi riauonline
Oleh M Yudhie Haryono

Kasih, kutulis dari tumpulnya nalarku dan tulinya pendengaranku serta butanya mata hatiku di zaman kalabendu.

Tahukah engkau bahwa di Indonesia, "orang miskin membicarakan dan makan agama. Orang jahil melaksanakan ritual agama. Orang cerdas menciptakan subtansi agama." Tetapi, 99% temanku ada di posisi pertama dan kedua. Itulah mengapa Indonesia berkubang dalam lubang penjajahan selamanya.

Orang bodoh berpuasa guna dapat sorga. Orang biasa berpuasa guna dapat pahala. Orang cerdas berpuasa dengan bersenggama. Sebab senggama (inovasi) artinya sorga dan berpahala. Tetapi, 99% temanku tidak tahu fikih subtantif. Kebanyakan para ulamanya palsu dan ngartis ngelawak saja.

Telah lama berduyun-duyun kusaksikan tiap ramadan terlihat banyak orang yang beragama tapi tidak berakhlaq (KKN) dan bermoral (publik). Dan, banyak yang berakhlaq tapi tidak berkemanusiaan dan tak punya periketuhanan. Kedua model manusia itu terlihat jadi syaitan saat mendengar adzan (maghrib).

Kasih. Ini ramadan waktu terkasih. Hujan turun deras sekali mulai jam 24.00 malam di kotaku. Saat ini masih sangat deras. Padahal pagi sudah jam 07. 20. Syahdu sekali. Aku menangkap beberapa tetes buat siapa saja yang merindukanku. Betapa kesyahduan ini membuatku gigil pada kangen tak bertepi. Jika saja ada tuhan, hantu serta hutan di sini. Atau jika saja setelah ketikan ini aku mati. Kata para jahilis, mati waktu ramadan itu mulia.

Bagi para jahilis, sais kreta kehidupan mereka bukan nalar bijak tapi nafsu bajak. Inilah yang sering didendangkan Ali bin Abi Thalib dan Kresna. Akhirnya, mereka sering memilih menjadi Abu Jahal dan Sengkuni untuk menjadi guru kehidupannya. Dan, itulah ngendonisiah. Negeri para bedebah.

Demi masa depan, kata Milan Kundera (1978), manusia seringkali lupa banyak bicara saat kemaluan mereka yang telanjang menatap pasir kuning dengan dungu, sedih dan lesu. Sebab di zaman gelap, cinta tak lagi berisi tiga: sayang, nafsu dan cemburu. Jika cuma sayang, cukup jadi saudara. Jika cuma nafsu, itu hanya memperkosa. Jika cuma cemburu, itu pasti menyiksa.

Zaman ini tak cukup waktu manusia melakukan hibridasi. Semua tergesa, zigzag, instan dan muntah. Kita sudah lama meninggalkan kerjasama. Adanya dikerjain. Kita sudah lama lupa gotong-royong. Adanya gotong-nyolong. Masih layakkah kita berucap punya cinta, jika suami-istri saja tak punya perikemanusiaan?

Di negeri ini agama dirayakan dengan berdoa dan menangis. Makanya, problem warga negara tak pernah habis. Apalagi, di negeri ini Tuhan tidur setiap bulan Ramadan.

Sambil tiduran, mari kita cari jawaban dari pwrtanyaan, "Apa problem terbesar bangsa kita?"

Rusak moral, jawab filosof. Meninggalkan Tuhan, jawab arabis. Tidak berziarah, jawab tradisionalis. KKN, jawab akademisi. Anti konstitusi, jawab nasionalis. Anti pasar, jawab neoliberalis. Menentang ilmu barat, jawab sekuleris. Kurang berdoa, jawab juhala. Tidak sabda alam, jawab naturalis. Meninggalkan nalar, jawab cendekia.

Jawabanku, itu semua benar tapi pinggiran: bukan subtansi. Sebab yang subtansi adalah karena kita menjalankan negara kolonial dan melanggengkan warisan mental kolonial.

Pada negara postkolonial lahirlah tradisi, "for your country to overcome poverty by industrializing on the out pattern is out of the question. Certenly they need accumulation but they need to direct it into forms suitable to their own situation--Joan Robinson (1950)."

Maka, mempraktekkan pembangunan ala "luar" adalah melaksanakan cultuurstelsel yang jelas memiskinkan dan meminggirkan rakyat dan warga negara Indonesia. Akibat miskin, mereka melakukan apa yang dituduhkan di atas tadi.

Begitulah tesisku sampai hari ini, yang khusus kuketik buatmu: Astika Wahyuaji.(*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar