Ilustrasi Pikiran Rakyat
Oleh M Yudhie Haryono

Seperti terduga. Krisis dompetku datang lebih cepat dan dalam. Bahkan akut. Kini terkena hempasan yang ketiga secara berurut. Lahirlah penyakit akut: penyempitan pembuluh dompet.

Pengkhianat dan pemunafik itu kini di mana-mana. Dari profesi apa saja. Mengerikan.

Dan, tepat tegukan terakhir kopi pahit ini, suratmu datang menghujam ulu hati: jlebbb. Dalam. Aku limbung. Minta mati. Berharap tak jumpa ramadan kembali. Muak. Jijik. Pada takdirNya yang berulang.

Dear kekasihku yang tidak pernah mencintaiku, begitu awal ketikan suratnya. "Kamu tau? Bahwa sebenarnya menjadi yang kesekian adalah tidak enak. Pastinya menjadi beda.
Saya merasa berpura-pura dicintai. Jelas terasa perbedaannya. Perilaku dan tindakan. Menyebut namaku saja malu di antara sastramu. Jadi sudah kuyakini dengan kesungguhan bahwa aku hanyalah assisten peribadimu. Namun, aku akan tetap tersenyum menerimanya. Dan, kutahu cintamu kamuflase."

Kalau saja Muhammad yang menerima surat cinta ini, kupastikan beliau menangis sedu sedan. Apalagi aku, lelaki terhimpit penyempitan rizki dan duit.

Suatu kali, Muhammad mengetik risalah sebelum mati buat anaknya yang mau menikah. "Anakku, menikah itu mengajarkan keikhlasan. Bukan menyuburkan kebencian dan tuduhan. Hidup bersama itu bukan memupuk hobi menemukan salah pasanganmu, mencari-cari kekurangannya. Sebab, cinta itu menerima semua kekurangan pasangan, mendorongnya berkembang, memberinya kepercayaan, mengajaknya maju bersama mewujudkan cita-cita dengan tekun, sabar dan ikhlas."

Tentu saja, rindu itu berat. Sangat berat. Terlebih rindu dengan tepatnya para pengutang membayar tagihan, kawan melunasi utangnya, negara membayar tugasnya, bisnis dilunasi sebelum jatuh tempo. Kerinduan-kerinduan akan hal ini menguap sejak tiga tahun terakhir. Kini kutemukan daya bayar clientku anjlok.

Padahal, rinduku pada peristiwa itu meledak-ledak di antara subuh dan maghrib. Sesekali muncul bagai bara dalam hati saat isya dan dukha. Menerjang-terjang. Sebab, keluarga dan kebutuhannya tak bisa ditimang-timang.

Kalian para pengutang tak paham. Kalian tak mau mengerti. Eh, kalian menaruhnya di antara kuburan, peti mati, mikhrab dan tanah gersang.

Saat bersamaan, kini berlaku tata niaga negara super dungu. Mereka mengelola negara dengan mencari sensasi, bukan solusi. Inilah maqom pejabat pemerintahan di era liberal bin begundal. Berkembanglah kini realisasi dari tesis republik barter. Yang satu dilepas agar yang satu dilantik.

Lebih sedih lagi jika melihat politik kini. Dalam demokrasi kita, semua harus diwakili, bukan semua harus dipilih. Semua harus dimusyawarahkan, bukan semua harus divoting. Kalian tahukan yang terjadi?

Di seberang sana, orang ribut hal-hal cetek bin jelek. Sampai-sampai aku berseleloroh pendek, "jika yang kalian tulis soal baju, ibadah, makanan, tingkah laku sambil mengabsenkan ketikan tekhnologi, bagaimana mau maju ummat ini?"

Akhirnya kini semua mengalami defisit tulisan inspiratif dan tekhnologi. Surplus tulisan ngalor-ngidul dan jahiliyah. Aku, kekasihku, anak-anakku dan kalian kini jadi korban. Tega dan bengong melihat arabisme bersaing ketat dengan infrastrukturisme dan utangisme di liga Indonesia yang predatorik luarbiyasa.

Cintaku. Permaisuriku. Kini kita perlu merayakan kekalahan ekonomi ini dengan menghibur diri beli ikat pinggang. Itupun kalau kamu setuju. Atau apa pikiranmu? Masa cuma bisa nyari-nyari salah dan kurangku? Subhanallah. Maha suci yang layak suci.

Kekasihku, mencintaimu mengingatkanku dengan wasiat kawan baikku yang berkata, "Hidup bukan tentang mendapatkan apa yang kamu inginkan, tetapi tentang menghargai apa yang kamu miliki, dan sabar menanti takdir baik yang akan menghampiri."

Kini mari berdansa dan menari. Lagu cinta yang syahdu, "Ya Badrotim Minha zakula kamaalii/Madza yu'a Biru an'ulaa kama qaalii

Antalladzi asyrak tafii Ufuqhil 'ulaa
Antalladzi asyrak tafii Ufuqhil 'ulaa

Famakhautabill Anwarikullaa dhallali
Sholla alaikallahu robbi Robbi daa iman
Abadan ma'al ibkariwal ashollii."(*)

Bagikan :

Tambahkan Komentar