Ilustrasi My Culinary Adventure |
Saat membaca surat itu, aku sedang terduduk. Di pojok fakultas. Malas melangkah ke perpus. Kulihat engkau. Melirikku. Melemparku dengan selembar kertas tergulung. Kutangkap dan kubaca. "Aku berontak maka aku mencintaimu. Dan, aku mencintaimu maka aku berontak."
Sungguh. Kalimat yang berdentum. Sangat filosofis. Kalimatmu mengingatkanku pada proklamasi, "cogito ergo sum (aku bernalar maka aku ada)." Ungkapan yang diutarakan oleh Descartes, sang filsuf ternama dari Perancis. Aikh aku jadi sentimentil.
Engkau kulihat lagi. Lebih seksama. Takutku aku mimpi. Senyummu nyinyir. Lalu tertawa. Kalimat berikutnya, susah kulupa.
"Jangan mencari pacar di antara tumpukan buku dan senjata. Jangan juga di antara perpus dan musalla. Pasti tidak ada. Tinggal aku. Tetapi aku sudah kawin. Bermilyar anak. Juga, tak naksir dirimu."
Pedih. Belum jatuh cinta kok ditolaknya. Ini penolakan jenis apa? Tanyaku dalam hati. Betapa kejam dunia pada si idealis. Pada pembrontak yang telah putus asa. Pada pecinta pancasila yang lugu bin wagu.
Taukah kamu? Di negara pancasila, musuh kaum miskin adalah kaum beriman; sedang musuh kaum beriman adalah kaum beragama, bukan kaum penjajah. Di negeri pancasila, penjajah hidup makmur seperti di syorga.
Bahkan, di negara pancasila para narapidana, koruptor dan begundal bisa minta pindah penjara ke istana atau mako brimob. Tentu asal bayar. Ini republik membela yang bayar; memble pada si kere.
Di negara pancasila orang baik diam, orang jahat disembah sehingga kejahatan merajalela karena kejahatanpun harus diperjuangkan keberadaannya agar eksis dan pancasilais.
Karena ini negara pancasila maka pejabatnya harus pintar menipu, mencuri, mengutil, merampok, korupsi dan kolusi untuk diri dan keluarga plus kelompoknya.
Ciri negara pancasila adalah transformasi secara revolusioner dari milik publik menjadi milik konglomerat hitam. Karena ini negara pancasila maka infrastruktur publik (partai, tol, bandara, pelabuhan, gor, pasar) menjadi milik pribadi konglomerasi.
Dan, puncak dari segala puncak pancasila adalah makan martabak utang dan tinggal di kontrakan tetapi berkursi presiden blusukan yang lugu bin dungu.
Ramadan kemarin, Aku juga bermimpi melihatmu. Di atas perahu. Di sungai serayu. Lalu kubaca buku: Milan Kundera dan Franz Kafka. Kau tersenyum.
Selanjutnya, kubacakan buku Samir Amin tentang analisa ekopol negara postkolonial: telah terjadi kegiatan ekonomi di mana modal keluar melebihi modal masuk. Beban bunga hutang yang ditanggung negara postkolonial pada akhirnya mencekik karena pajak penghasilan negara tak mampu dipakai membangun dikarenakan habis buat bayar utang.
Ah... mimpi selalu menarik. Sahur membuatnya bubar. Saat bubar, kita jadi tahu bahwa penderitaan yang paling mengenaskan kaum muslim adalah tidak diakui kemuslimannya (dituduh kafir keparat). Sedang penderitaan yang paling menyakitkan kaum jelita adalah tidak diakui kecantikannya (dituduh buruk rupa). Semoga kita tak semenderita mereka-mereka yang takdirnya menderita.
Bersamamu kadang juga syahdu: menikmati tarawih dan lailatul qadar. Kudus dan tulus: mayat dan mampus.(*)
Oleh M Yudhie Haryono
Tambahkan Komentar