Oleh : Deby Arum Sari
Hujan turun sejak sore tadi. Deras, seperti mengerti isi hati Rania yang penuh gejolak. Di kamarnya yang sempit, gadis itu duduk bersandar di balik jendela, memandangi titik-titik air yang berlomba di kaca. Tangannya masih memegang ponsel, namun panggilan terakhir yang ia lakukan tak berbalas. Lagi.
Hari itu berat. Bukan karena hujan, tapi karena Rania nyaris tak sanggup lagi berdiri setelah semua beban datang bersamaan—tugas kuliah yang menumpuk, ibunya yang sakit, dan rasa sepi yang tak bisa dijelaskan. Ia merasa sendirian di tengah keramaian, kehilangan arah, dan hampir menyerah.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuat dadanya sesak... lalu hangat.
“Raka.”
Ia segera menjawab.
“Rania?” suara di seberang terdengar berat namun akrab. “Kamu nggak apa-apa?”
Rania terdiam sejenak, lalu pelan menjawab, “Aku capek, Ka…”
Tak ada tangis. Hanya suara kecil yang nyaris patah. Tapi dari seberang, Raka mengerti.
“Kamu nggak sendiri, Ran. Kamu hebat udah sejauh ini. Dan aku di sini. Dengerin kamu, nemenin kamu, meski cuma lewat suara,” ucap Raka pelan, nadanya tenang, seperti pelukan yang tak bisa dijangkau.
Dan saat itu juga, Rania merasa… sedikit lebih ringan. Suara Raka seperti mendamaikan badai dalam dirinya. Tak ada petuah panjang atau janji-janji kosong. Hanya suara. Tapi suara itu... seperti obat.
Obat untuk hatinya yang lelah.
Beberapa menit berlalu. Mereka tak banyak bicara. Hanya sunyi yang ditemani nafas dan suara hujan di luar sana. Tapi bagi Rania, keheningan itu tak lagi mencekam. Ia menutup mata, menyandarkan kepala, dan untuk pertama kalinya hari itu, ia tersenyum kecil.
“Terima kasih ya, Ka…”
“Apa?” suara Raka terdengar pelan.
Rania menarik napas. “Suaramu… menenangkanku.”
Dari seberang, Raka tertawa kecil.
“Kalau gitu, aku bakal terus jadi suara itu buat kamu, Ran. Selama kamu butuh.”
Dan malam itu, meski hujan belum reda, hati Rania telah menemukan reda-nya. Dalam suara yang selalu bisa membuatnya bertahan.
Tambahkan Komentar