Oleh : Deby Arum Sari

Ketakutan terhadap pernikahan bukanlah hal baru. Di tengah gempuran cerita-cerita perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, atau sekadar konflik batin tentang “apakah aku bisa hidup bersama satu orang selamanya?”, ketakutan ini menjadi semakin relevan dan nyata. Apalagi bagi generasi muda yang tumbuh menyaksikan rumah tangga retak atau relasi yang menyakitkan, tak heran bila pernikahan justru tampak menakutkan ketimbang membahagiakan.


Pernikahan memang bukan sekadar tentang pesta dan foto prewedding. Ia adalah tentang komitmen panjang, kompromi tanpa akhir, dan kesiapan mental untuk berbagi hidup, termasuk luka, beban, dan kekurangan. Ketika seseorang merasa takut menikah, bisa jadi itu bentuk kewaspadaan. Mereka tidak ingin terjebak dalam hubungan yang salah hanya demi memenuhi ekspektasi sosial.


Namun, ketakutan ini juga bisa bersumber dari luka masa lalu. Anak dari keluarga broken home, misalnya, mungkin menyimpan trauma yang belum selesai. Mereka takut mengulangi kesalahan orang tuanya. Atau ada juga yang trauma dengan relasi pacaran yang penuh manipulasi dan kekerasan, sehingga membayangkan pernikahan justru seperti masuk ke dalam jebakan.


Di sisi lain, ada tekanan sosial yang tidak bisa diabaikan. Dianggap tidak laku, pilih-pilih, bahkan melawan kodrat jika belum atau tidak menikah. Padahal, menikah seharusnya bukan paksaan, melainkan pilihan sadar yang didasari kesiapan mental, emosional, dan spiritual. Takut menikah bukan berarti tidak ingin mencintai atau dicintai. Kadang, itu hanya bentuk kehati-hatian dan itu sah-sah saja.


Yang penting adalah mengenali sumber ketakutan itu. Apakah karena luka yang belum sembuh? Karena standar sosial yang membebani? Atau karena belum menemukan orang yang benar-benar membuat hati tenang? Jawaban atas rasa takut itu bukan selalu ayo cepat menikah, melainkan bisa juga berupa tidak apa-apa, sembuhkan dirimu dulu.


Pernikahan bukan tujuan hidup. Bahagia adalah. Jika saat ini takut menikah, jangan merasa bersalah. Yang penting, teruslah belajar mengenali diri sendiri. Karena pada akhirnya, pernikahan yang sehat hanya bisa lahir dari dua orang yang utuh, bukan dari dua orang yang saling mengisi kekosongan tanpa pernah menyembuhkan dirinya.

Bagikan :

Tambahkan Komentar