Oleh : Deby Arum Sari

Di tengah gempuran makanan modern dan kudapan kekinian, sawut tetap hadir sebagai bukti sederhana bahwa rasa nikmat tak selalu datang dari bahan mahal. Sawut, jajanan tradisional khas Temanggung berbahan dasar singkong, adalah camilan rakyat yang lekat dengan keseharian masyarakat pedesaan.


Sawut terbuat dari singkong yang diparut kasar, kemudian dikukus dengan tambahan gula merah dan sedikit garam. Setelah matang, biasanya disajikan dengan taburan kelapa parut. Rasanya manis, lembut, dan mengenyangkan. Makanan ini dulu menjadi pilihan sarapan murah meriah, atau bekal jajan anak-anak sekolah di desa.


Namun sawut bukan sekadar jajanan. Ia adalah simbol ketahanan pangan lokal dan kreativitas dapur ibu-ibu di masa lalu. Di saat beras sulit, singkong menjadi penyelamat. Dan dari tangan-tangan sederhana, lahirlah olahan seperti sawut yang hingga kini masih bertahan di beberapa pasar tradisional.


Sayangnya, camilan seperti sawut mulai terpinggirkan. Generasi muda lebih tertarik pada makanan viral yang tampilannya menggoda di media sosial. Padahal, sawut juga bisa naik kelas—asal dikemas menarik, disajikan secara modern, dan dipromosikan dengan bangga sebagai bagian dari kekayaan kuliner Temanggung.


Mengangkat kembali sawut berarti memberi ruang pada makanan yang tumbuh dari tanah sendiri. Ia bukan hanya soal rasa, tapi tentang menghargai apa yang dimiliki. Jika Temanggung ingin tetap punya identitas kuliner yang kuat, maka sawut adalah salah satu cita rasa yang pantas dilestarikan.

Lebih dari itu, sawut juga menyimpan nilai edukatif. Dalam proses pembuatannya, anak-anak dulu belajar bagaimana memarut singkong, mengukus, hingga menyajikan makanan dengan penuh kesabaran. Ini bukan hanya tentang kuliner, tapi juga tentang warisan pengetahuan lokal yang diturunkan dari generasi ke generasi. Mengajarkan kembali cara membuat sawut kepada anak-anak masa kini bisa menjadi bagian dari pelestarian budaya sekaligus pendidikan karakter yang sederhana namun bermakna.

Bagikan :

Tambahkan Komentar