Oleh Faizal adyanto
Ada kalanya dunia terasa terlalu ramai. Pikiran berisik, perasaan tak menentu, dan suara-suara dari luar seolah tak pernah berhenti mengetuk kepala. Di tengah kekacauan itu, ada dua hal sederhana yang sering menjadi penawar: kopi dan lintingan.
Bukan soal gaya hidup atau kebiasaan turun-temurun. Perpaduan ini adalah bentuk kecil dari perenungan. Secangkir kopi hitam pekat yang mengejutkan indera, bersanding dengan lintingan yang mengepul perlahan—mereka bekerja bersama menenangkan dan menghidupkan pikiran dalam waktu yang sama.
Kopi bukan hanya minuman; ia adalah pemantik kesadaran. Setiap tegukan membangunkan sel-sel yang tertidur, memburu ide-ide yang tersembunyi. Sementara lintingan, dengan aroma tembakaunya yang khas, justru memperlambat waktu. Ia mengajak untuk duduk sejenak, menarik napas panjang, dan membiarkan pikiran berjalan tanpa paksaan.
Keduanya saling mengimbangi. Kopi memberi dorongan, lintingan memberi ruang. Dalam harmoni ini, lahirlah ketenangan. Tak jarang, dari kombinasi ini muncul pemikiran-pemikiran jernih, keputusan bijak, atau bahkan inspirasi yang sebelumnya terkubur dalam sesak pikiran.
Ritual ini tak membutuhkan banyak hal. Hanya sedikit waktu, sedikit keheningan, dan kemauan untuk berdamai dengan diri sendiri. Dalam kepekatan kopi dan hembusan asap lintingan, seseorang bisa menyusun ulang pikirannya, mengurai benang kusut, atau sekadar menyapa batin yang terlalu lama diabaikan.
Mereka bukan sekadar teman saat sepi. Kopi dan lintingan adalah dua jalan sunyi untuk menjinakkan kebisingan di kepala—tanpa harus lari, tanpa harus sembunyi.


Tambahkan Komentar