Oleh Dr. Joni, M.Pd.B.I.
Dosen Pascasarjana & Ketua Pusat Kajian Budaya dan Kebijakan Publik INISNU Temanggung

Ramadan, Lebih dari Sekadar Menahan Lapar Ramadan bukan hanya soal menahan lapar dan dahaga, tetapi juga momen untuk memperbaiki diri secara spiritual dan moral. Bulan ini mengajarkan manusia untuk mengendalikan hawa nafsu, membersihkan hati, serta menumbuhkan kesadaran akan kebesaran Allah SWT. Hati yang bersih akan melahirkan ketenangan batin, kesabaran, dan empati yang tinggi.

Kesadaran menjadi faktor penting dalam menjalankan ibadah puasa agar tidak hanya menjadi rutinitas fisik tanpa makna. Penelitian menunjukkan bahwa praktik puasa dapat meningkatkan kepedulian sosial dan mengurangi stres. Dengan berpuasa, seseorang diajak untuk merefleksikan kehidupannya, mengendalikan ego, serta lebih mendekat kepada makna spiritualitas sejati.

Masyarakat akademis memiliki akses lebih luas terhadap ilmu, yang seharusnya membentuk sikap bijak, rendah hati, dan penuh adab. Namun, jika akademisi bertindak tanpa refleksi moral, mereka kehilangan esensi pembelajaran. Puasa Ramadhan bukan hanya ritual fisik, tetapi juga sarana introspeksi, mengendalikan ego, serta membentuk kebersihan hati. Sungguh ironis jika kaum intelektual yang terbiasa berpikir kritis justru gagal memahami makna puasa dalam membangun disiplin diri, empati, dan ketulusan. Seorang akademisi yang tidak memahami hakikat ini berisiko terjebak dalam kesombongan intelektual, yang bertentangan dengan tujuan ilmu dan pendidikan.

Akademisi dan Tantangan Kesombongan Intelektual Dunia akademik seharusnya menjadi ruang pengembangan ilmu yang melahirkan kebijaksanaan dan adab. Namun, realitanya, banyak akademisi yang terjerumus dalam kesombongan intelektual. Fenomena ini terlihat dalam sikap meremehkan sesama akademisi, monopoli keilmuan, serta penyalahgunaan jabatan akademik. Sikap superioritas ini sering kali menghambat perkembangan ilmu yang sejatinya harus dibangun melalui dialog dan keterbukaan.

Puasa menjadi metode efektif dalam menundukkan ego akademisi yang merasa lebih unggul. Dengan menahan diri dari berbagai godaan, seseorang dilatih untuk mengembangkan sikap rendah hati dan menghargai pendapat orang lain. Dalam dunia akademik, puasa dapat menjadi sarana refleksi diri agar para akademisi tidak terjebak dalam sifat arogan yang merusak nilai keilmuan dan moralitas.

Ramadhan sebagai Sarana Penyucian Diri Ramadhan mengajarkan manusia untuk menghilangkan sifat tercela seperti kesombongan, egoisme, dan keangkuhan. Beberapa simbol dalam puasa memiliki makna mendalam:

Pertama, Sahur: Menandai niat untuk memperbaiki diri, mengikis kesombongan, menekan keakuan, serta menghindari sikap angkuh dan meremehkan orang lain.

Kedua, Puasa: Melatih kesabaran, mengendalikan diri dari keinginan duniawi, serta menghapus sifat sombong, keakuan, dan kebiasaan meremehkan serta memfitnah orang lain.

Ketiga, Berbuka: Simbol kemenangan atas ego dan kesombongan, sekaligus momentum penyucian jiwa akademisi agar lebih rendah hati dan beradab.

Keempat, Lailatul Qadar: Puncak refleksi diri dan momen perbaikan spiritual, sekaligus kesempatan untuk menyucikan hati dan jiwa akademisi dari kesombongan intelektual.

Kelima, Zakat Fitrah: Mengajarkan kepedulian sosial, menghapus sifat tamak, serta menjadi sarana penyucian jiwa bagi akademisi dalam membangun kesadaran moral.

Semua praktik ini bertujuan untuk membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki moralitas tinggi.

Pendidikan Tinggi Tanpa Adab: Krisis Moral Akademik Pendidikan tinggi seharusnya mencetak individu yang beradab, bukan hanya berilmu. Namun, banyak akademisi yang terjebak dalam sikap merasa lebih unggul, menolak kritik, serta menggunakan ilmu untuk kepentingan pribadi. Bahkan, data menunjukkan bahwa banyak pelaku korupsi di Indonesia adalah lulusan perguruan tinggi. Ini menandakan bahwa tanpa adab, pendidikan hanya melahirkan individu yang berorientasi pada kepentingan pribadi, bukan kemaslahatan umat.

Puasa Ramadhan menjadi momen tepat untuk menyadarkan akademisi agar lebih rendah hati dan tidak meremehkan orang lain. Adab dalam pendidikan bukan hanya soal kesopanan, tetapi fondasi utama dalam menjadikan ilmu sebagai alat untuk mencerdaskan dan membangun peradaban.

Pelajaran Ramadhan bagi Akademisi Kesombongan intelektual yang sering muncul dalam dunia akademik dapat dikikis dengan menerapkan nilai-nilai spiritual dari Ramadhan, antara lain:

Pertama, Menundukkan Ego: Akademisi harus belajar untuk lebih rendah hati dan menghargai pendapat orang lain. Tidak malah semakin tinggi hati, semakin tinggi keakuan diri.

Kedua, Menghargai I’tiqaf dan Kesabaran: Tidak semua orang yang diam itu bodoh, dan tidak semua yang banyak berbicara itu bijak. Puasa mengajarkan pengendalian diri, memperkuat kesabaran, dan menanamkan kebijaksanaan dalam berbicara serta bertindak.

Ketiga, Membangun Kesadaran Kolektif: Ilmu harus dibagikan untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk dominasi, sebagaimana puasa dan zakat yang mengajarkan berbagi serta kepedulian sosial.

Keempat, Menjadi Agen Perubahan Moral: Akademisi harus menjadi teladan dalam membangun peradaban berbasis adab dan kebijaksanaan, sebagaimana puasa Ramadhan mengajarkan pengendalian diri dan zakat menanamkan kepedulian sosial.

Kesimpulan Ramadhan dan pendidikan tinggi memiliki tujuan yang sama, yaitu membentuk manusia yang lebih baik, berakhlak mulia, dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Tanpa adab, ilmu justru bisa menjadi alat kesombongan yang merusak peradaban. Oleh karena itu, akademisi harus menjadikan Ramadhan sebagai momentum refleksi diri agar ilmu yang dimiliki tidak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi masyarakat luas. (Red-Hartem27-MP)
Bagikan :

Tambahkan Komentar