Oleh Ninda Herlina Rahmawati

Mahasiswa INISNU Temanggung


Apa yang terlintas dalam benak kita, ketika mendengar kata pesantren? Tempat belajar ilmu agama dengan mondok, seperti itu bukan?  Dan apa yang diinginkan atau dicita-citakan para orang tua calon santri, ketika anak-anaknya hendak masuk pesantren? Umumnya, mereka ingin agar anak-anaknya menjadi anak shaleh dan pandai dalam ilmu agama. Atau dengan istilah lain, ingin anaknya menjadi ulama. 

Ada beberapa indikator yang digunakan untuk melihat kualitas moral kehidupan suatu bangsa. Menurut Thomas Lickona (1992) terdapat sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa. Pertama, meningkatnya kekerasan di kalangan remaja. Kedua, ketidakjujuran yang membudaya. Ketiga, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orang tua, guru, dan figur pemimpin. Keempat, pengaruh per group terhadap tindakan kekerasan. Kelima, meningkatnya kecurigaan dan kebencian.

Keenam, penggunaan bahasa yang memburuk. Ketujuh, penurunan etos kerja. Kedelapan, menurunnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara. Kesembilan, meningginya perilaku merusak diri. Dan Kesepuluh, semakin kaburnya pedoman moral. Dekadensi moral di era globalisasi dewasa ini, bila melihat apa yang disampaikan oleh Thomas Lickona tentang ciri penurunan moral, sangat mengkhawatirkan. Maka itu, agar masyarakat dapat terjaga dari serangan budaya yang tidak sesuai dengan norma agama dan moral bangsa, posisi pendidikan agama dan moral menjadi semakin penting. 

Berbicara tentang pendidikan agama dan moral, maka tak bisa dilepaskan dengan sistem pendidikan di pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, yang memiliki andil besar dalam membangun bangsa ini.

Sejarah telah membuktikan, betapa besar arti pentingnya pesantren dalam rentang perjalanan bangsa Indonesia pada zaman penjajahan. Pesantren telah melakukan kegiatan yang pada hakikatnya terpusat pada pengembangan sumber daya manusia, yang kemudian amat berperan pada pergerakan perjuangan untuk merebut kemerdekaan. Selain itu pesantren juga sebagai tempat pembenahan moral bangsa ditengah bobroknya negeri ini. 

Banyak orang tua menitipkan harapan besar terhadap anak yang dititipkan di pesantren untuk menghasilkan manusia yang berkualitas, berpengetahuan luas, berpikiran maju, berwawasan kebangsaan yang kuat, yang dibingkai dengan keimanan dan ketakwaan, sebagai motivasi utamanya, serta keselamatan dunia maupun akhirat. Bagi mereka pesantren adalah salah satu tempat yang paling tepat untuk membangun moral pendidikan anak sejak dini. Tak sedikit pula dari para santri yang memutuskan pendidikan akademiknya demi pendidikan di pesantren (santri salaf).

Namun melihat keadaan saat ini diperparah dengan seorang oknum guru pesantren di Bandung Jawa Barat melakukan tindak asusila terhadap belasan santriwatinya. Tindakan bejat terdakwa dilakukan sejak tahun 2016 hinga awal tahun 2021. Rumah di Cibiru Bandung Jawa Barat menjadi saksi bisu aksi bejat yang dilakukan seorang oknum guru pesantren terhadap 12 santriwatinya. Terdakwa AW melakukan aksi bejatnya dibangunan yang dilabeli pesantren, apartemen dan sejumlah hotel. Bahkan beberapa korban yang masih berumur belasan tahun telah melahirkan. Saat ini kejakasaan tinggi Jabar telah melimpahkan perkara ke pengadilan negeri Bandung untuk diproses ke persidangan. 

Melihat tindakan ini sangat bejat sampai tak bisa diungkapkan dengan kata kata. Karena seorang guru pesantren yang notabenennya seorang pendidik akhlak maupun akademis malah menjadi sumber kemaksiatan. Yang pada dasarnya mereka tahu, mereka paham hukum dan dosanya tetapi apa yang diperbuat telah menjadi-jadi. Dengan kebiasaanya menonton video porno telah menggiringnya ke hawa nafsu dan jurang geruji besi.

Wakil Ketua MUI Anwar Abbas “Kalo dalam persepektif agama islam karena si laki laki ini sudah punya istri, maka hukuman bagi dia adalah dirajam sampai mati. Oleh karena itu karena ini bukan negara islam maka diserahkan kepada pemerintah. Tapi bagi saya jatuhnya yang bersangkutan hukuman yang seberat beratnya. Dan karena di negeri ini hukuman mati untuk hal begitu legal yang bersangkutan harus dihukum seberat beratnya sesuai dengan hukum yang ada yang maksimal di negeri ini”.

Betapa sedih dan terpuruknya hati orang tua korban, menitipkan harapan apalah daya menjadi kekacauan. Belum lagi rasa trauma yang dialami para korban yang masih berumur belasan tahun. Momen seperti ini akan menjadi berkurangnya kepercayaan sebagian orang tua terhadap pesantren. Mereka akan menganggap satu satunya tempat yang sangat baik untuk anak mereka menjadikan berkurangnya rasa tersebut. 

Ternyata permasalahan tersebut tidak hanya terjadi di satu pesantren malahan terjadi dibeberapa pesantren dengan kasus yang sama dan modus pelaku yang berbeda beda. Hal tersebut menjadi viral dikarenakan salah satu keluarga korban melaporkan tindakan tersebut dan baru baru ini keluarga korban – korban yang lain juga mengikutinya. Sangat miris dengan peran pesantren sebagai tempat pembenahan moral bangsa ditengah bobroknya negeri ini. Malah menjadi sumber kemaksiatan gegara kelakuan bejat oknum guru pesantren tersebut. 

Sangat disayangkan hal ini menjadikan citra pesantren menjadi hilang dan berkurang. Kepercayaan orang tua terhadap pesantren pun menjadi hilang. Perlu adanya pengawasan dan pengecekan secara berkala terhadap pesantren-pesantren yang ada agar hal seperti ini tidak sampai terulang kembali serta kembalinya rasa kepercayaan para orang tua terhadap pesantren.



Bagikan :

Tambahkan Komentar