Oleh Widyaningrum

Penulis adalah Mahasiswi Prodi PAI di STAINU Temanggung

Sejak Bulan Maret 2020 sampai awal Bulan Oktober 2020 ini mayoritas dari kita lebih banyak menghabiskan waktu di rumah saja atau sekedar keluar di sekitar daerah lingkungan yang ditempati, itu saja jika sangat mendesak. Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) ini berhasil memaksa sebagian besar masyarakat Indonesia bahkan dunia untuk mencari ilmu, bekerja, bahkan beribadah yang cukup untuk dilaksanakan di rumah saja.

Walaupun begitu ada juga yang memperbolehkan kegiatan tersebut untuk tetap dilaksanakan di luar rumah namun tentunya harus dengan mematuhi protokol kesehatan, seperti halnya menghindari atau tidak diperbolehkan berkerumunan, diwajibkan memakai masker, menjaga kebersihan terutama tangan dan selalu menerapkan jaga jarak dalam beraktivitas.

Dalam jangka pendek, kegiatan tanpa harus melibatkan interaksi fisik mungkin akan terasa biasa saja. Namun dalam jangka panjang tentunya akan terasa sangat membosankan, seperti halnya dalam proses pembelajaran di sekolah maupun lainnya yang semula bertatap muka sekarang mengharuskan untuk menerapkan proses pembelajaran dengan sistem daring, dimana sampai sekarang menimbulkan pro dan kontra. Tentunya para peserta didik pun juga sangat merindukan proses pembelajaran secara langsung atau tatap muka.

Para pekerja juga banyak yang terkena dampak Covid-19 ini salah satunya yaitu terpaksa dijadikan korban pemutusan hubungan kerja atau PHK. Selain itu ritual ibadah seakan akan dipersulit. Sehingga dampak dari hal tersebut tak menutup kemugkinan bahwa di masa pandemi ini justru tingkat kejahatan semakin meningkat.

Fakor penyebab angka kejahatan yang semakin meningkat ini salah satunya yaitu bisa dari faktor jenuh atau bosan. Entah itu jenuh karena melihat keluarga yang lebih sering ngumpul di rumah ataupun jenuh merasakan permasalahan finansial yang anjlok ketika pandemi. Mengenai rasa jenuh di masa pandemi ini sekiranya perlu untuk di atasi. Rasa jenuh tentu bisa datang kapan saja, banyak sekali tawaran untuk mengobatinya salah satu hiburan yang bisa dilakukan untuk mengobati kejenuhan tersebut adalah menghibur diri dengan memanfaatkan permainan yang ada.

Ada jenis permainan modern dan ada juga jenis permainan daerah. Terkait dengan permainan daerah, ada salah satu dari sekian banyak jenis permainan daerah yang namanya sedang eksis dan digandrungi oleh mayoritas masyarakat dari segala kalangan yaitu “layang-layang”. Di berbagai belahan daerah layang-layang kini dimainkan oleh banyak kalangan usia baik itu kanak-kanak, muda bahkan dewasa. Ada pula sebagian masyarakat yang memanfaakan permainan layang-layang sebagai ajang perlombaan, tentunya dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.

Mengutip dari detik.com (27/2/2018) layang-layang pertama kali dibuat oleh Lu Ban, seorang tukang kayu dari Dinasti Zhou, dari tangan Lu Ban layang-layang berhasil dicetuskan di China sekitar 2.500 tahun yang lalu. Pada jaman itu layang-layang tidak dimainkan seperti sekarang, melainkan difungsikan sebagai alat perang. Sehingga karena jasanya Lu Ban dinobatkan sebagai God of Achitecture. Setelah kemunculannya itu layang-layang bermigrasi ke berbagai negara di dunia salah satunya di Indonesia.

Di daerah yang saya tempati yaitu Desa Tegalrejo, Kec. Parakan, Kab. Temanggung masyarakat sering menyebut istilah layang-layang ini dengan sebutan layangan. Biasanya mereka menerbangkan/ nggolokke layangan pada siang menjelang sore hari. Sebelum adanya pandemi masyarakat setempat jarang bahkan nyaris tidak ada yang bermain layang-layang. Berbeda halnya dengan sekarang yang mana permainan daerah ini kembali eksis.

Menurut Faruq Alamsyah (22) pecinta layangan yang merupakan salah satu pemuda warga desa setempat, ia lebih memilih mengatasi rasa jenuh di masa pendemi ini dengan bermain layang-layang karena menurutnya daripada menghabiskan waktu untuk hal yang aneh-aneh/ negatif ya mendingan bermain layang-layang saja, apalagi bersamaan dengan musim tembakau yang tingkatan anginnya lebih tinggi daripada biasanya tentu akan lebih asyik ujarnya.

Selain itu anak-anak dari masyarakat setempat pun tidak kalah antusiasnya. Mereka lebih memilih bermain layangan ini sebagai sarana untuk penghilang rasa penat dari pembelajaran sekolah. Menurut mereka hal yang paling dinantikan dalam bermain layangan itu adalah ketika mereka dapat bertarung, kalau istilah disini “sangkutan/ sangkotan” yaitu semacam beradu layang-layang.

Jadi ketika layang-layang sudah terbang menjulang, orang yang menarik ulurkan layangan tersebut beradu dengan layangan yang diterbangkan orang lain, tentunya senar benang atau tali yang digunakan pun menggunakan senar yang khusus yaitu benang atau tali gelasan. Masyarakat disini sering menyebutnya dengan istilah senar gelas, benang yang telah dilumuri bubukan halus kaca dan bahan lem kemudian dikeringkan, di pasar pun bayak yang memperjual belikan.

Jika layang-layang tersebut jatuh maka layangan tersebut menjadi milik orang yang menangkap. Kebanyakan masyarat disini lebih memilih membuat layangan sendiri daripada membeli, karena terbuat dari bahan yang menimbulkan bahaya maka bermain layang-layang ini harus secara hati-hati dan mencari tempat yang sekiranya jauh dari keramaian supaya senar yang digunakan tidak melukai orang lain.

Dikutip dari detik.com 11/6/2020 terdapat seorang pengendara motor di Solo yang tewas akibat terjerat senar layang-layang di leher. Saat itu korban sedang melintas di suatu jalan kebetulan di sisi kiri ada orang yang sedang bermain layang-layang dimana senarnya melintang di sepanjang jalan, dari berita yang ada memaparkan bahwa korban tidak melihat senar tersebut, sehingga korban terjerat lalu tewas di tempat.

Maka sangat jelas bahwa ketika bermain layangan jangan sampai lupa atau abai untuk memperhatikan aspek keamanan supaya tidak memakan korban jiwa. Ketika sudah memilih tempat yang dirasa aman dan tidak terlalu ramai maka akan meminimalisir bahkan tidak memakan korban jiwa.

Memang semua hal itu terdapat positif dan negatifnya termasuk layangan yang kembali eksis ini.  Sedangakan menurut pribadi saya nilai positif dari eksisnya layang-layang di era pandemi ini antara lain dapat melestarikan permainan daerah sehingga tak punah begitu saja, selain itu dapat meminimaisir penggunaan gadget dimana pada jaman sekarang justru kebanyakan malah disalahgunakan, serta menjadikan individu lebih akrab dengan teman dan alam.

Sedangkan, saran efek negatif dari kejadian yang sudah terjadi seperti halnya kecelakaan yang diakibatkan oleh layang-layang lebih baik mencari tempat yang sekiranya aman untuk digunakan bermain layangan, apalagi lahan terbuka sekarang ini semakin sempit. Jadi, bagaimana menurut anda eksisnya kembali layang-layang ini apakah cocok untuk penghibur dari jenuhnya masa pandemi?

 

 

 

 

 

 

Bagikan :

Tambahkan Komentar