Oleh Shelly Fitri Afifah
Penulis adalah Mahasiswa Prodi PAI STAINU Temanggung
Rausah merupakan gabungan dari kata “ra” dan “usah”. “ra” disini
sama halnya dengan kata “ora”, “ora” berarti tidak, sedangkan “ usah” berarti
perlu. Orausah dalam bahasa Indoneisa berarti “tidak perlu”. Kemudian cangkeman,
gabungan dari kata “cangkem” dan imbuhan “an”. Istilah cangkeman sendiri
berasal dari bahasa jawa, berlandaskan kata “cangkem” yang dalam bahasa
Indonesia berarti mulut atau lisan, jawa halusnya “lathi”. Sedangkan “an”-nya
hanya imbuhan yang biasa kita pelajari dalam pelajaran bahasa Indonesia.
Jadi, rausah cangkeman artinya tidak perlu mulut? haha,,
jangan dimakan mentahan, kita perlu sedikit mengolahnya agar nyaman untuk dicerna.
Rausah cangkeman disini masuk dalam konteks berkomunikasi, berinteraksi
dengan orang lain. Rausah cangkeman memiliki makna yang yang dalam,
untuk tidak perlu berbicara panjang lebar kali tinggi tanpa ada konsep, tanpa
ada nilai, dan tanpa ada manfaat yang jelas. Berbicaralah mengenai hal-hal yang
bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Masih ingatkah lagu “lathi” yang beberapa bulan lalu trending?
Didalamnya terdapat lirik jawa berbunyi, “Kowe ra iso mlayu saka kesalahan, Ajining
diri ono ing lathi” artinya “Kamu tidak bisa lari dari kesalahan, harga
diri terletak pada ucapan”. Ya, harga diri seseorang itu ada pada lisan atau
ucapan yang keluar dari mulut masing-masing individu. Lirik tadi bisa kita
ambil makna dalamnya, ucapan yang sudah kalian keluarkan tidak bisa ditarik
seperti halnya menarik pesan di watsapp.
Manusia memang tempatnya salah, namun sudah semestinya kita mampu untuk ngerem
omongan supaya tidak cangkeman.
Cangkeman adalah salah satu dari sekian keanekaragaman logat bahasa khas
Temanggung yang sudah akrab baik dikalangan anak-anak, remaja, orang tua,
bahkan mbah-mbah. Cangkeman dapat digolongkan sebagai kata umpatan,
namun kita tidak bisa melihatnya hanya dari satu sudut pandang saja. Istilah cangkeman
biasa disebutkan untuk orang yang banyak berbicara tanpa ada nilai atau
manfaatnya, atau orang yang berbicara seenaknya sendiri tanpa titik koma, mirip
juga dengan kata nrocos.
Jangan salah, umpatan cangkeman juga memiliki sisi manfaat. Cangkeman
sebagai bentuk untuk menghentikan seseorang yang terlalu banyak bicara,
misalnya “cangkeman!” hampir sama juga dengan “ngomong wae!”.
Ketika seseorang mengatakan cangkeman! kepada orang yang berbicara, sama
halnya seseorang tidak menyukai apa yang orang lain sedang katakan, atau bisa
juga diartikan sebagai ungkapan menyuruh orang lain agar diam, mungkin karena
ia merasa terganggu atau karena ada sesuatu yang lain, jawa halusnya “mendel”
atau “meneng o”
Jika kita sedikit lebih dalam belajar bahasa khas wong
temanggungan, kita akan menemukan tingkatan-tingkatan logat khas temanggungan.
Sikak, dancuk, sikem, jidor, dan cangkeman bisa digolongkan menjadi satu
kelompok berlabel kata “umpatan”. Ada juga bahasa khas Temanggung yang lebih
halus seperti, ha memper, cis-cisan, ndak iyo yu, ndengaren, dsb. Sebenarnya kasar
atau tidaknya suatu istilah juga bisa dilihat dari nada yang digunakan
seseoarang ketika berbicara kata-kata tadi.
Kita tarik benang sampai dengan persoalan yang tengah terjadi di
tengah masyarakat Indonesia yaitu pandemi covid-19 yang entah ujung benangnya
dimana. Tujuh bulan lebih kita kedatangan tamu tak diundang, datang tak diantar
dan pulang tak dijemput. Tamu yang membawa oleh-oleh berlabel “stay at home”,
betapa mirisnya pendidikan dan ekonomi yang terjadi akibat dampak dari tamu tak
diundang tadi. Istilah cangkeman baru-baru ini sangat familiar di telinga saya,
maraknya penyebaran covid-19 memunculkan banyak opini di lapisan masyarakat.
“Bener,,, maskere dingo ben ra do cangkeman” kurang lebih
seperti itu kalimat yang saya dengar beberapa waktu lalu. Sebab akibat
mewabahnya covid-19 ini, mengharuskan kita untuk mengikuti protokol kesehatan
terutama ketika melakukan kegiatan diluar rumah, diantaranya rajin cuci tangan,
jaga jarak, kurangi berkerumun, dan selalu menggunakan masker. Disinilah mulai muncul
beberapa opini yang akhir-akhir ini membuat saya sedikit berfikir mengenai “rausah
cangkeman”. Masyarakat mengkiaskan masker sebagai penghalang agar kita
tidak berbicara sakpenak wudele dewe.
Penggunaan kata “cangkeman”, mungkin menurut beberapa orang
terdengar sarkasme. Namun jika dikaji lebih dalam kita mampu mengambil manfaat
dan makna tersirat dari istilah cangkeman. Berbeda ketika penggunaan
kata cangkeman tadi digunakan diluar kota Temanggung, mungkin banyak
dari mereka yang belum akrab sehingga menganggapnya kasar, yang bagi wong
manggung itu biasa saja. Dilihat dari perspektif islam, pengartian kalimat
diatas menghasilkan beberapa poin penting, di masa pandemi ini seharusnya kita banyak mendekatkan diri kepada sang pencipta,
menjaga lisan untuk hal-hal yang lebih baik, perbanyak bersholawat, dan
beristighfar.
Opini lain juga muncul, beberapa masyarakat beranggapan bahwa
covid-19 ini adalah jawaban do’a yang selama ini kita minta kepada-Nya. Tahun
lalu banyak dari netizen budiman yang mempublikasikan gambar atau tulisan mengenai
kalender yang banyak angka merahnya. Apa artinya? Netizen menginginkan agar di
tahun mendatang kita banyak berlibur karena tanggal abang, dan ternyata tahun
ini terjawab. Tujuh bulan lamanya kita libur sekolah, melakukan semua hal
dirumah, quality time bersama keluarga. Terkadang kata-kata yang tak
sengaja kita lontarkan bisa menjadi do’a.
Wess,,, jupuk maskermu rausah cangkeman!
Terimakasih.
Tambahkan Komentar