Oleh Budi Santoso
Islam sebagai agama yang diturunkan
oleh Allah kepada umat Muhammad adalah pelengkap dari agama samawi yang telah
ada sebelumnya. Artinya Islam bukanlah
agama yang muncul berdiri sendiri di atas sendiri yang tidak berkorelasi dengan
agama yang sebelumnya yang diemban oleh Rasul terdahulu, tetapi Islam berfungsi sebagai penyempurna
agama sebelumnya. Islam adalah agama yang mengandung
syariat (tata hukum) transparan,
luwes, dan tidak kaku.
Dalam menyelesaikan persoalan hukum,
golongan Ahlussunnah Waljamaah
berpedoman kepada al-Qur’an dan hadits sebagai sumber utama, kemudian didukung
dengan ijma’ dan qiyas. Empat dalil ini yang harus yang hrus menjadi rujukan
setiap muslim dalam mengambil suatu keputusan hukum KH. Muhyidin Abdusshomad
(2008:27).
Aturan hukumnya dapat disesuaikan dengan kondisi kapan
dan di mana hukum tersebut akan
diterapkan. Tak heran jika ada adagium "Islam sholikhun likulli zaman
wa makan” (Islam itu sesuai dengan waktu dan tempat). Artinya keluwesan dari
hukum Islam yang menjadikan Islam itu
arif dan mudah disampaikan kepada umat manusia. Syariat merupakan induk fikih. hukum-hukum ditetapkan fikih seluruhnya
berdasarkan syariat dan tidak boleh bertentangan dengann norma-norma akidah dan
akhlak serta nash yang sudah jelas di al-Quran dan hadits (Khoiriyah 2013:130).
Ajaran yang terkandung di dalamnya tidak saklek yang
akan menimbulkan kesan kaku dan tidak dapat beradaptasi. Tetapi justru Islam
mampu menjawab tantangan dan permasalahan umat masa kini atau yang lebih kita
kenal dengan masalah kontemporer.
Fanatisme Agama Berlebihan
Agama memiliki pengaruh positif untuk membangkitkan
kesadaran manusia akan moral. Agama juga bisa menjadi tumpuan dan harapan bagi
orang-orang yang sedang dalam kebimbangan. Namun di lain sisi, tak dapat
dipungkiri bahwa agama juga memiliki potensi untuk membuat orang berpikiran
terlalu radikal dan fanatik yang bisa berujung pada perpecahan masyarakat
hingga kekerasan antar golongan. Fanatisme agama
muncul karena tiga faktor, yaitu: kurangnya pergaulan, kurang wawasan dan
kurang empati (qureta.com:2019). Wawasan yang luas akan membantu kita mampu melihat segala sesuatu
dari berbagai macam sudut pandang, membuat kita lebih objektif dalam berfikir
dan paham bagaimana cara menyikapi kebenaran. Jangan mengira suatu kejadian itu
terletak pada kejadian objektifnya, melainkan pada komunikasi antara pikiran
dan hati dalam melihat kejadian itu.
Saat ini seluruh dunia sedang dilanda kecemasan dengan
merebaknya Virus
Corona (Covid-19) yang pertama kali muncul di Wuhan, Hubei, China pada November
2019. dikagetkan mewabahnya Virus
Corona Covid-19 yang menelan ratusan jiwa (liputan.com:2020). Sehingga Majelis Ulama Indonesia (MUI)
menerbitkan fatwa berupa “larangan bagi umat Islam menyelenggarakan Salat Jumat
berjamaah di wilayah tertentu selama pandemi pandemi virus corona (Covid-19).
Larangan tersebut dituangkan dalam Fatwa
MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi
Wabah Covid-19” (mui.or.id:
2020).
Fatwa tersebut ternyata ditanggapi secara kontra oleh
beberapa pihak di kalangan umat Islam termasuk di Indoensia. Mereka berpendapat
tidak ada alasan untuk meniadakan salat Jumat karena salat wajib dua rakaat berjamaah di siang hari ini adalah perintah Allah.
Mereka menilai ditiadakannya salat Jumat dan jamaah salat wajib menunjukkan bahwa virus Corona telah lebih ditakuti daripada Tuhannya.
Pemahaman terhadap agama (fikih)
seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor sosiologi, ekonomi,
dan politik masyarakatnya, hal
ini menimbulkan perbedaan fikih yang berkaitan dengan perbedaan sosial dan
politik. Untuk
itu, perlu dipahami bahwa fikih bukanlah
keseluruhan agama Islam, melainkan
interprestasi (penafsiran/pemahaman) terhadap teks dalam konteks historis
tertentu sehingga dapat direkonstruksi pada aspek-aspek tertentu, asalkan
didasarkan pada sumber-sumber dasar Islam dan sesuai dengan pesan moral dan
agama Ahmad Ali Riyadi (2013 :131).
Pertanyaannya, apakah betul
meniadakan salat Jumat dan jamaah salat wajib disebabkan takut menjadi media
penularan virus Corona itu berarti telah menempatkan virus tersebut sebagai
makhluk yang lebih takuti daripada khaliknya? Jika jawabannya “ya”,
maka bisa dikatakan para ulama di masing-masing negara itu telah gegabah sekali
karena telah meniadakan salat Jumat gara-gara takut kepada virus Corona. Bukankah salat Jumat adalah
perintah Allah? Tetapi apakah mungkin para ulama itu bertindak gegabah dan
bertentangan dengan perintah dan larangan Allah?Terasa tidak masuk jika mereka
seperti itu. Mereka adalah para ulama yang tentunya telah dipercaya masyarakat
karena kompetensi dan kredibilitasnya.
Jika memang demikian, maka permasalahannya tidak pada
para ulama tetapi pada mereka yang kontra fatwa. Mereka gagal paham bahwa fatwa
para ulama itu dikeluarkan justru karena rasa takut mereka kepada Allah.
Sebagai ulama mereka tidak bisa lepas dari tanggung jawab keumatan. Mereka
sadar betul akan bersarnya tanggung jawab di hadapan Allah terkait keselamatan
jiwa umat yang dipimpinnya.
Islam Agama Fleksibel
Terkait hal di atas MUI juga melarang sementara pelaksanaan ibadah yang membuat
konsentrasi massa, seperti salat lima waktu berjamaah, Salat Tarawih, Salat Id
atau pun kegiatan majelis taklim. Larangan berlaku bagi umat Islam di wilayah
di mana kondisi penyebaran virus corona sudah tak terkendali. Fatwa itu juga
menyebut setiap orang untuk menjaga kesehatan dan menjauhi potensi terpapar
penyakit. Mereka berpendapat tindakan itu sebagai tujuan pokok beragama atau
al-Dharuriyat al-Khams. (mui.or.id: 2020).
Fatwa MUI tidak berlaku terhadap
seluruh umat Islam Indonesia. Pelarangan hanya dilakukan di daerah-daerah yang
ditetapkan pemerintah sebagai wilayah dengan penyebaran virus corona yang tak
terkendali. Kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan
pihak yang berwenang, maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah
sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar Virus Corona.
Terkait dengan ketaatan, Pemerintah Indonesia baik
pusat maupun daerah sudah mengeluarkan himbauan untuk meninggalkan salat berjamaah dan salat Jumat dan mencukupkan diri dengan salat di rumah masing-masing selama wabah ini masih
menyebar. Karena himbauan ini demi
kebaikan dan bukan merupakan kejelekan, maka wajib bagi kita untuk melaksanakan
himbauan tersebut sebagai bentuk ketaatan.
“Jika terdapat Virus Corona di suatu
wilayah atau negara melarang dari perkumpulan-perkumpulan, maka dibolehkan meniadakan salat Jumat, salat
berjamaah, dan diberikan keringanan bagi manusia untuk melaksanakan salat di
rumah-rumah mereka untuk melaksanakan salat berjama’ah bersama keluarga, karena
ini lebih parah daripada tanah berlumpur dan hujan yang di mana dengan kondisi
itu diberikan keringanan untuk meninggalkan salat Jumat dan salat berjamaah. “Barangsiapa
yang terinfeksi atau terindikasi kalau terinfeksi, maka diharamkan baginya
menghadiri salat jumat dan salat berjamaah. Semoga Allah menjaga kita semua.” (Twitter.com/solyman24).
Hukum salat di rumah dan tidak
melaksanakan salat Jumat dan salat berjamaah lima waktu di masjid saat wabah
Corona merupakan hal yang diperbolehkan dan termasuk rukhshooh/keringanan. Terkait dengan covid-19, tidak diragukan kalau ini merupakan
mudhorat yang luar biasa. Apalagi sifatnya yang menular, di mana satu orang
bisa menjadi sebab satu kota termudhorotkan.
Dengan melaksanakan salat di rumah masing-masing, penyebaran Virus
Covid-19 bisa diredam. Berbeda jika salat berjamaah dan salat
Jumat tetap
dilaksanakan, di mana orang-orang berkumpul di dalam masjid melaksanakannya. Jika satu saja terdapat seseorang yang terinfeksi Virus Corona dalam
keadaan dia tidak mengetahui atau menyadarinya, maka berapa potensi orang-orang
yang bisa terkena virus tersebut di dalam masjid.
Selanjutnya orang-orang yang berada
di dalam masjid tadi yang sudah mulai terinfeksi Virus Corona namun belum
menyadarinya pulang ke rumah masing-masing, mereka berpotensi sangat besar
menularkan virus tersebut kepada istri dan anak-anaknya. Ibarat mata rantai, virus tersebut akan berpindah terus. Bayangkan
betapa besar bahayanya. Oleh karena itu, melaksanakan salat di rumah masing-masing akan memutuskan rantai
penularan virus tersebut.
“Para ulama berijma’ (bersepakat) kalau meninggalkan salat berjamaah saat hujan
deras, malam yang gelap, berangin kencang, dan udzur (halangan) lainnya adalah
boleh.” (Syarh Al Bukhari, Oleh Al-Imam Ibnu Baththol, 3/364) Jika salat berjamaah boleh
ditinggalkan dan seseorang salat di rumahnya disebabkan karena adanya mudhorat berupa hujan deras yang bisa membasahi
pakaian dan angin kencang, maka tentu saja lebih boleh lagi meninggalkan salat berjamaah karena
pertimbangan Virus Corona yang sifatnya mematikan dan bisa menularkan kepada
siapapan dalam jumlah yang tidak terbatas dan dalam keadaan tidak bisa
diketahui sama sekali keberadaan virus tersebut dalam tubuh seseorang sebelum
14 hari.
Dalam sebuah kaedah disebutkan Dar'ul
mafaasidi muqoddamun 'alaa jalbil masholih
“Menolak mudharat (bahaya) lebih didahulukan dari mengambil manfaat”
Jika mafsadat (kerusakan/kejelekan) saling bertentangan dengan maslahat
(kebaikan/manfaat), maka lebih umumnya lebih didahulukan mencegah mafsadat,
karena perhatian syariat terhadap larangan-larangan lebih besar dibandingkan
perhatian syariat terhadap perintah-perintah.” (Kitab
Al-Asybah Wa An-Nazhaid 1/87).
Kaedah di atas diambil dari dalil-dalil syariat.
Kaedah tersebut menunjukkan bahwa menolak mudhorat atau kejelekan lebih
didahulukan dari meraih dan mengambil manfaat. Tidak diragukan lagi
bahwa mudhorat dan kejelekan yang diakibatkan oleh Virus Corona sangatlah besar
karena bentuk penularannya sangat cepat, dengan sangat mudah dan beragam. Tentu saja sisi bahaya dan kejelekan yang bisa dihidari
jika meninggalkan sholat jumat dan salat berjamaah di saat wabah Corona ini
merebak lebih didahulukan daripada mengambil kemanfaatan dari melaksanakan salat
jumat dan salat berjamaah.
Tambahkan Komentar