Oleh Hamidulloh Ibda
Terbujur kaku di atas ranjang bambu kuno, dan merinding bulu kuduk si
Yana menjadikan bapaknya, Sumardi, tak dapat bekerja seperti biasanya. Yana
sudah lima bulan tak dapat menghirup udara alam buatan Tuhan. Ia terkena
penyakit yang tak dapat didiagnosis dokter modern. Dukun, tabib, dan kiai pun tak
dapat menumbangkan penyakit enigmatis tersebut.
Sumardi tak beristri alias duda. Yana pun yatim
belia yang merindukan kasih sayang seorang ibu. Mereka berdua hidup serba
kekurangan, karena Sumardi mengidap penyakit skizofrenia yang tak berkesudahan.
Keduanya membelai pagi dan meraba siang hanya
dengan sepiring nasi. Nada resah seperti itu terjawab ketika sesuap, dua suap
nasi mulai masuk ke dalam perut mereka melalui mulut mereka berdua yang
pecah-pecah dan kering.
******
Suatu ketika, Sumardi sakit-sakitan, ia
kejang-kejang karena penyakit skizofrenia yang ia idap ternyata sudah pada
tataran waham kebesaran. Ia meronta, teriak-teriak laiknya orang gila. Impresi
yang ia ingat hanya satu, yaitu istrinya, Ana, yang dulu setia menemani,
mengobati, dan mendukung Sumardi untuk sembuh dari sakitnya.
Namun Tuhan berkehendak lain, Ana kini sudah
bersemayam dalam rahasia.
Saat pesakitan, kini hanya Yana yang menemani
bapaknya. Yana tak ada bekal empirik untuk mengawal ayahnya yang sudah menua
tersebut. Tapi Yana ingat pesan ibunya, bahwa menjaga ayah sama saja menjaga
ibu.
“Nduk, nanti kalau ibumu ini sudah meninggal,
jagalah bapakmu, dia mengidap penyakit berat yang harus diobati lahir dan
batin. Ibumu mungkin usianya lebih pendek dari bapakmu,” pesan Ana kepada Yana
sebelum menutup mata terakhir kalinya.
Tetapi, di balik Yana yang masih kecil itu,
ternyata diam-diam ada rahasia hidup yang tak disampaikan kepadanya. Yana
mengidap penyakit jantung kronis meski ia masih dapat menikmati permaian
congklak bersama sahabat-sahabat kecilnya.
“Yan, kamu sudah makan? Badanmu kok panas, nafasmu
juga kayaknya sesak, apa perlu dibawa ke dokter?” tanya Sumardi.
“Nggak usah, Pak. Yana baik-baik saja kok,” jawab
Yana.
Tak dikira dan tak disangka, Sumardi dengan tubuh
degil, hitam, dan kurus, memiliki prasangka penyakit jangtung anak semata
wayangnya itu kumat. Dalam hati setiap orangtua, pasti berujar dan tak rela
anaknya sakit.
“Ya Tuhan, jagalah anakku, lepaskan dan sembuhnya
penyakitnya tersebut. Jika bisa, pindahkan penyakit anakku pada diriku. Biar
aku yang mendera dan menanggung penyakit jantung anakku ini,” terbesit dalam
doa Sumardi tiap usai salat.
Namun, rencana Tuhan tidak ada yang tahu keyword
maupun passwordnya. Sumardi pun tak tahu jika anaknya tersebut pesakitan dan
kumat lagi.
“Nduk, ayo kita ke Puskesmas, biar bapak jual gabah
di Leuit di belakang rumah. Kamu harus sembuh, biar bapak yang sakit, yang
penting kamu sembuh, Nduk!” kata Sumardi.
“Tidak, Pak. Bapak yang sakit, dulu ibu pernah
berpesan kalau Yana harus menjaga bapak, bapak harus sehat agar bisa bekerja
dan membayar biaya sekolahnya Yana,” ujar Yana.
“Kamu itu dari dulu memang ngeyel kayak ibumu.
Badan kamu semakin panas begini masih mikir kesehatan bapak. Ya sudah, bapak
mau ke juragan Marno mau menjual gabah,” tegas Sumardi.
Selang dua hari, enam karung gabah dijual ke
juragan Marno yang terkenal pelitnya minta ampun. Marno termasuk juragan gabah
kaya raya di Desa Sukamanak. Ia dikenal tetangganya sebagai julukan lintah
darat dan lintah laut. Karena selain membeli gabah dengan harga murah, dikenal
juga dengan pemberi utang dengan bunga yang selangit.
“Di, Sumardi, gabahmu ini hasil panen tahun lalu.
Jika diselep, hasilnya sedikit dan tidak mentes. Ini harganya tidak bisa
seperti gabah yang dipanen tahun ini,” kata Marno kepada Sumarno.
“Kenapa bisa begitu juragan. Gabah saya ini
bibitnya campuran dan kualitasnya bagus, mohon lah juragan harganya disamakan.
Anak saya sudah sakit berminggu-minggu, sakit jantung dan kalau menurut
Puskesmas harus dibawa berobat ke rumah sakit dan dioperasi,” jawab Sumardi.
“Ah.... itu urusanmu. Kalau tidak mau ya sudah,
silakan bawa ke pembeli lain. Masih banyak gabah yang akan disetor ke saya hari
ini dengan harga yang lebih murah”.
“Kalau begitu, baiklah juragan”.
Dengan nafas yang resah, harapan yang payah,
Sumardi akhirnya pulang dengan membawa uang hasil penjualan gabah yang tidak
seberapa. Namun ketika sampai di rumah dan Yana dibawa ke rumah sakit, ongkos
pun tidak mencukupi untuk membayar biaya pengobatan Yana.
“Pak, ini uangnya tidak cukup jika untuk pengobatan
pasien atas nama Yana sampai operasi. Masih kurang Rp 40 juta, Pak. Silakan
dilengkapi dulu dan kami baru bisa mengoperasi pasien,” kata petugas rumah
sakit.
Begitu berat menjadi bapak. Meski ia sendiri sakit,
ia rela tidak berobat, dan menjual semua kekayaannya untuk sang anak. Dengan
muka murung, Sumardi terpaksa membawa pulang Yana meski belum dioperasi.
Dengan badan yang masih sakit dan sekujur tubuh
yang panas, Yana pun memberi pesan pada bapaknya, “Pak Saya tidak perlu
dioperasi, Yana masih kuat, Pak, tidak perlu dioperasi”.
Sumardi tidak tahu harus ke mana lagi mencari uang
untuk biaya operasi anaknya tersebut. Kekayaannya hanya tinggal sawah satu
petak dan rumah tua yang ia miliki.
“Apa aku pinjam utang pada juragan Marno saja ya,
tapi nanti bagaimana cari membayarnya? Juragan marno kan terkenal pelit dan
kejam,” pikir Sumardi selintas.
**********
Bersambung
Tambahkan Komentar