Oleh Novia Sari Melati
PGMI 1A STAINU TEMANGGUNG

Sebuah Perenungan Filsafat dan Semiotika Diri dengan Gaya Humor Satir

Identitas Buku
The Last Self-Help Book
Sebuah Perenungan FIlsafat dan Semiotika Diri dengan Gaya Humor Satir
oleh Walker Percy
Sumber terjemahan:
Lost in the Cosmos: The Last Self-Help Book
(New York: Picador, 1983)
Penerjemah: Lucky Ginanjar Adiphurna
Editor: Alfathri Adlin
Proof Reader: Siti Khadijah
Edisi Indonesia diterbitkan oleh JALASUTRA
Dicetak oleh:
Percetakan Jalasutra
Pepustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Walker Percy
The Last Self-Help Book/Percy, Walker
Yogyakarta & Bandung: Jalasutra
Cetakan I, Juli 2006
xxiv + 330 hlm.; 15 x 21 cm
ISBN: 979-3684-32-1

The Last Self-Help Book adalah kritik pedas yang cerdas dan jenaka ala Walker Percy terhadap fenomena menjamurnya buku-buku self-help, how-to, dan do-it-yourself—yaitu, buku-buku panduan pengembangan diri dan psikologi populer. Percy memperlihatkan ironi yang tercipta dengan maraknya industri nasihat dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Percy bertanya: Mengapa semakin banyak yang kita ketahui tentang dunia, justru semakin sedikit yang kita ketahui tentang sifat hakiki manusia? Mengapa dalam sepuluh menit Anda bisa belajar lebih banyak informasi tentang Crab Nebula di konstelasi bintang Taurus, yang jauhnya 6.000 tahun cahaya, ketimbang apa yang saat ini Anda ketahui tentang diri Anda sendiri seumur hidup Anda? Tak seorang pun yang pernah membaca—atau telah bosan dan muak membaca—buku-buku swabantu (self-help), bakal gagal memperoleh pencerahan dari jawaban-jawaban cerdas Percy melalui perenungan filsafat dan semiotika diri melalui metode-metode yang lucu. Buku kegemaran para pembaca Percy ini mengundang kita untuk berpikir mendalam tentang apa hakikat diri sebenarnya dan bagaimana perilaku kita di dunia.

Walker Percy adalah penulis sepuluh buku fiksi dan nonfiksi, termasuk karya best-seller The Moviegoer dan The Thanatos Syndrome. Ia telah dianugerahi berbagai pernghargaan, termasuk The National Book Award, dan diakui sebagai salah seorang penulis Amerika terbesar masa kini.
“Anda hidup di sebuah zaman yang gila, lebih gila daripada biasanya, karena kendatipun ada kemajuan besar-besaran sains dan teknologi, manusia tidak memiliki bayangan ide tentang siapa dirinya dan apa yang dia perbuat.” Begitulah kalimat pertama yang Percy tuliskan di dalam buku ini.

The Last Self-Help-Book sebenarnya mencoba menantang pembaca untuk mulai berani melontarkan pertanyaan, “Siapa diri Anda, dan kenapa Anda ada di dunia ini, di saat ini, sambil memegang buku ini, di suatu hari yang sama dengan hari sebelumnya”.

Menutup wajah dengan topeng, baik itu berupa kosmetik maupun wajah tiruan, barangkali merupakan suatu tindakan yang bisa ditelusuri sebagai bentuk manifestasi alam bawah sadar. Memakai topeng di wajah ternyata sudah menjadi tradisi manusia sejak zaman paleolithicum. Jika mereka menjalani ritual keseharian ini hendak menempuh suatu dunia baru juga perubahan medan, baik itu sebuah pertempuran, perburuan binatang atau sekadar ritual hiburan, adalah suatu kewajiban bagi mereka untuk menutupi wajahnya dengan cat, topeng kayu, aksesoris bagian tubuh binatang, atau menempelkan tanah berwarna ke wajahnya. Lantas, apa yang diharapkan dari tindakan demikian? Tentu saja perubahan identitas.

Memang, kehidupan itu ibarat panggung sandiwara. Itulah tempat kita tidak menampakkan wajah yang sebenarnya. Ada banyak topengg yang kita kenakan saat berinteraksi dalam kehiduapan sehari-hari. Topeng-topeng yang berfungsi untuk menjaga relasi kita dengan orang lain. Tanpa topeng, kita akan diasingkan dari kerumunan. Tapi dengan topeng terus-menerus juga akan terasingkan dari diri sendiri. (Himawijaya)

Tema-tema inilah yang coba diangkat dalam buku ini. Walker Percy dengan sangat piawai dan jeli mengidentifikasi topeng-topeng yang biasa dikenakan oleh manusia-manusia modern. Dan lewat penelusurannya atas kehidupan manusia pada umumnya, Percy berhasil mengenali 20 jenis topeng yang biasa dikenakan di acara televisi, di acara wawancara, kehidupan selebritis, dunia perbukuan, dunia bisnis dan hiburan, dan sampai masuk ke wilayah personal.

Adalah salah jika berharap adanya alur pembahasan yang kaku lagi sistematis ala filsafat akademis di dalam buku ini, karena di dalamnya hanya berisi kalimat-kalimat provokatif yang menyentakkan kesadaran kita. Buku ini berisi pertanyaan-pertanyaan yang menggiring kita untuk mengiyakan kesimpulan si penulisnya. Meskipun berisi opsi-opsi jawaban, tapi tetap saja pilihan tersebut akan menjerat kita kepada kesimpulan tunggal, “bahwa selama ini kita memang cukup munafik.” (hlm. xix)
Di antara 20 jenis topeng yang telah berhasil dikenali oleh Walker Percy meliputi: (1) diri amnesia, (2) diri nol, (3) diri antah-berantah, (4) diri ketakutan, (5) diri ketakutan (II), (6) diri ketakutan (III), (7) diri salah-simpan, (8) diri promiskuis, (9) diri dengki. (10) diri bosan, (11) diri depresi, (12) diri termiskinkan, (13) diri transenden, (14) diri orbit, (15) diri luput, (16) diri kesepian, (17) diri kesepian (II), (18) diri kesurupan ruh, (19) diri terdampar di jagat raya, dan (20) diri terdampar di jagat raya (II).

Walker Percy berhasil membuktikan bahwa di dalam diri manusia, tidak hanya ada manusia itu sendiri. Namun juga terdapat diri-diri yang lain, berwujud 20 topeng yang berhasil ia paparkan dalam The Lastt Self-Help Book: Sebuah Perenungan Filsafat dan Semiotika Diri dengan Gaya Humor Satir.

Kelebihan Dengan gaya khasnya, Percy berhasil menuliskan hasil penelitiannya terhadap diri-diri manusia yang tidak sesuai dengan dirinya sendiri dalam sudut pandang filsafat. Buku ini dapat membantu manusia dalam membedakan mana yang benar-benar diri sendiri dan mana diri-diri bawaan yang ada pada manusia itu sendiri. Walker Percy pun menambahkan gaya humor satirnya dalam buku ini sehingga pembahasan yang ada di dalamnya tidak melulu saklek dengan gaya filsafat. Percy berhasil menarik minat baca karena keunikannya dalam menuliskan buku.

Selain dari segi isinya, buku ini juga memiliki cover yang lumayan rumit pada bagian judulnya. Menurut saya, judul tersebut juga menggambarkan betapa rumitnya kehidupan manusia yang mana memiliki banyak topeng di dalamnya.

Kekurangan Dalam penulisan buku ini, Percy berhasil membolak-balikkan isi pikiran si pembaca. Bahasa yang digunakan merupakan golongan bahasa yang tinggi sehingga tidak mudah memahami buku ini dalam sekali baca. Pada setiap pembahasan, Percy memberikan pertanyaan sekaligus opsi jawaban yang menuntut kita berpikir keras, padahal dapat kita ketahui bahwa daya tangkap manusia itu berbeda. Kesimpulan dari setiap pembahasan berupa makna tersirat sehingga tidak bisa dengan waktu singkat dalam menyimpulkannya.

Temanggung, 23 Desember 2019
Bagikan :

Tambahkan Komentar