oleh : Zahra agid tsabitah
Jendela itu sudah tua, kayunya lapuk dimakan zaman, catnya mengelupas di sana-sini. Tapi di mata Aruna, jendela itu adalah gerbang menuju dunia lain. Terutama saat hujan tiba. Hujan bisa datang tiba-tiba, deras, dan seolah enggan berhenti. Sore itu, seperti biasanya, hujan mencurah ruah.
Aruna duduk di kursi rotan usang di dekat jendela. Udara lembap merasuk, membawa serta aroma tanah basah dan dedaunan yang terguyur. Sudah tiga tahun Aruna tinggal di rumah warisan neneknya ini, dan tiga tahun pula jendela itu menjadi sahabat setianya. Bukan hanya Aruna, tapi juga kenangan-kenangan yang bersemayam di sana.
Dulu, nenek selalu bercerita tentang kakek yang sering menunggunya pulang dari pasar, berdiri di ambang jendela ini, sambil tersenyum simpul. Aruna membayangkan senyum itu, senyum yang kini hanya bisa ia lihat dalam foto-foto usang. Suara rintik hujan yang menabuh kaca jendela seolah menjadi melodi pengiring narasi-narasi pilu dan indah itu.
Tiba-tiba, Aruna melihat siluet seseorang berdiri di bawah pohon mangga di halaman depan. Sosok itu mengenakan jas hujan biru tua, kepalanya tertunduk. Aruna mengerutkan kening. Siapa? Tak ada tamu yang ia harapkan hari ini. Hujan semakin lebat, dan siluet itu tak kunjung beranjak. Aruna merasa sedikit resah. Ia jarang sekali kedatangan tamu tak diundang, apalagi di tengah hujan badai seperti ini.
Dengan sedikit keberanian, Aruna beringsut mendekati jendela. Ia mencoba melihat lebih jelas, namun tirai air hujan membuat pandangannya kabur. Tiba-tiba, siluet itu bergerak. Perlahan, ia mengangkat kepala. Aruna terkesiap. Wajah itu... wajah yang tak asing.
Ia adalah Damar. Cinta pertama Aruna, yang pergi merantau ke Jakarta lima tahun lalu dan tak pernah memberi kabar lagi. Hati Aruna berdesir. Ada rasa sakit dan rindu yang bercampur aduk. Mengapa Damar kembali? Dan mengapa di tengah hujan seperti ini?
Damar melangkah mendekat, langkahnya pelan, seolah ragu. Aruna masih terpaku di tempatnya, menatap lurus ke arah Damar yang kini berdiri tepat di bawah atap teras, beberapa meter dari jendela. Wajah Damar terlihat lelah, rambutnya basah. Ia mendongak, tatapan matanya bertemu dengan tatapan Aruna.
Untuk sesaat, hanya suara hujan yang mengisi keheningan di antara mereka. Tidak ada kata, hanya tatapan yang berbicara. Tatapan Damar penuh penyesalan, rindu, dan seolah memohon. Aruna merasakan dadanya sesak. Bertahun-tahun ia mencoba melupakan Damar, mengubur semua kenangan, namun kini, di depan jendela tua ini, semuanya kembali menyeruak.
Akhirnya, Damar membuka suara, suaranya parau, "Aruna..."
Nama itu, yang telah lama tak terdengar dari bibir Damar, kini menggema di telinga Aruna. Hujan seolah mereda, memberi ruang bagi suara-suara hati yang tertahan. Aruna menelan ludah. Apa yang harus ia katakan? Apa yang Damar inginkan?
"Aku... aku kembali," lanjut Damar, tatapannya tak lepas dari Aruna. "Aku tahu aku salah. Aku pergi begitu saja tanpa kabar. Tapi aku tidak bisa melupakanmu. Aku kembali untukmu."
Hati Aruna bergejolak. Marah, kecewa, tapi juga ada secercah harapan yang entah mengapa muncul begitu saja. Jendela tua itu, yang selama ini menjadi saksi bisu kesendiriannya, kini menjadi saksi bisu pertemuan kembali dengan masa lalu. Aruna memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam. Ia tahu, hujan ini bukan hanya sekadar hujan. Ini adalah awal dari sesuatu yang baru, sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupnya, sekali lagi, di depan jendela tua ini.
Ia membuka matanya, menatap Damar. "Masuklah, Damar," ucap Aruna, suaranya sedikit bergetar. "Kau akan kedinginan."
Damar tersenyum tipis, senyum yang dulu selalu berhasil membuat Aruna luluh. Ia melangkah masuk, meninggalkan jejak air di lantai teras. Aruna memperhatikan Damar yang kini berdiri di ambang pintu, basah kuyup namun dengan tatapan penuh harap. Jendela tua itu, dengan segala cerita dan kenangannya, seolah tersenyum simpul, menyaksikan babak baru yang akan segera terungkap di tengah senandung hujan yang tak pernah berhenti.
Tambahkan Komentar