oleh: Zahra agid tsabitah
Di sebuah desa kecil yang asri, tersembunyi di antara hamparan sawah hijau Purworejo, hiduplah seorang anak perempuan bernama Lila. Lila bukan gadis biasa. Di usianya yang baru menginjak delapan tahun, semangat belajarnya membara seperti mentari pagi. Sayangnya, sekolah terdekat dari desanya terletak cukup jauh, mengharuskan Lila dan beberapa anak lainnya berjalan kaki berkilo-kilometer melewati jalan setapak dan persawahan.
Setiap pagi, sebelum ayam berkokok, Lila sudah bangun. Ia mengenakan seragam merah putihnya yang sedikit lusuh, menyisir rambutnya yang dikepang dua, dan tak lupa menyiapkan bekal nasi dan sayur yang dibawakan ibunya. Langkah kakinya kecil namun mantap saat menyusuri jalan setapak yang masih gelap. Ia tidak sendirian. Bersamanya, ada Bima, teman sekelasnya yang juga tinggal di desa yang sama.
Bagi Lila dan Bima, perjalanan ke sekolah bukan hanya sekadar rutinitas. Di sepanjang jalan, mereka belajar banyak hal. Mereka mengamati berbagai jenis burung yang bertengger di pohon-pohon pinggir sawah, menghitung jumlah capung yang terbang melintas, dan menebak nama-nama tumbuhan liar yang mereka temui. Bima, yang sedikit lebih tua dari Lila, sering bercerita tentang pelajaran yang mereka dapat di sekolah, mengulang kembali materi yang mungkin Lila lupakan.
Namun, perjalanan itu tidak selalu mudah. Saat musim hujan tiba, jalan setapak berubah menjadi kubangan lumpur yang licin. Terkadang, mereka harus menyeberangi sungai kecil dengan air yang cukup deras. Panas terik matahari di musim kemarau juga seringkali membuat mereka kehausan dan kelelahan.
Meskipun demikian, semangat Lila untuk belajar tidak pernah pudar. Ia percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk meraih cita-citanya. Lila ingin menjadi seorang guru, agar kelak ia bisa mengajar anak-anak di desanya dan tidak ada lagi yang kesulitan untuk mendapatkan ilmu.
Di sekolah, Lila adalah murid yang cerdas dan rajin. Ia selalu memperhatikan penjelasan guru, aktif bertanya, dan mengerjakan tugas-tugasnya dengan sebaik mungkin. Ia menyukai semua mata pelajaran, terutama membaca dan menulis. Baginya, buku adalah jendela dunia yang bisa membawanya ke tempat-tempat yang belum pernah ia kunjungi dan mengenalkannya pada berbagai macam ilmu pengetahuan.
Suatu hari, sekolah Lila mengadakan lomba cerdas cermat antar kelas. Lila terpilih menjadi salah satu perwakilan kelasnya. Ia sangat senang dan bersemangat. Setiap malam, setelah membantu ibunya, Lila belajar dengan tekun. Ia membaca buku-buku pelajaran, mengulang catatan-catatan di buku tulisnya, dan berdiskusi dengan Bima tentang materi yang sulit.
Hari lomba tiba. Lila merasa sedikit gugup, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Soal-soal yang diberikan cukup sulit, namun Lila berhasil menjawab sebagian besar pertanyaan dengan benar. Ia bekerja sama dengan teman-teman satu timnya, saling melengkapi dan memberikan dukungan.
Pengumuman pemenang membuat jantung Lila berdebar kencang. Dan alangkah bahagianya ketika ia mendengar bahwa kelasnya berhasil meraih juara pertama. Lila dan teman-temannya bersorak gembira. Kerja keras mereka selama ini terbayar lunas.
Setelah lomba, kepala sekolah memberikan pidato singkat tentang pentingnya pendidikan. Beliau mengatakan bahwa semangat belajar Lila dan teman-temannya, meskipun dengan segala keterbatasan yang ada, adalah contoh yang patut diteladani. Beliau juga berjanji akan mengusahakan perbaikan akses jalan menuju desa mereka agar anak-anak tidak lagi kesulitan untuk pergi ke sekolah.
Kata-kata kepala sekolah itu membuat hati Lila terharu. Ia semakin yakin bahwa pendidikan memang sangat berharga dan harus diperjuangkan. Ia melihat ke arah Bima yang tersenyum bangga padanya. Mereka berdua tahu, perjalanan mereka menuju gerbang ilmu pengetahuan memang tidak mudah, namun setiap langkah yang mereka ayunkan adalah investasi untuk masa depan yang lebih baik.
Sore itu, Lila dan Bima berjalan pulang dengan langkah yang lebih ringan. Mereka membawa pulang piala kemenangan dan juga semangat yang semakin membara untuk terus belajar dan meraih mimpi-mimpi mereka. Di langit Purworejo, mentari mulai terbenam, menyinari jalan setapak yang mereka lalui, seolah memberikan restu pada setiap langkah kecil mereka dalam mengejar pendidikan.
Tambahkan Komentar