Oleh : Fitria Agustin Indah Yulianti
Aku mengenalmu tanpa sengaja. Sebuah pesan di grup diskusi tentang buku mengantarkan kita pada pertemuan yang tak terduga. Namamu, Aria, muncul di layar ponselku, diikuti oleh komentar cerdas dan penuh semangat. Sejak saat itu, setiap notifikasi dari obrolan kita membuat jantungku berdegup kencang.
Lalu, mencintaimu tanpa diduga. Awalnya, hanya sekadar berbagi pendapat tentang novel. Namun, seiring waktu, percakapan kita berkembang menjadi lebih dalam. Kita saling berbagi cerita, impian, dan bahkan ketakutan. Meski kita tak pernah bertatap muka, aku merasa seolah mengenalmu lebih dari sekadar teman. Kenyamanan ini tumbuh, dan aku mulai merasakan sesuatu yang lebih.
Aku nyaman meski tanpa harus bertatap muka. Dalam setiap pesan yang kau kirim, ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan. Kita berbagi tawa, tangis, dan rahasia. Seperti dua jiwa yang terhubung, meskipun jarak memisahkan. Momen-momen kecil itu menjadi pelipur laraku, menggantikan kehadiran fisik yang tak ada.
Akhirnya, akupun merasakan hebatnya rindu tanpa bertemu. Rindu yang tak terbayangkan sebelumnya. Setiap malam, saat layar ponselku menyala, aku merasa seolah kau ada di sampingku. Namun, saat layar itu mati, kesunyian kembali menyelimuti. Rindu ini begitu mendalam, dan aku tahu bahwa cinta ini adalah sesuatu yang nyata.
Bahkan aku sangat mencintaimu walau hanya lewat dunia maya. Namun, semakin dalam perasaanku, semakin besar ketakutanku. Ketakutan akan kehilangan, ketakutan akan perpisahan. Kita telah berbagi begitu banyak, tetapi apakah semua ini akan berakhir? Mungkinkah perasaan ini hanya ilusi belaka?
Suatu malam, saat kita berbincang, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan apa yang kurasakan. “Aria, aku ingin bertemu. Aku ingin melihatmu secara langsung,” kataku dengan hati-hati.
Ada jeda panjang sebelum kau menjawab. “Aku juga ingin, tapi...”
Kata “tapi” itu menggantung di udara. Aku bisa merasakan ketidakpastian di balik kata-katamu. Setelah beberapa saat, kau melanjutkan, “Tapi kita berasal dari dunia yang berbeda. Apa yang kita miliki di sini mungkin tidak bisa bertahan di dunia nyata.”
Kata-katamu seperti petir di siang bolong. Segala harapan yang kupegang terasa runtuh dalam sekejap. “Jadi, kau ingin kita berhenti?” tanyaku, suara bergetar.
“Aku tidak ingin. Tetapi kita harus realistis. Kita tidak bisa terus begini selamanya,” jawabmu pelan.
Hatiku hancur. Rindu ini terasa semakin menyakitkan. Apa yang kita miliki adalah sesuatu yang indah, tetapi realita tak bisa diabaikan. Kita terjebak dalam hubungan yang tak bisa dilanjutkan.
Akhirnya, setelah berjam-jam berbincang, kita sepakat untuk mengakhiri semuanya. Dengan air mata yang membasahi pipiku, aku mengucapkan selamat tinggal. “Terima kasih untuk semuanya, Aria. Aku akan selalu mengenangmu.”
Kau membalas dengan pesan singkat, “Aku juga, semoga kau bahagia.”
Setelah itu, semua terasa sunyi. Pesan-pesan kita, kenangan-kenangan indah, dan semua yang pernah kita bagi kini terhapus. Meskipun cinta ini indah, aku menyadari bahwa kadang-kadang, perpisahan adalah cara terbaik untuk melanjutkan hidup.
Dalam kesunyian malam, aku merasakan sakitnya kehilangan, tetapi aku tahu, aku akan belajar untuk merelakan.


Tambahkan Komentar