Oleh Miftakhur Rosidah

Di tengah kesibukan aktivitas kepesantrenan, Pesantren Darul Muttaqien Bolong, Ngaditirto, Selopampang, Temanggung, memiliki satu kegiatan rutin yang cukup menarik dan penuh makna yaitu pembuatan majalah dinding atau mading. Kegiatan ini dilaksanakan setiap satu bulan sekali, tepatnya pada malam Ahad Wage. Mading bukan sekadar tempelan tulisan di dinding, melainkan menjadi ajang penyaluran bakat dan kreativitas para santri.

Tradisi membuat mading ini telah menjadi budaya literasi yang tumbuh subur di lingkungan pesantren. Para santri terlibat langsung dalam proses kreatifnya, mulai dari menulis artikel, membuat puisi, menggambar ilustrasi, hingga menata tampilan visual mading. Semua dilakukan secara gotong-royong dan penuh antusiasme, menjadikan malam Ahad Wage sebagai momen yang selalu dinantikan.

Mading yang dibuat bukan sekadar media informasi internal pesantren, tetapi juga menjadi sarana edukasi yang efektif. Isinya beragam, mulai dari motivasi islami, cerita inspiratif, kajian keilmuan, hingga humor santun khas santri. Dengan begitu, mading menjadi media kecil yang menyuarakan suara santri, menyampaikan pesan-pesan penting dengan gaya yang ringan namun bermakna.

Tidak hanya meningkatkan kreativitas, kegiatan ini juga memperkuat kemampuan literasi santri. Mereka didorong untuk aktif membaca, menulis, dan berpikir kritis. Banyak santri yang awalnya malu atau ragu menuangkan ide, kini justru bersemangat menyumbang tulisan dan menggali inspirasi dari berbagai sumber bacaan. Mading menjadi bukti nyata bahwa literasi dapat tumbuh di mana saja, termasuk di lingkungan pesantren.

Lebih dari itu, mading juga mengajarkan kerja sama dan tanggung jawab. Dalam satu tim mading, ada yang bertugas sebagai penulis, editor, ilustrator, hingga penata letak. Semua santri belajar untuk saling menghargai peran masing-masing, menyatukan visi agar hasil akhirnya menarik dan layak dibaca. Proses ini tentu menjadi bekal berharga dalam membentuk karakter dan keterampilan sosial santri.

Uniknya, mading di Pesantren Darul Muttaqien tidak pernah kehilangan sentuhan khas pesantren. Nilai-nilai keislaman tetap menjadi ruh dari setiap konten yang disajikan. Bahkan sering kali, kutipan ayat Al-Qur’an, hadits, atau nasihat ulama turut mewarnai isi mading. Ini menjadikan mading bukan hanya media kreatif, tapi juga media dakwah yang halus dan menyentuh.

Kegiatan mading juga mendapat dukungan penuh dari para ustaz dan pengurus pesantren. Mereka memfasilitasi ruang, alat tulis, dan juga memberikan bimbingan kepada santri dalam menulis dan menyunting. Kehadiran mereka menjadi semangat tersendiri bagi santri untuk terus berkarya dan memperbaiki kualitas setiap edisi.Seiring waktu, mading telah menjelma menjadi cermin dinamika kehidupan santri. Ia merekam suka duka, harapan, dan cita-cita para penghuni pesantren. Mading juga menjadi arsip kecil yang menyimpan jejak perjalanan intelektual dan spiritual santri dari waktu ke waktu.

Melalui media kecil ini, santri Darul Muttaqien membuktikan bahwa keterbatasan fasilitas tidak membatasi mereka untuk berkreasi. Justru dari keterbatasan itu muncul semangat besar untuk terus berkarya dan memberi manfaat. Mading, meski sederhana bentuknya, ternyata memiliki dampak besar dalam menumbuhkan semangat literasi dan kreativitas di dunia pesantren.

Bagikan :

Tambahkan Komentar