Oleh : Tri Nadya Septiyaningrum
Setiap pagi, sebelum membuka jendela kamar, banyak dari kita lebih dulu membuka layar ponsel. Belum sempat menatap matahari, kita sudah menatap wajah-wajah di media sosial tersenyum, tertawa, penuh warna, penuh cerita. Namun, pertanyaannya sederhana: apakah semua itu nyata?
Kita hidup di zaman di mana dua dunia saling bertabrakan: dunia nyata dan dunia maya. Yang satu bisa disentuh, dirasakan, dan dihadapi dengan segala rasa. Yang satu lagi indah, cepat, namun penuh ilusi. Media sosial telah menjelma menjadi “cermin” modern, tempat kita memantulkan versi terbaik dari diri kita, bahkan ketika kehidupan nyata sedang runtuh di balik layar.
Dalam dunia nyata, kita tidak selalu bahagia. Kadang kita gagal, kecewa, merasa tidak cukup. Namun di dunia maya, kita diajarkan untuk menampilkan senyum meski sedang menangis, memamerkan pencapaian meski sedang jatuh, dan menutupi luka dengan filter. Kita menjadi aktor di panggung digital, berkompetisi untuk tampak bahagia, sukses, dan sempurna.
Lalu tanpa sadar, kita mulai membandingkan naskah hidup kita dengan highlight orang lain. Kita merasa tertinggal, padahal setiap orang punya waktu dan jalan masing-masing. Kita merasa kurang cantik, kurang pintar, kurang berhasil, karena lupa bahwa layar tidak pernah menunjukkan keseluruhan cerita hanya potongan terbaik yang dipilih dengan hati-hati.
Tekanan ini nyata. Banyak remaja kehilangan jati diri, merasa gagal hanya karena tidak sepopuler teman sekelasnya di Instagram. Banyak orang dewasa kehilangan arah karena merasa tak sekaya influencer yang mereka ikuti. Media sosial bukan lagi sekadar tempat berbagi, tapi sudah menjadi standar hidup yang tak adil.
Namun, apakah kita harus lari dari media sosial? Tidak. Dunia maya bukan musuh. Ia hanyalah alat. Yang perlu kita lakukan adalah berdamai dengan diri sendiri, menerima bahwa tidak semua hal harus dibagikan, dan tidak semua kesuksesan harus divalidasi oleh “like”. Dunia nyata memang tak selalu indah, tapi di sanalah tempat kita benar-benar tumbuh, jatuh, belajar, dan mencintai.
Menjadi nyata lebih penting daripada terlihat sempurna. Karena pada akhirnya, ketika layar dimatikan dan notifikasi berhenti berdentang, yang tersisa hanyalah kita dengan hati yang jujur, kehidupan yang sebenarnya, dan keberanian untuk menerima bahwa hidup tidak harus selalu indah untuk tetap bermakna.
Tambahkan Komentar