Oleh : Deby Arum Sari
Kabut pagi masih menyelimuti ladang jagung ketika Cahyo melangkah pelan menyusuri pematang, membawa sebilah parang tua dan sebuah kantong kecil berisi bekal nasi jagung dan sambal terasi buatan ibunya. Embun membasahi ujung celana panjangnya, tapi ia tak peduli. Langit mulai membuka selimut malamnya, memancarkan cahaya jingga keemasan yang menyentuh pucuk-pucuk jagung, menciptakan lukisan alam yang indah dan menenangkan jiwa.
Cahyo berhenti sejenak. Di kejauhan, menara pemancar menjulang tinggi, berdiri diam seperti penjaga sunyi di tengah hamparan hijau. Ia memandangi matahari yang perlahan naik dari balik gumpalan awan, membelah cakrawala dengan cahayanya. Hatinya hangat.
Hari ini genap satu tahun sejak ayahnya pergi bukan ke tempat jauh, bukan ke negeri asing, tapi pergi selamanya, menghadap Sang Pencipta. Sejak saat itu, Cahyo-lah yang mengambil alih tugas ayahnya: merawat ladang jagung keluarga.
“Jagung ini bukan sekadar tanaman, Yo,” kata ayahnya dulu. “Ia tumbuh dari keringat dan doa. Dari kejujuran dan cinta pada tanah.”
Kata-kata itu masih terngiang jelas. Di antara semua yang diajarkan sang ayah, Cahyo paling ingat tentang adab terhadap alam. Ayahnya bukan orang sekolah tinggi, tapi ia selalu mengajarkan anaknya untuk menyapa ladang, mengucap salam pada bumi, dan berterima kasih pada hujan.
Sambil mulai membersihkan rumput liar, Cahyo melantunkan selawat pelan. Ladang ini bukan hanya tempat bekerja; ia adalah ruang doa dan harapan. Angin pagi berhembus lembut, seolah ikut mendengarkan.
Setelah satu jam bekerja, Cahyo duduk di pinggir ladang, membuka bekalnya. Ia makan perlahan, matanya menatap langit yang mulai biru cerah. Burung-burung mulai beterbangan dari pohon ke pohon, dan suara jangkrik mulai tenggelam oleh kehidupan pagi.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah jalan kecil. Seorang gadis muda datang menghampiri dengan senyum ramah. Namanya Nisa, guru muda di madrasah desa yang sering lewat ladang ini setiap pagi.
“Mas Cahyo pagi-pagi sudah di sini?” sapa Nisa.
“Sudah jadi kebiasaan, Mbak. Ladang ini lebih tenang dari suara alarm,” jawab Cahyo, tertawa kecil.
Mereka berbincang sejenak. Nisa bercerita tentang murid-muridnya yang mulai dia ajari untuk lebih mencintai alam. Ia ingin membuat program kecil: anak-anak belajar menanam dan merawat tanaman sendiri. Mendengar itu, Cahyo langsung menawarkan ladangnya sebagai tempat belajar.
“Biar ladang ini jadi tempat tumbuh bukan hanya jagung, tapi juga adab,” katanya mantap.
Nisa tersenyum, menatap Cahyo penuh kagum. Di balik kesederhanaannya, pemuda itu punya jiwa besar. Bukan hanya petani, tapi penjaga nilai-nilai kehidupan.
Matahari kian tinggi. Langit tak lagi malu-malu menampakkan birunya. Tapi di hati Cahyo, fajar baru telah terbit lebih awal—fajar harapan, kerja keras, dan tekad untuk menjadikan ladang ini bukan sekadar tempat bertani, tapi juga taman pendidikan.
Tambahkan Komentar