Oleh: Sufi Saniatul Mabruroh

Dua koper besar dan sebuah tas ransel disandarkan di samping kaki Tika. Di teras depan rumah yang sepi, ia menatap bapaknya yang sedang sibuk memuat barang-barang itu ke dalam mobil. Bapaknya, Bapak Budi, seperti biasa, tidak banyak bicara.

"Sudah semua, Pak?" tanya Tika.

Bapak Budi hanya mengangguk sambil mengatur posisi koper di bagasi. Gerakannya teratur, teliti, memastikan tidak ada ruang yang terbuang percuma. Tika mengamati wajah bapaknya. Garis-garis halus di dahi dan pelipisnya semakin kentara. Rambutnya sudah banyak yang memutih.

Tika akan merantau. Ia baru saja diterima di universitas impiannya di kota lain. Ini adalah kali pertama ia akan hidup jauh dari rumah. Dalam benaknya, ia berharap bapaknya akan mengucapkan sesuatu yang mengharukan, mungkin pelukan hangat, atau setidaknya, kata “Bapak sayang kamu.”

Namun, Bapak Budi tidak pernah mengucapkan kata-kata itu.

"Ini," ujar Bapak Budi tiba-tiba, menyodorkan sebuah amplop cokelat. "Uang jajanmu untuk bulan pertama. Sudah Bapak hitung untuk biaya hidup di sana."

Tika menerima amplop itu. "Terima kasih, Pak."

"Jangan lupa makan teratur. Jangan begadang," kata Bapak Budi.

"Kalau ada kesulitan, langsung telepon Bapak."

Kalimat-kalimat itu diucapkan dengan nada datar, tanpa emosi berlebih. Tika merasa ada jarak yang tak terjangkau. Ia tahu bapaknya mencintainya, tetapi mengapa cinta itu begitu sulit diucapkan?

Perjalanan menuju kota tujuan terasa sunyi. Bapak Budi fokus menyetir, sesekali menyalakan musik klasik yang menenangkan. Tidak ada obrolan berarti. Tika hanya melihat pemandangan di luar jendela, tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Setibanya di kota itu, mereka langsung menuju kos Tika. Bapak Budi memeriksa setiap sudut kamar. Ia menggeser meja, memastikan lampu berfungsi, dan bahkan memeriksa kondisi kamar mandi.

"Kunci kamar ini jangan sampai hilang," katanya sambil meletakkan kunci di atas meja. "Kalau malam, pastikan pintu terkunci rapat."

Setelah membantu menata sebagian barang, Bapak Budi duduk sejenak di kursi plastik sambil meminum kopi dalam kaleng.

"Bapak pulang sekarang," katanya.

Tika terkejut. Ia berharap bapaknya akan menginap semalam atau setidaknya makan malam bersamanya.

"Secepat ini, Pak?" tanya Tika.

"Banyak pekerjaan di rumah. Kamu jaga diri baik-baik," jawab Bapak Budi. Ia berdiri, mengusap puncak kepala Tika sebentar, lalu berjalan keluar.

Tika menatap punggung bapaknya yang menjauh. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia merasa ditinggalkan, meskipun ia tahu ini adalah bagian dari proses pendewasaannya.

"Kenapa Bapak tidak pernah bilang sayang padaku?" bisiknya dalam hati.


Beberapa minggu berlalu. Tika mulai beradaptasi dengan kehidupan kampus. Ia sibuk dengan kuliah dan kegiatan organisasi. Namun, ada satu kebiasaan baru yang muncul setiap sore, Tika menerima pesan singkat dari nomor bapaknya.

Pesan itu selalu singkat: "Sudah makan?" atau "Cuaca di sana bagaimana?" atau "Sudah telepon Ibu?"

Tika selalu membalas pesan itu, kadang dengan malas. Baginya, itu hanya formalitas.


Suatu hari, Tika sakit. Demam tinggi membuatnya tidak bisa bangun. Saat ia mencoba meraih ponselnya, ia melihat notifikasi panggilan tidak terjawab dari Bapaknya.

Ketika ia menelepon balik, suara Bapak Budi terdengar tegang.

"Kamu kenapa belum angkat telepon Bapak?" tanya Bapak Budi.

Tika menjelaskan kondisinya. Bapak Budi tidak mengatakan "cepat sembuh" atau "kasihan sekali." Ia hanya bertanya, "Sudah minum obat? Sudah makan bubur?"

Tika mengangguk, meskipun bapaknya tidak bisa melihatnya. "Sudah, Pak."

"Bapak sudah transfer uang untuk beli makanan yang hangat. Jangan sampai telat makan," kata Bapak Budi, lalu menutup telepon.

Tika menatap layar ponselnya. Tidak ada kata-kata manis. Tapi, kehangatan menjalari dadanya. Bapaknya tidak mengucapkan cinta, tetapi setiap pertanyaannya, setiap tindakan kecilnya, adalah wujud dari kekhawatiran yang mendalam.


Libur semester pertama tiba. Tika pulang. Saat ia sampai di rumah, Bapak Budi sedang membersihkan halaman. Ia menyambut Tika dengan senyuman kecil, lalu kembali menyapu.

"Bajumu yang kotor kasihkan Ibu, Tika," kata Bapak Budi. "Di kamar mandi sudah Bapak pasang gantungan baru. Yang lama sudah rusak."

Saat malam tiba, Tika duduk di ruang keluarga. Bapak Budi duduk di seberangnya, membaca koran.

"Bapak," panggil Tika pelan.

"Ya?" jawab Bapak Budi tanpa mengalihkan pandangan dari koran.

"Aku sudah dapat nilai bagus di beberapa mata kuliah."

Bapak Budi melipat korannya dan menatap Tika. "Kerja bagus. Bapak bangga."

Dua kata itu 'Bapak bangga' terasa lebih berat dan bermakna daripada ribuan kata "sayang" yang mungkin diucapkan orang lain.

Tika akhirnya mengerti. Bahasa cinta bapaknya bukanlah kata-kata manis atau pelukan hangat. Bahasa cintanya adalah tindakan, perhatian yang diam-diam, dan kepastian bahwa ia selalu ada.

Bagi Bapak Budi, cinta bukan untuk dibicarakan, melainkan untuk ditunjukkan.

"Bapak, terima kasih," ucap Tika tulus.

Bapak Budi tersenyum tipis. "Ya sudah, sana istirahat. Jangan begadang lagi. Besok Bapak ajak kamu beli buku."

Tika tersenyum. Bapaknya memang tidak pernah bilang "Aku sayang kamu." Tapi, ia tahu, dalam setiap gerak-gerik dan pengorbanan kecil, Bapak Budi mengatakan itu setiap hari.

Bagikan :

Tambahkan Komentar