Jakarta, Hariantemanggung.com – Radikalisme adalah paham yang menjiwai semua aksi terorisme. Mereka selalu mendoktrin, membenturkan agama dan budaya, agama dan sosial, agama dan Pancasila. Hal ini ditegaskan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen (Pol). R. Ahmad Nurwakhid, S.E., M.M, saat menjadi pembicara seminar nasional Gebyar Keputeraan Universitas Pembangunan Panca Budi, Kamis (23/6/2022).
Dijelaskan Brigjen Nurwahid, para radikalis ini akan membenturkan dua hal yang tidak semestinya, misalnya, akan menanyakan membela ideologi agama atau ideologi Islam. Membela Islam atau NKRI. Pancasila atau Al-quran.
“Terorisme dijiwai oleh paham radikalisme akarnya adalah ideologi. Ideologi dipahami oleh manusia. Setiap manusia punya potensi baik dan jahat. Ada potensi moderat dan radikal. Keduanya akan muncul dengan adanya faktor korelatif yakni agama, politik, dan sebagainya. Faktor ekonomi bukan akar melainkan pemicu. Faktor ekstremisme dan radikalisme menjadi faktor pemicu adanya suatu permasalahan. Melawan ideologi Pancasila,” paparnya.
Dijelaskannya, radikalisme adalah paham yang menghendaki adanya perubahan, pergantian, dan penjebolan terhadap suatu sistem masyarakat sampai ke akarnya. Radikal terorismenya adalah dari oknum yang beragama. Radikalisme dalam termonologi asing dikatakan ekstremisme.
“Terorisme adalah tindakan atau kekuatan yang menggunakan ancaman kekerasan, terutama kekerasan verbal dan menimbulkan banyak kerugian termasuk objek vital dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan,” jelasnya.
Hal ini pula yang melatarbelakangi negara menetapkan separatis KKB sebagai terorisme. “Karena negara kita adalah negara demokrasi dan pilar negara demokrasi itu adalah negara informasi hukum. Hukum kita yang terkait dengan terorisme adalah UU no 5 tahun 2018 tentang tindak pidana terorisme,” ujarnya.
Teroris sparatis Papua punya motif ideologi karena tidak mengakui adanya Pancasila. Berpolitik ingin memisahkan diri dari NKRI yang sudah menjadi konsensus nasional dan diakui oleh UN atau PBB.
Yang harus digarisbawahi lanjutnya, tidak ada kaitan antara terorisme dengan agama, karena tidak ada agama yang mengaitkannya. Biasanya didominasi oleh umat beragama disuatu wilayah dan biasanya didominasi oleh umat beragama disuatu wilayah.
“Ribuan umat muslim terusir di Rohingya akibat dari provokasi rasisme ataupun propaganda dari seorang oknum beragama. Otomatis radikal terorisme adalah yang beragama,” cetusnya.
Komandan Batalyon Infanteri 8 Marinir Harimau Putih Pangkalan Brandan, Letkol (Mar.) Farick M.Tr.Opsla mengatakan, ia memfokuskan kesatuannya tidak terpapar paham radikalisme dan terorisme.
“Di kesatuan kami memiliki pembinaan rohani di kalangan prajurit, juga ada pembinaan-pembinaan ideologi berupa jam-jam komandan menanamkan nilai-nilai kejuangan bagi prajurit. Yang kami tanamkan kepada anggota kami yaitu beriman dan bertakwa, menanamkan nasionalisme jangan sampai tentara juga terlena,” tegasnya.
“Alhamduliilah di kesatuan kita belum ada prajurit yang terpapar, meski demikian kita selalu memonitor prajurit kami,” tambahnya. (htm/far)
Tambahkan Komentar