Oleh Damkha Ulul Fadli

Mahasiswa INISNU Temanggung


Perang Global melawan tembakau sesungguhnya bermula dari persaingan bisnis Nikotin, antara Industri Farmasi dengan Industri Tembakau di Amerika Serikat. Nikotin menjadi bisnis yang sangat menggiurkan, miliaran dollar AS berputar disitu. Kenneth warner John 'shader dan David Warner, dalam “Emerging Market For Long-Term Nicotine Maintenance Journal Of The American Medical” menulis “A Series Of Technology Economi Politic Regulation And Social Development Algora Strange Bedfellows Competition In Which These Industri” Or “Tobacco And Pharmaceutical Will Fight For Search For Multi Billion Dollar Long-Term Nikotin Maintenance Market”. 

Hamilton menelanjangi persaingan tersebut dalam bukunya dibalik Perang Global melawan tembakau, tersembunyi kepentingan besar bisnis perdagangan obat-obatan “Nicotine Replacement Therapy” atau NRT alias obat-obatan penghenti kebiasaan merokok, seperti permen karet nikotin, koyo, semprotan hidung, obat hirup dan zybian.

Kampanye kesehatan public tentang bahayanya tembakau hanyalah kedok bagi kepentingan bisnis untuk memasarkan produk-produk NRT tersebut.  Perusahaan-perusahaan Farmasi berkepentingan untuk menguasai nikotin sebagai bahan-bahan dalam membuat produk-produk NRT mereka.

Sudah diketahui sejak lama bahwa nikotin mempunyai banyak manfaat medis, persoalan mengenai nikotin yang tidak bisa dipatenkan, karena nikotin secara alami terkandung dalam berbagai buah dan sayuran, seperti tembakau, tomat kentang dan banyak sayuran lainnnya. Sayangnya hanya senyawa mirip nikotin dan sarana pengantar nikotinlah yang bisa dipatenkan. Dan mulai dari sinilah persaingan bergulir dan membesar.

Ditahun 1990 dengan menggelontorkan dollar, perusahaan-perusahaan Farmasi mendorong sekian banyak riset kesehatan tentang bahayanya tembakau. Program-program anti tembakau hingga dukungan untuk berbagai konferensi kesehatan dunia anti tembakau. Termasuk untuk “Who Tobacco Free Initiative”, yang lahir pada tahun 1998, disokong oleh 75 % perusahaan-perusahaan farmasi multinasional yaitu “Pharmacia Upjohn” yang menjual permen karet nikotin, koyo, transdermal, semprot hidung dan obat hirup, ”Novartis” yang menjual Choi Habitrol.

Salah satu misi dari “Who Tobacco Free Initiative” adalah mempromosikan “Who Framework Convention On Tobacco Control” atau FCTC sebagai landasan hukum internasional dalam memerangi tembakau di Word Economic Forum di Davos, Swiss. Kemudian pada bulan April 1999 WHO mengeluarkan lembaran Fakta PT tobacco dependence, dan menyebut dengan istilah Treatment.

Sokongan dana dari perusahaan-perusahaan farmasi multinasional untuk memerangi tembakau juga melibatkan perusahaan seperti Pfizer dan Johnson & Johnson, yang juga memulai program hibah untuk memerangi tembakau sejak sebelum tahun 1998. Agresivitas perusahaan-perusahaan Farmasi Multinasional tak ayal telah berhasil menjadikan Tembakau sebagai musuh kesehatan dunia.

10 Perusahaan obat terbesar dilaporkan menghasilkan laba rata-rata 30 % dari pendapatan Margin. Yang paling mencengangkan adalah setiap tahun. Sejak tahun 1992 industri obat adalah industry yang paling menguntungkan di Amerika Serikat. Jika ditotal, Kapitalisasi dari 4 perusahaan farmasi terbesar itu jumlahnya melebihi perekonomian India. Potensi keuntungan tersebut masih bisa berkali-kali lipat besarnya ditahun-tahun mendatang.

WHO terus mengincar dan mengkampanyekan Perang Global melawan tembakau apalagi “Framework Convention On Tobacco Control”, membuat Perjanjian Internasional Pengendalian Tembakau yang bersifat menyeluruh dan mengatur produksi, penjualan, distribusi iklan, hingga perpajakan, tembakau telah diadopsi oleh majelis kesehatan dunia pada tahun 2003 dan mulai diberlakukan di tahun 2005. 

Bagaimana dengan negara kita, yang pendapatan pajak negara lebih dari 70% berasal dari hasil tembakau. Membunuh tembakau sama saja dengan membunuh petani dan buruh tembakau dari berbagai daerah di Indonesia. Kretek Tembakau sudah menjadi budaya di negara kita, yang berumur ratusan tahun. Berarti selama ini para perokok sudah ikut menghidupi para petani dan buruh tembakau. Bahkan Presiden Pertama kita Ir. Seokarno mengatakan bahwa merokok adalah ideologi. Soekarno paham betul bahwa komoditi tembakau Indonesia adalah komoditi yang menjanjikan yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain. 

Walaupun ada tembakau virginia dari Amerika Serikat, namun secara kualitas masih jauh dengan kualitas tembakau yang ada di Indonesia. Dan benar saja, tembakau menjadi salah satu kebutuhan dunia yang menjanjikan hingga saat ini. Tanaman ini seringkali disebut sebagai emas hijau karena nilai jualnya tinggi di masa pendudukan Hindia-Belanda. Tak mengherankan jika Belanda melakukan penanaman komoditas tembakau secara besar-besaran pada tahun 1830. 

Maka Cerdaslah, yang dikampanyekan belum tentu tepat tapi pasti berdampak.


Bagikan :

Tambahkan Komentar