Oleh Nahdiyatul Mustahfiroh

Mahasiswi PGMI Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung

Pandemi covid-19 yang mulai menyerang dunia di akhir 2019 ini menimbulkan perubahan tatanan kebiasaan di berbagai bidang. Salah satu perubahan yang paling kentara adalah perubahan aktifitas yang semula dilakukan secara langsung kini mayoritas diterapkan via daring (dalam jaringan) atau online. Anjuran untuk mengurangi mobilitas dan menjauhi kerumunan menyebabkan pola aktifitas berbasis daring ini menjadi efektif untuk diterapkan.

Jika kita lihat dari sisi lain, pandemi covid-19 ini tentunya dapat kita rasakan dampak positifnya pada peningkatan di bidang IT. Dengan adanya pandemi covid-19 ini muncul berbagai macam aplikasi atau fitur online seperti video converence. Jenis aplikasi video converence seperti zoom, google classroom, dan lain-lain tentunya semakin melejit eksistensinya selama pandemi covid-19 ini.

Jika kita telisik mendalam pandemi covid-19 yang baru-baru ini mencapai gelombang kedua cukup mengerikan. Tidak hanya karena korban jiwa dan berimbas pada bidang kesehatan saja, tetapi berdampak pula pada kebiasaan-kebiasaan manusia. Penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di seluruh Indonesia menjadikan aktifitas nyaris dominan dilakukan berbasis daring. Hal ini menyebabkan tingkat penggunaan jaringan online di Indonesia semakin meningkat. Penggunaan internet meningkat sebanyak 40% selama penerapan PPKM tersebut. Hal ini tentu saja bukan menjadi berita yang mengejutkan. Namun sayangnya perubahan pola kebiasaan dari tatap muka menjadi online ini tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Peran internet yang tidak hanya dijadikan sebagai sarana dalam bekerja maupun belajar dari rumah, tetapi juga sebagai media dalam mencari hiburan. Hiburan yang didapatkan dari berselancar di dunia maya tidak membutuhkan biaya yang banyak tentunya membuat media berbasis online menjadi kebutuhan primer layaknya sandang, pangan dan papan. Terlebih pada masa pandemi ini, dimana mayoritas tempat wisata ditutup dalam upaya pencegahan tertularnya covid-19.

Salah satu media massa yang booming saat ini adalah aplikasi Tik Tok.Aplikasi buatan Tiongkok ini merupakan aplikasi berbagi video yang dapat disisipi musik, filter, dan beberapa fitur kreatif lainnya. Pengguna Tik Tok terdiri dari berbagai kalangan, masyarakat biasa maupun selebritas, tua maupun muda, bahkan anak-anak sekalipun sudah banyak yang mengenal aplikasi ini. Selain sebagai media hiburan, aplikasi ini juga difungsikan sebagai sarana mengekspresikan kekesalan, menunjukkan kreativitas, hingga media informasi.

Fenomena joget Tik Tok pun belakangan ini menjadi trend, ditambah banyak kalangan selebritas maupun tokoh terkenal yang mulai merambah dunia peruntungan melalui Tik Tok menjadikan aplikasi berbagi video ini melejit pamornya dalam waktu yang terhitung singkat. Mulai dari Zico Anysong Challenge, Saya Masih Ting-ting, joget Mendung Tanpo Udan, hingga yang terbaru Squid Game Challenge yang viral dari serial drama korea berjudul sama turut menjadikan pengguna Tik Tok menirukan joget-joget tersebut. Bagi para penggunanya, tentu saja hal tersebut bersifat menghibur, menyalurkan bakat, bahkan dapat meningkatkan daya kreativitas mereka. Tetapi hal tersebut juga pastinya menimbulkan kontra pada beberapa kalangan.

Berjoget Tik Tok dalam beberapa pandangan dianggap tidak etis karena banyak pengguna yang melakukan aksi jogetnya di tempat yang tidak tepat, seperti di jalan, ruang kelas, dan lain-lain. Hal-hal seperti itu dianggap mengabaikan unggah-ungguh dalam kebudayaan Jawa. Mengapa demikian?

Sejak dahulu Jawa dikenal dengan kebiasaan bersosialisasi yang patut diacungi jempol. Membungkuk ketika berjalan di depan orang yang lebih tua, menyapa orang ketika di jalan, mempersilahkan orang untuk bertamu (bahkan tidak dikenal sekalipun), hingga memberikan oleh-oleh pada tamu. “Kulo nuwun Pakdhe”, “monggo pinarak mas”, “nderek langkung buk”, dan sapaan-sapaan sejenis itulah yang membuat Jawa dikenal sebagai suku yang ramah. Lalu apa hubungannya unggah-ungguh itu dengan jogetan Tik Tok?

Sebagai contoh, seorang remaja sangat asyik merekam video challenge joget Tik Toknya di depan rumah hingga ia tidak sadar ada beberapa orang menyapa saat melewatinya. Namun, karena saat itu ia tengah keasyikan merekam maka tentu saja ia tidak menjawab sapaan tersebut, alih-alih sapaan tersebut mengganggunya karena ia harus kembali merekam. Tindakan itulah yang dianggap mengabaikan unggah-ungguh yang sudah mengakar kuat dalam kebiasaan masyarakat Jawa. Hal itu pula yang dianggap dapat melunturkan sikap ramah masyarakat Jawa nantinya.

Dalam budaya Jawa sendiri sudah turun temurun diajarkan bagaimana cara bersikap dengan yang lebih tua, bahasa yang benar dipakai saat berbicara dengan orang yang lebih tua, sebaya, maupun dengan yang lebih muda. Ngoko lugu, ngoko alus, kromo alus serta kromo inggil, keempatnya harus diucapkan dengan benar tergantung lawan bicara.

Saat berbicara dengan teman misalnya, maka lebih tepat jika menggunakan ngoko lugu dengan alasan kosakata yang termasuk dalam rumpun ngoko lugu lebih santai. Saat berbicara dengan saudara yang lebih muda atau adik, lebih tepat menggunakan ngoko lugu karena kosakatanya santai tetapi tetap santun, hal itu juga bertujuan mengajarkan sopan santun pada orang yang lebih muda. Saat berbicara dengan orang tua, harus menggunakan kromo alus dimaksudkan karena kosakatanya halus, lebih santun, dan dianggap lebih menghormati dengan orang yang lebih tua. Berbeda saat lawan bicara adalah seorang keturunan bangsawan atau ningrat, maka Bahasa yang tepat digunakan adalah kromo inggil. Hal itu tentu saja tidak boleh diabaikan begitu saja oleh masyarakat Jawa, terutama kawula muda yang saat ini banyak sekali tantangan dalam mempertahankan kebudayaan.

Selain itu dalam Jawa pun terdapat tarian-tarian yang sarat makna, yang saat ini patut dibandingkan pula dengan challenge joget-joget Tik Tok. Pada seni tari Jaran Kepang misalnya. Jaran merupakan bahasa Jawa dari kuda dan kepang yang dalam bahasa Indonesia diartikan sama dalam bahasa Jawa. Jika dimaknai secara istilah jaran kepang adalah tiruan kuda yang terbuat dari kepang atau anyaman bambu. Tari jaran kepang memang menggunakan properti berupa jaran kepang itu sendiri dalam pementasannya. Saat membawakan tarian ini penari mengapitkan jaran kepang tersebut pada kedua pahanya seperti tengah menunggangi seekor kuda. Hal ini merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran jaman dahulu, yaitu sebuah pasukan kavaleri berkuda di tengah medan perang.

Tari Jaran kepang atau di beberapa daerah di jawa disebut sebagai tari Jathilan adalah drama tari dengan adegan pertempuran sesama prajurit berkuda dengan senjata pedang, dimana tarian ini mengutamakan tema perjuangan prajurit yang gagah perkasa di medan perang dengan menunggang kuda dan bersenjatakan pedang. Tarian ini bertujuan agar kawula muda tertarik mempelajari sejarah bagaimana masyarakat jaman dahulu hidup di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan yang sering terjadi peperangan.

Lalu mengapa tarian yang sarat makna ini jaman sekarang kalah pamor dibandingkan joget challenge Tik Tok yang bisa sangat viral? Bukankah jika tarian Jaran Kepang atau tarian-tarian lain diviralkan dapat menjadi upaya pelestarian kebudayaan daerah? Bukankah jika hal tersebut benar-benar dilakukan maka aktifitas di masa pandemi ini akan menjadi lebih bermanafaat dan tidak mejadikan aplikasi Tik Tok sebagai hiburan yang dapat mengikis unggah-ungguh.


Bagikan :

Tambahkan Komentar