kompas.com |
Oleh Marisa Fiorensa
Covid-19 adalah wabah virus yang mampu menelan banyak korban
jiwa di dunia. Sekali mendengar namanya, orang akan tahu kalau virus ini sangat
berbahaya. Tak tanggung-tanggung, virus ini dapat memberikan ancaman kematian
bagi penderitanya. Membuat orang berbondong-bondong mulai hidup sehat, mematuhi
protokol kesehatan hingga berdiam diri di rumah jika tidak ada kepentingan yang
mendesak. Hal inilah awal mula berubahnya tatanan kehidupan masyarakat di
seluruh dunia begitupun dengan Indonesia.
Jika kita mengingat kembali saat virus COVID-19 muncul di
penghujung tahun 2019. Menurut beberapa sumber yang telah saya baca, virus ini
awalnya muncul dari Pasar Grosir Makanan Laut Huanan yang ada di Kota Wuhan,
Ibukota Provinsi Hubei, Cina Tengah. Wuhan sendiri termasuk kota megapolitan
dengan total penduduk mencapai belasan juta warga, sama seperti Beijing,
Shanghai, dan lainnya. Kemudian virus ini menyebar ke setiap benua, pemerintah
di seluruh dunia telah mengunci dan membatasi gerakan. Alhasil pada tahun 2020,
meningkatnya krisis di dunia terutama di Indonesia, baik dalam pendidikan,
kesehatan, perekonomian, sosial politik, dan agama. COVID-19 pun dinyatakan
sebagai pandemi global oleh Organisasi Kesehatan Dunia pada tanggal 11 Maret
2020.
Virus yang menyerang pernapasan ini, dapat menular dari
orang ke orang seperti flu biasa, tetapi dengan tingkat kematian yang relatif
rendah dibandingkan dengan SARS, MERS dan H1N1. Tidak banyak yang diketahui
tentang COVID-19 pada saat ini, yang dapat dimengerti menyebabkan ketakutan dan
kesusahan terutama bagi kita yang memiliki kondisi terkait kecemasan. Hal ini
diperparah dengan munculnya berita-berita kematian dari orang-orang yang
terjangkit covid-19. Bahkan tak jarang pula ditemui berita hoaks yang isinya
melebih-lebihkan pemberitaan kematian, penularan, dan penanganan covid-19 ini.
Oknum-oknum penyebar berita seperti ini sudah menyebar dengan luas, seiring
bertambahnya waktu bukannya berkurang tapi malah bertambah. Sehingga semakin
bertambah pula korban berita hoaks yang disebarkan.
Tak tanggung-tanggung, efek dari berbagai berita mengenai
covid-19 baik hoaks maupun bukan ternyata mampu membuat penyebaran virus stigma
negatif di masyarakat meningkat drastis. Stigma di sini bermaksud menggambarkan
suatu keadaan atau kondisi terkait sudut pandang sesuatu yang dianggap bernilai
negatif. . Stigma dikaitkan dengan identitas sosial atau kerap kali disebut
dengan status sosial karena berkaitan dengan personal (Goffman, 1974). Namun
secara konsep, menurut Goffman (1974) mengungkapkan bahwa stigma merupakan
jenis kesenjangan antara identitas sosial virtual (berupa tuntutan atau
karakter yang disalahkan oleh individu) dan identitas sosial aktual (berupa
kategori atau atribut yang dimiliki oleh seseorang). Stigma sosial diartikan
sebagai hubungan negatif antara seseorang atau sekelompok orang yang berbagi
karakteristik tertentu dan penyakit tertentu dalam konteks kesehatan (WHO,
2020). Dari stigma ini dapat menimbulkan:
Mendorong orang untuk menyembunyikan
penyakit untuk menghindari diskriminasi,
Mencegah orang mencari perawatan
kesehatan segera, dan
Mencegah mereka untuk mengadopsi perilaku
sehat.
Sebagian penyakit tercantum dalam masalah kesehatan
masyarakat biasanya menjalin hubungan dengan stigma yang berkembang di
masyarakat. Para pengidap dari sebagian penyakit tertentu kerap memperoleh
stigma yang membagikan rasa rendah diri. Pengidap kusta, TBC, diabet, serta lain-
lain dikira mempunyai stigma negatif di warga. Sehingga orang-orang di
sekitarnya cenderung menghindar serta tidak ingin ikut serta kontak dengan
mereka meski mereka telah dinyatakan sembuh sekalipun.
Dalam wabah covid-19,
stigma ini mungkin mengartikan sebagai orang yang dilabeli, distereotipkan,
didiskriminasi, diperlakukan secara terpisah, dan/atau mengalami kehilangan
status karena hubungan yang dirasakan dengan suatu penyakit. Perawatan semacam
itu dapat berdampak negatif bagi mereka yang menderita penyakit, serta
pengasuh, keluarga, teman, dan komunitas mereka. Orang yang tidak memiliki
penyakit tetapi memiliki karakteristik lain dengan kelompok ini juga dapat
menderita stigma. Wabah COVID-19 saat ini telah memicu stigma sosial dan
perilaku diskriminatif terhadap orang-orang dari latar belakang etnis tertentu
serta siapa pun yang dianggap pernah kontak dengan virus tersebut.
Jadi, benarkah virus stigma negatif masyarakat ini lebih
berbahaya dari virus covid-19? Mari kita bahas bersama-sama. Setelah kita
mengetahui akan dampak buruk stigma negatif masyarakat, kita menjadi tahu
bahwasannya jika stigma ini digabungkan dengan penyakit berbahaya seperti
Covid-19 ini akan menimbulkan hal yang tidak kita inginkan. Namun, apakah
dengan ini dapat dikatakan bahwa stigma ini jauh lebih mematikan ketimbang
covid-19? Tentunya di sini saya tidak dapat mengatakannya secara pasti karena
saya bukan dari jurusan kesehatan maupun psikolog. Akan tetapi, di sini saya
akan mengupas semampu saya mengenai jawaban pada judul esai ini, tentunya
dengan bantuan jurnal-jurnal yang telah saya baca.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Wrigley et al.
(2005) bahwasannya konsekuensi sosial yang negatif terpaut dengan keadaan
kendala jiwa bisa menyebabkan keengganan diri dalam hal mengakui permasalahan
kesehatan mental, yang bisa jadi mempunyai implikasi langsung dalam sikap
mencari dorongan. Stigma bisa menimbulkan hambatan, yang pada gilirannya bisa
menyebabkan keterlambatan penyembuhan. Bantuan sosial secara signifikan berhubungan
dengan pengalaman stigma yang dialami oleh keluarga. Orang dengan tingkatan
dukungan sosial besar hadapi stigma lebih rendah. Hal ini dibuktikan dengan
berbagai survey yang ada di internet, bahwasannya keluarga merupakan hal
terpenting agar selamat dari virus stigma negatif yang saat itu beredar di
masyarakat luas.
Stigma besar yang dialami oleh keluarga hendak berakibat
pada kenaikan beban keluarga, meningkatnya stress serta mempengaruhi terhadap
mutu hidup dan tekanan mental (Yiyin etal, 2014, Magana, et al, 2007). Efek
tekanan mental yang dirasakan oleh keluarga sebab aspek stigma ini di dukung
oleh tingkatan pembelajaran keluarga yang terkategori rendah. Tingkat
pendidikan kebanyakan di Indonesia hampir seluruhnya (72%) ini tergolong rendah
yaitu SD. Meskipun dalam hal ini tidak mengidentifikasi gejala depresi yang
dialami oleh keluarga tapi hal ini perlu mendapat perhatian karena beban yang
dirasakan oleh keluarga akibat stigma dapat menimbulkan depresi dan stigma
tinggi yang dirasakan oleh keluarga akan menimbulkan deskriminasi sehingga
menyebabkan isolasi dan menyendiri (Ching et al,2016).
Tentunya hal ini akan memperburuk keadaan di saat-saat
tertentu. Apalagi mengingat tingkat pendidikan yang cenderung rendah
memungkinkan naiknya stigma negatif di masyarakat secara drastis. Menurut
beberapa sumber yang telah saya baca, nyatanya stigma ini mampu memberikan
dampak negatif pada pasien covid-19. Baik itu yang sudah parah atau yang belum.
Akan tetapi yang membahayakan di sini adalah ketika stigma ini menjalar pada
golongan orang yang tidak terindikasi terjangkit virus covid-19 tapi saat di
swab terjangkit covid-19. Tentunya ini akan menjadi hal yang tidak diinginkan
oleh masyarakat.
Untuk itu perlu kita ingat bahwasannya covid-19 ini, penyakit
yang baru saja muncul dan masih berkembang dengan pesat trend-nya. Bagi
sebagian orang dengan kekebalan yang baik, Covid-19 dapat melawan sistem kekebalannya
sendiri. Karena orang dengan COVID-19 atau virus corona hanya bisa
mengetahuinya setelah tes tertentu. Untuk membantu pemerintah dan otoritas
kesehatan menganalisis pasiennya. Oleh karenanya, setidaknya ada 4 (empat)
sebutan orang terkait COVID-19, yaitu:
Orang Dalam Pemantauan (ODP).
Pasien Dalam Pengawasan (PDP) atau
suspek.
Orang Tanpa Gejala (OTG).
Positif COVID-19.
Setelah saya cantumkan mengenai beberapa perbedaan sebutan
orang terkait covid-19, baik itu yang belum terkena paparan virus covid-19
maupun tanggapan tubuh terhadap virus covid-19. Seperti yang saya katakan tadi,
stigma akan memperparah keadaan. Menurut beberapa ahli yang sudah saya
cantumkan pula di atas beranggapan bahwa stigma negatif biasanya menjangkiti
pasien dengan penyakit cukup berat, seperti covid-19 ini. Untuk itu, jika
dikatakan virus stigma negatif di masyarakat lebih bahaya dari virus covid-19
itu tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah pula.
Sebab sejatinya, stigma ini tidak terlalu berbahaya ketika
menjangkiti orang tanpa penyakit. Namun, akan berubah menjadi bahaya ketika
menjangkiti orang dengan penyakit tertentu yang cenderung berat. Walau begitu,
virus stigma negatif dapat cepat menular ke orang yang mudah menerima stigma
baru. Di sinilah yang menjadi bahayanya, ketika stigma negatif ini mulai
menjangkit pasien covid-19 akan membuat si penderita menyebabkan hal buruk
berdatangan bahkan mampu menyebabkan kematian. Makanya, ketika stigma negatif
ini hanya menyebar ke non pasien covid-19 akan menimbulkan berbagai dampak.
Dampak terburuk dapat menularkan virus stigma negatif ke pasien covid-19.
Dari sini, kita sudah tahu bukan? Bahwa virus stigma negatif
itu ternyata seganas itu. Tidak mengherankan jika ada yang beranggapan bahwa
virus stigma negatif ini sangat berbahaya melebihi virus covid-19 itu sendiri.
Karena nyatanya, seorang dengan terindikasi positif covid-19 saja sebenarnya
masih bisa kembali sehat dengan catatan tidak memiliki penyakit bawaan yang
berat. Namun, jika si pasien tadi mendapat stigma negatif maka akan memperparah
keadaan. Bisa-bisa si pasien tadi menjadi tidak semangat untuk kembali sehat
dan memunculkan rasa pasrah. Sehingga akan membuatnya lebih cepat bertemu
dengan kematian.
Oleh karena itu, setelah kita tahu seberapa ganasnya virus
stigma negatif di masyarakat. Kita perlu melakukan berbagai hal agar terhindar
dari stigma itu, tentunya dimulai dari diri kita sendiri setelahnya baru kita
sebarkan ke orang tersayang maupun terdekat kita. Berikut kita agar kita
terhindar dari stigma negatif di masyarakat;
Menggunakan media sosial secukupnya atua
kalau pelu dengan membatasi beberapa media yang dirasa tidak baik, contohnya
saja menon-aktifkan grup obrolan keluarga yang berkedok menyebarkan informasi
tapi nyatanya malah menebar ketakutan dan kecemasan. Usahakan kita membaca
berita media yang menginformasikan hal positif tentang tenaga medis.
Lakukan kegiatan yang positif agar kita
terhindar dari membicarakan atau menggosipi seseorang dihadapannya sebagai
penular penyakit. Bahkan sampai menjauhkan atau mengejek keluarga mereka karena
beranggapan sebagai penular penyakit. Jangan sampai kita seperti itu.
Jika mempu kita dapat memberikan
apresiasi kepada tenaga medis dan petugas lain yang merawat pasien covid19 dan
memperluas akses dukungan psikososial/kesehatan mental/kesehatan jiwa dengan
cara memperbanyak informasi-informasi tentang pencegahan dan penanganan
kesehatan mental di masa pandemi covid19 ini.
Makan dan minuman yang sehat (empat sehat
lima sempurna) tak lupa minum vitamin secukupnya sebagai anti-body tubuh kita.
Selain itu kita juga dapat berolahraga agar badan kita jauh lebih bugar dan
sehat. Serta fikiran kita dan mindset kita menjadi lebih terbuka tidak lagi
mudah menerima informasi.
Nah ketika kita sudah mampu menerapkan
hal-hal di atas sudah bisa kita lakukan, inilah saatnya kita mengingatkan ke
orang terkasih maupun terdekat kita dengan cara menyebarkan kiat-kiat tadi.
Mencegah dan menghentikan stigma di sekitar kita tidak sulit
bila semua pihak bersatu padu dalam berkomitmen untuk tidak menyebarkan
prasangka dan kebencian pada kelompok tertentu yang terkait dengan COVID-19.
Kita semua dapat ikut berperan untuk meminimalisir stigma negatif tersebut demi
upaya bersama menanggulangi pandemi ini. Semoga stigma negatif yang marak
terjadi di masyarakat dan juga virus covid-19 dapat segera hilang dari muka
bumi ini. Aamiin.
Tambahkan Komentar