Ilustrasi http://Vemale.com

Oleh Rofi Hiznul Farhamni
Mahasiswa Kelas PAI IA STAINU Temanggung. Tulisan ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Umum yang diampu Hamidulloh Ibda

Apa itu wajik ?
Wajik adalah makanan / kue yang dibuat dari campuran beras ketan, gula  Jawa / pasir yang dicampur parutan kelapa / santan kelapa kemudian dipotong-potong seperti segi empat / kotak-kotak. Asal kata / nama wajik sendiri biasa dikaitkan dengan kartu wajik, karna mungkin bentuknya yang seperti wajik (kotak).

Wajik sendiri ternyata termasuk dalam kategori makanan / camilan zaman majapahit. Hal ini tertulis dalam kitab nawaruci; Kitab Nawaruci merupakan karya sastra yang berbahasa Jawa Tengah yaitu bahasa yang muncul pada jaman kejayaan Majapahit. Kitab Nawaruci atau Sang Hyang Tattawajnana ditulis antara tahun 1500-1619 Masehi oleh Empu Siwamurti.

Kitab Nawaruci ini merupakan karya sastra religius yang terpengaruh ajaran mistik Hindu. Lahirnya Kitab Nawaruci itu bersamaan dengan masa penyebaran dan perkembangan agama Islam di kalangan masyarakat Jawa.

Kue wajik memiliki cita rasa manis. Rasa manis tersebut sering pula di tambahkan dengan aroma lain seperti rasa pandan dan panili sedangkan rasa makanan ini ada yang memiliki rasa asli yaitu rasa gula merah dan rasa durian. Kue wajik memiliki tekstur seperti beras yang belum matang tetapi apabila dimakan akan terasa lunak dan mudah digigit.

Lalu, bagaimana cara membuat / memperolehnya ?
Mungkin tak asing lagi bagi kita, mendengar kata wajik khususnya di Jawa tengah, wajik bisa diperoleh / dibeli di pasar tradisional, kalau saya sendiri mendapatkannya di pasar legi parakan lantai 2, tepatnya di bersebelahan dengan penjual bunga-bunga / pedagang ayam potong yang ada di sana, atau kalau agak kebingungan di sana cuman ada 1 penjual kue wajik, untuk namanya saya agak lupa, tapi ada tulisannya, orang biasa menyebut sebagai seorang bakul / penjual “juadah pasar”.

Kalau kalian kesulitan wajik / jenang biasa dijual di saat / di tempat-tempat makam para aulia, di sana biasa di jual berbagai macam variasi wajik atau jenang yang berbeda-beda, untuk sekarang sudah ada orang yang meng-inovasi wajik dengan berbagai rasa, karna itulah sekarang memang cukup mudah untuk mendapatkannya; selain itu dimasyarakat kita sendiri, kalau kita lihat hampir setiap acara adat / upacara adat sepertinya wajib baginya untuk menyajikan / men-suguh-kan makanan ini, di desa banyak menyajikan makanan ini, seperti contoh pada saat moment acara nikah, miwiti, momongi, nyadran dan lain sebagainya. Orang biasa meyakininya sebagai suatu kewajiban untuk acara-acara tertentu, maka dari itu mudah bagi kita / mungkin tak asing lagi bagi kita untuk dapat menikmati / mendapatkan makanan tersebut.

Selain itu, anda juga bisa membuatnya sendiri lhoh... Bahan utamanya juga mudah dan tak sulit, untuk variasi warna / ukuran bisa di sesuaikan dengan cara Anda masing-masing, untuk lebih jelasnya mari kita tengok cara pembuatannya.

Cara Membuat:
Bahan:
500 g beras ketan putih, cuci bersih, rendam 3 jam, tiriskan.
50 ml air 
300 ml santan kental dari 1 butir kelapa (saya menggunakan santan kara)
200 g gula merah, sisir, masak dengan 50 ml air hingga kental, saring.
40 g gula pasir
3 lembar daun pandan, cuci bersih
1 sdt garam

Cara Buat:
1. Taruh beras ketan yang telah ditiriskan dan 50 ml air ke dalam talam yang dasarnya cukup besar agar ketan rata matangnya. Kukus ketan selama 15 menit. Aduk sebentar agar ketan di dasar talam "terangkat" ke atas dan kukus lagi 10 menit.
2. Didihkan santan, gula merah yang telah disaring, gula putih, garam, dan daun pandan.
3. Masukkan ketan, aduk terus hingga kering.
4. Taruh ketan dalam loyang yang sudah diolesi sedikit minyak. Ratakan permukaannya dengan bantuan plastik yang juga diolesi sedikit minyak. Biarkan dingin. 
5. Potong-potong berbentuk wajik.
Tips:
1. Bila Anda ingin wajik anda lebih manis, tambahkan gula, karena wajik dengan ukuran gula dalam resep ini tidak manis sekali.
2. Gula pasir penting untuk membuat warna wajik lebih gelap karena efek karamelisasi.

Kegunaan Wajik:
Wajik biasa digunakan untuk acara hajatan seperti, acara pernikahan, upacara adat, syukuran, bisa juga untuk dijadikan oleh-oleh ketika berkunjung ke suatu tempat (hajatan, acara adat, nikahan) dan lain sebagainya, untuk dijadikan bahan penelitian / metode / inovasi kuliner dan lain sebagainya; selain kita melestarikan budaya agar tetap eksis, bisa menjadi model untuk kita ber-inovasi di masa mendatang.

Sebagai warisan leluhur, ternyata punya nilai filosofi tersendiri, wajik ketan yang di berikan sebagai hantaran pernikahan, melambangkan dan sebagai harapan hubungan pernikahan keduanya akan terus lengket dan langgeng ibaran wajik, dalam acara adat atau slametan kue wajik di suguhkan untuk melambangkan kerukunan antar warga / umat beragama yang saling menyatu padu tak berbeda. Sebagai pewaris generasi mendatang patut kita syukuri dan bangga akan hal itu.

Bagikan :

Tambahkan Komentar