Biodata Buku:
Judul : Ubur-Ubur Lembur
Penulis : Raditya Dika
Cetakan : 2018
Penerbit : GagasMedia
Tebal   : 231 halaman
ISBN  : 978-979-780-915-7

Raditya Dika, dalam sebuah bukunya yang berjudul Ubur-Ubur Lembur mengisahkan orang yang bekerja kantoran tapi tidak sesuai dengan minat mereka. Lemah, lunglai, hanya hidup mengikuti arus, seperti Ubur-Ubur. Lembur sampai malam, tapi tidak bahagia. Tidak menemukan sesuatu yang membuat hidupnya lebih berarti.

Buku ini bercerita tentang perjalanan hidup sang penulis ketika beranjak dewasa yang dihadapkan banyak masalah.“Semakin gue menua, semakin gue melihat bahwa cita-cita yang dimiliki anak kecil terus mengalami perubahan.” (hal 219)

Penulis buku Koala Kumal ini juga menceritakan bagaimana perjalanan karir dia di sebuah media cetak, mulai dengan shift masuk siang dan pulang pagi-pagi buta. Radit merasakan bahwa yang ia lakukan saat itu tidak memiliki arti, padahal yang kita cari di dunia ini ialah sebuah arti. Sampai akhirnya muncul sebuah moment yang membuat dirinya untuk berpikir ulang mengenai karir di masa depannya. “Apa ini yang gue pengin? Belajar dari kecil sampai sekarang, hanya untuk kerja di sebuah perusahaan, yang seniornya nyuruh beli payung tanpa alasan?” (hal 224).

Tetapi lama kelamaan Radit memiliki tekad untuk merubah masa depannya. Dia mencetak semua naskah blog yang berjudul Kambing Jantan, lalu pergi ke penerbit GagasMedia. Akhirnya naskah tersebut diterima dan akan diterbitkan. Itu kali pertama  Radit merasa sangat bahagia. Kemudian dia menjual gawainya, diganti dengan yang lebih jelek. Dia kumpulkan uang agar bisa keluar dari kantor dan terjun bebas, tanpa parasut.

Radit juga membahas kecenderungan orang yang memandang karir dengan cara yang salah. “Secara tradisional, kita melihat karir sebagai garis vertikal: ke atas. Orang bermula sebagai sales, lalu naik menjadi sales supervisor, lalu naik menjadi direktur sales dan marketing. Gue sadar, gue bisa membuat karir gue ke samping: horizontal. Maka, setelah jadi penulis, gue geser menjadi penulis skenario, lalu geser lagi menjadi sutradara, geser menjadi aktor”. (hal 227).

Padahal tidak ada bedanya antara karir yang terus naik atau pun karir yang hanya bergeser. Itu semua masih sama-sama dalam zonanya, tidak melewati batas karir. Misal seorang pedagang lalu menjadi karyawan bank dan pada akhirnya menjadi karyawan disebuah perusahaan.

Memang benar adanya ketika kita sudah beranjak dewasa, saya teringat ketika Sekolah Dasar, guru bertanya, akan menjadi apa ketika sudah dewasa nanti, lalu sebagian besar siswa menjawab dokter, guru, astronot. Berbeda dengan sekarang, bila ditanya cita-cita, kita justru sulit untuk menjawabnya, bahkan bertanya dalam diri sendiri sebenarnya saya ini mempunyai bakat atau kemampuan apa sih? 

Berbeda dengan anak sekarang, bila ditanya cita-cita, mereka justru menjawab ingin menjadi youtubers atau selebgram. Karena sekarang hanya dengan kita mengunggah video entah di akun Instgram atau Youtube sudah langsung dikenali banyak orang. Apalagi bila video yang kita unggah itu menuai berbagai kontroversi. Tetapi untuk saat ini, banyak warganet yang sengaja mengunggah konten yang buruk di kalangan masyarakat hanya untuk sebuah ketenaran. 

Mereka tidak peduli apa dan bagaimana isinya, yang penting dengan mereka mengunggah video tersebut mereka bisa langsung terkenal. Seperti dalam buku ini, ada anak yang ingin jadi Youtuber. Sewaktu ditanya orangtuanya kenapa ingin jadi Youtuber, mereka menjawab biar seperti Reza Arap. Waktu penasaran siapa itu Reza Arap, mereka membuka Youtube, mereka kaget karena isi videonya berbicara kata-kata yang tidak pantas atau kata-kata kasar. Orangtua zaman sekarang pun bingung, kenapa kata-kata kasar ini bisa dijadikan cita-cita. Lalu mau bagaimana lagi, dunia memang sudah berubah.



Hingga akhirnya Radit jadi seorang penulis. Namun, masalah tidak berhenti sampai disitu. Banyak berita simpang siur mengenai seseorang yang bekerja sebagai penulis, mulai dari profesi yang paling banyak kemungkinan bunuh diri, makhluk malam hari, nggak punya teman, dan mengasingkan diri hidup di sebuah gua gelap. Tetapi, Radit tetap berdiri tegak atas apa yang telah dipilihnya itu. Karena “Perasaan paling bahagia menjadi penulis adalah ketika pembaca kita melihat karya kita menjadi lebih dari yang karya itu kita maksudkan”. (hal 230)

Dalam karya Raditya Dika kali ini, sungguh berbeda dengan karya-karya sebelumnya, walaupun judul yang digunakan masih menggunakan nama binatang, tetapi untuk isinya kali ini sungguh berbeda. Radit sama sekali tidak membahas masalah cinta seperti halnya pada novel-novel sebelumnya. Dan buku ini sangat memberi motivasi untuk kita yang masih bimbang melihat perjalanan hidup yang akan kita tempuh selanjutnya. Untuk memandang ke depan, kita juga tidak boleh melupakan masa lalu, karena masa lalu itu bukan untuk dilupakan, justru masa itulah yang mengajarkan kita untuk menjadi lebih baik di masa depan, dan dengan kita tahu buruknya masa yang sudah kita jalani, sehingga kita akan berpikir untuk belajar menjadi lebih baik di masa yang akan datang.

Oleh : Citra Amelia Sudiyati
Mahasiswi FBS Universitas Negeri Semarang
Bagikan :

Tambahkan Komentar