Oleh Hamidulloh Ibda
Pengajar Bahasa Indonesia Lanjutan di STAINU Temanggung, Pengurus
Bidang Literasi Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jawa Tengah
Barangkali, barang-barang di atas menjadi barang
sarkas, kasar, atau tak patut. Sama seperti kata makian yang lain. Di Pati,
tempat kelahiran saya, misalnya, ada ungkapan matanem, picek, damput,
pitek, kakekanem, dan lainnya. Di Semarang, tempat saya berteduh dan menepi
dari garangnya kabut malam, ada idiomatik celeng, gateli, gapleki, asu,
dan lainnya.
Sementara di Jawa Timur, khususnya bagian barat,
ungkapan itu berupa dancuk, dan di Jawa Timiur bagian timur memakai "j" yaitu jancuk. Beda
aksentuasi, tapi subtansinya sama, marah! Sedangkan yang lain, entah di
dalam maupun luar negeri, ada istilah anjing, perek, kampret, cukimai, fuck
you, mother fuck, dan lainnya.
Di Temanggung, tempat saya mengajar, ada ungkapan
yang seirama dan senada. Istilah itu telo, jidor, dan sikak. Ada
pula yang menulis thelo, jedor, atau yang lain. Tapi, substansinya sama,
yaitu makian, muakan, marah, memberontak terhadap anomali bahkan patologi. Oh
iya, ada pula yang halus sekaliber telo, yaitu ceret.
Apakah barang-barang di atas buruk? Nanti dulu,
kita harus melihat dan mentradisikan membaca sebuah gagasan sampai tuntas. Jangan
pahami sesuatu secara sepenggal, parsial, dan dangkal biar Anda tidak jadi
kecebong. Sebab, dalam linguistik, setiap kata itu ada kodifikasinya. Mulai
dari kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya.
Kode bahasa, pemakaiannya bisa siapa saja dan semua
orang bisa memahaminya. Wong namanya kode bahasa, standar, semua orang
bisa memahami tanpa ada kalimat yang metafor, bersayap, dan enigmatis. Contohnya,
aku lapar, makan yuk! Gampang dipahami to?
Kemudian kedua kode sastra. Nah, ini mulai harus
memakai ilmu jika ingin memahaminya. Contohnya, aku melihat Tuhan di matamu?
Nah, ini mulai susah. Maksude kepriwek?
Maka dalam memahami kalimat seperti itu harus
menggunakan pendekatan sastra. Dalam sastra, domainnya hanya dua, yaitu ilmu
sastra dan karya sastra. Memahami karya sastra, atau kata, frasa, kalimat,
paragraf sastra harus menggunakan ilmu, etika, dan humanisme. Jadi, nggak
sembarangan orang bisa menafsir “semau gue” dari rentetan kata-kata itu.
Selain itu, ada gaya bahasa atau majas yang
tingkatannya bisa kita analisis dari umpatan ceret, telo, jidor dan sikak.
Yaitu, dari ironi, sinisme, dan sarkasme. Ironi yang paling rendah, sebuah majas
yang tingkatannya kritik atau makian yang masih halus. Kategorinya, bisa ceret
dan telo.
Naik lagi, yaitu sinisme, di Temanggung, bisa
dikategorikan jidor atau jedor. Sedangkan yang paling kasar,
yaitu sarkasme. Maka sikak bisa masuk dalam kategori itu, berarti
sekaliber asu, jancuk, dan lainnya.
Nah, pertanyaannya, apakah itu semua buruk?
Kalimat Tayibah
Kalimat yang baik di dalam Bahasa Arab disebut
kalimat tayibah. Ceret, telo, jidor, dan sikak, diungkapkan
ketika melawan kezaliman, atau protes terhadap perlakukan berlebihan, anomali dan kondisi menyakitkan. Itu pasti. Artinya, tidak ada kata-kata ceret,
telo, jidor, sikak, asu, celeng, matanem, kakekanem, fuck you
diungkapkan untuk menjahati orang. Justru, semua kalimat itu diungkapkan,
diucapkan, diludahkan, ketika kita mendapatkan perlakuan jahat dari seorang atau segerombolan orang.
Jika kata ceret, telo, jidor, dan sikak, diungkapkan untuk melawan kejahatan, berarti dia adalah kata atau kalimat baik. Kalimat yang baik dalam Bahasa Arab disebut kalimat tayibah. Nah, wis ketemu rumuse!
Jika kata ceret, telo, jidor, dan sikak, diungkapkan untuk melawan kejahatan, berarti dia adalah kata atau kalimat baik. Kalimat yang baik dalam Bahasa Arab disebut kalimat tayibah. Nah, wis ketemu rumuse!
Orang yang mengucapkan sikak, adalah orang
yang protes kepada kejahatan, atau melawan kejahatan. Orang mengucapkan sikak, bukan melakukan kejahatan, tapi itu muncul menjadi idiom budaya untuk protes terhadap kejahatan yang menimpa. Jika begitu, baik
nggak? Ayo dipikir!
Artinya, sikak lovers adalah kumpulan
orang-orang yang melawan kezaliman, kejahatan. Bukan orang yang melakukan
kejahatan.
Jika kita memiliki barang, misalnya, kemudian
dicuri orang, apa yang kita ungkapkan? Kalau kita bukan wali, tentu langsung
bilang kampret, asu, celeng, sikak. Benar nggak?
Jika kita memiliki celana dalam, misalnya, kita
jemur dan dicuri orang, apa yang kita lakukan? Misuh nggak?
Berarti, kata-kata itu muncul sebagai idiom budaya yang melampaui kodifikasi bahasa. Maksudnya, kita bisa mengatakan kata-kata itu
sesuai konteksnya, ruang, waktu, dan sah-sah saja. Nggak haram. Di Alquran pun, saya mencari
bertahun-tahun nggak menemukan idiom kampret, celeng, apalagi jancuk
dan sikak.
Dalam Islam sendiri, kita disarankan berkata-kata
baik atau tayibah. Seperti subnahallah, alhamdulillah, lailaha illallah,
allahu akbar, la haula wala quwwata illa billahil aliyyil azim, dan lainnya. Namun, semua itu bergantung kekuatan hati
manusia. Dan, tidak bisa distandardisasi, karena tingkatan orang berbeda, dan teknologi batin mereka juga berbeda. Ada orang yang dianiaya, ia kuat hati
dan badannya, sehingga kata yang muncul ya subnahallah dan lainnya.
Tapi, itu kan bagi yang kuat. Kita memang
disarankan berkata-kata baik, namun jika dianiaya orang kok kita tidak kuat, yo
langsung wae ngomong sikak!
Ketika Anda naik motor, lalu diserempet orang, kalau hati Anda nggak kuat, ya langsung wae ngomong sikak ketika Anda memang tidak kuat hatinya. Jika kuat, ya ucapkanlah subnahallah, alhamdulillah, lailaha illallah, allahu akbar, la haula wala quwwata illa billahil aliyyil azim. Jika tidak kuat, langsung wae, jancuk!
Ketika Anda naik motor, lalu diserempet orang, kalau hati Anda nggak kuat, ya langsung wae ngomong sikak ketika Anda memang tidak kuat hatinya. Jika kuat, ya ucapkanlah subnahallah, alhamdulillah, lailaha illallah, allahu akbar, la haula wala quwwata illa billahil aliyyil azim. Jika tidak kuat, langsung wae, jancuk!
Dalilnya jelas, “Allah tidak menyukai ucapan
buruk (yang diucapkan) dengan terus terang, kecuali oleh orang yang dianiaya.
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Annisa: 148).
Nah, sudah ketemu rumusnya. Jika Anda dianiaya temanmu, langsung wae sikak tenan!
Jadi, peta budaya dan setting epistemologisnya, dalil di Alquran jelas. Jika kita dianiaya, dan kita nggak kuat, langsung aja bilang sikak
lo!
Tambahkan Komentar