Temanggung, Hariantemanggung.com – Selama ini, selain terkenal dekat dengan kualitas agama Islamnya, baik secara teoretis dan praktis, dunia santri tidak pernah terlepas dari faham nasionalisme. Apalagi, Hari Santri Nasional (HSN) 2017 didasarkan pada Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 silam saat itu Hadlratus Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari bersama para kiai mendeklarasikan resolusi jihad yang isinya adalah kewajiban bagi umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan dari upaya kaum penjajah yang ingin merebut kembali kemerdekaan dari tangan bangsa Indonesia.

Resolusi jihad tersebut terbukti sangat efektif karena berhasil menggerakkan para santri dan umat Islam yang ada di sekitar Surabaya, seperti Lamongan, Tuban, Gresik, Mojokerto, Jombang, dan lain-lain untuk berbondong-bondong datang ke Surabaya dalam rangka melawan kaum penjajah yang tidak rela bangsa Indonesia menikmati kemerdekaannya.

Perang 10 Nopember 1945 yang dikenal sebagai Hari Pahlawan tidak lepas dari resolusi jihad yang dikumandangkan Hadlratus Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari. Oleh karena itu, nasionalisme sangat lah penting bagi santri untuk mengawal garda depan NKRI.

“Santri tidak hanya melek agama, fikih, kalam, atau pun tasawuf. Akan tetapi santri di samping paham betul Islam secara langsung dari kitab kuning atau turats. Maka santri juga harus mampu mengemban tugas kebangsaan  dalam menjaga tanah air, karena cinta tanah air   merupakan bagian dari keimanan sesuai prinsip hubbul wathan minal iman,” beber Sumarjoko, M.S.I Ketua Jurusan Syariah STAINU Temanggung, Sabtu (21/10/2017) yang merillis hasil penelitiannya di Kopertais Wilayah X Jateng.

Dalam penelitiannya bertajuk "Nasionalisme Santri di Pesantren Miftahurrosyidin dalam Menanggulangi Radikalisme Islam di Kabupaten Temanggung”, ia menemukan bahwa spirit nasiolisme ternyata bisa bisa menanggulangi radikalisme yang telah dibuktikan di wilayah Temanggung.

Dari data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyebarnya faham radikalisme di negeri ini lantaran karena proses Islamisasi yang dilakukan di kalangan anak muda ini berlangsung secara tertutup. Selain itu, proses Islamisasi itu juga cenderung tidak terbuka pada pandangan Islam lainnya, apalagi yang berbeda keyakinannya.
Sumarjoko juga menilia, apalagi pemahaman seperti ini dibiarkan dan tidak ditangani dengan serius, maka dapat membuka sumbu disintegrasi bangsa karena mereka menganggap ideologi Pancasila tidak lagi penting dan sudah kuno.

Menurut Ketua MWC NU tersebut, proses Islamisasi seperti di atas memang kebanyakan terjadi secara monolitik dan terjadi masjid yang dikuasai kelompok tertentu yang konsekuensi ikutannya adalah sikap intoleran, radikal dan menggerakkan faham membid’ahkan, menyalahkan, mengkafirkan dan lainnya. Akan berbahaya, jika generasi ini ketika besar menempati posisi penting dalam jabatan tertentu. Maka nasionalisme itu harus dikuatkan minimal di lingkungan pesantren yang dihuni kaum santri.


Ke depan, menurut dia, jika dikembangkan lebih luas lagi, ia optimis radikalisme akan semakin berkurang bahkan akan musnah jika diperkuat dengan spirit kebangsaan tersebut. Apalagi tidak semua orang paham secara detail apa itu nasionalisme.

Ia berharap, ada penelitian lanjutan yang skalanya lebih luas agar nasionalisme benar-benar menjadi kekuatan untuk memberantas radikalisme di negeri ini. (HT99/HI)
Bagikan :

Tambahkan Komentar