oleh: Zahra Agid Tsabitah
Senja merayap di langit Kota. Nara duduk di balkon apartemennya. Lampu-lampu kota mulai menyala, tampak seperti bintang jatuh yang menetap. Nara merasa sendiri. Ibunya lembur, dan teman-temannya punya acara lain.
Tiba-tiba, di antara pot-pot bunga, Nara melihat secercah cahaya bergerak. Kecil, kekuningan, dan berkedip. Seekor kunang-kunang! Di tengah bising dan terangnya kota, ada makhluk kecil ajaib ini.
Nara mengulurkan jari telunjuknya perlahan. Kunang-kunang itu mendekat, terbang melingkar sebentar, lalu hinggap dengan hati-hati di ujung jari Nara. Cahayanya lembut, menenangkan.
"Hai," bisik Nara. "Kamu tersesat ya? Di sini banyak lampu, tidak seperti di kampung halaman nenek."
Kunang-kunang itu diam, tapi cahayanya berkedip lebih terang seolah menjawab. Nara tersenyum. Ia ingat cerita ibunya tentang kunang-kunang yang membawa pesan dari langit.
Malam semakin larut. Nara bercerita pada kunang-kunang tentang sekolahnya, tentang tugas menggambar yang sulit, dan tentang rasa rindunya pada suasana pedesaan. Kunang-kunang itu tetap setia menemani, cahayanya menjadi satu-satunya penerang di balkon.
Ketika suara pintu terbuka menandakan ibunya pulang, kunang-kunang itu terbang lagi, berputar kecil di depan Nara, lalu melesat pergi ke kegelapan.
Nara masuk dengan perasaan lebih baik. Ia tidak lagi merasa sendiri. Cahaya kecil itu telah mengingatkannya bahwa selalu ada keajaiban, bahkan di tengah ramainya kota. Ia berjanji, besok malam akan kembali menunggu sahabat kecilnya di balkon.
Tambahkan Komentar