Oleh: Audia Widyaningrum
Namanya Arya. Sejak kecil, ia selalu memandang hidup seperti sungai. Kadang tenang dan jernih, kadang bergejolak dengan riak dan bebatuan tajam. Perjalanan hidupnya, seperti setiap aliran sungai, punya hulu dan hilir yang belum terjamah.
Hulunya adalah desa kecil di kaki gunung, tempat embun pagi selalu menyisakan butiran mutiara di ujung dedaunan. Arya kecil tumbuh dengan suara gemericik air irigasi dan aroma tanah basah. Ayahnya seorang petani sederhana, dan ibunya penenun kain. Mereka mengajarkan Arya tentang kesederhanaan, ketekunan, dan pentingnya menghargai setiap tetes air—setiap momen—dalam hidup. Ia belajar memancing di sungai, merasakan dinginnya air, dan mengamati bagaimana arus selalu menemukan jalannya, tak peduli rintangan di depan.
Ketika beranjak remaja, arus sungai kehidupannya mulai membawa Arya jauh dari desa. Ia harus pergi ke kota untuk melanjutkan pendidikan. Ini adalah cobaan pertamanya. Kota adalah laut luas yang penuh dengan gelombang tak terduga. Rasa rindu pada desa, pada aroma tanah dan suara gemericik air, seringkali menghampirinya. Namun, ia ingat pesan ayahnya: "Air yang mengalir tidak akan pernah busuk, Nak. Teruslah bergerak." Arya belajar beradaptasi. Ia bekerja keras, menghadapi persaingan, dan belajar bahwa di kota, sungai kehidupan bergerak lebih cepat, terkadang bahkan tanpa jeda.
Ada masa-masa di mana arusnya terasa sangat deras, menyeretnya melewati bebatuan tajam kegagalan dan kekecewaan. Ia pernah gagal dalam ujian penting, juga pernah dikhianati oleh orang yang dipercaya. Setiap kali itu terjadi, ia merasa lelah, ingin berhenti dan menepi. Namun, seperti sungai yang tak pernah benar-benar berhenti mengalir, Arya selalu menemukan kekuatan untuk bangkit. Ia belajar dari setiap benturan, setiap luka, menjadikan itu pengalaman yang menguatkannya, bukan menghancurkannya.
Kemudian, datanglah fase di mana sungainya bercabang. Arya dihadapkan pada pilihan-pilihan besar: karir, cinta, tempat tinggal. Ia memilih jalan yang paling berliku, bukan karena ingin mencari kesulitan, melainkan karena ia percaya di sana ada pelajaran yang lebih dalam. Ia menemukan cintanya di tengah riuhnya kota, membangun keluarga, dan meniti karir yang awalnya tak pernah ia bayangkan. Sungai kehidupannya kini mengalir bersama aliran-aliran kecil lainnya, membentuk arus yang lebih besar dan kompleks.
Kini, di usia senjanya, Arya sering duduk di tepi sungai sungguhan, memandang aliran air yang tenang. Rambutnya memutih, kerutan di wajahnya adalah peta perjalanan panjang yang telah ia lalui. Ia melihat ke belakang, mengenang setiap tikungan, setiap jeram, setiap anak sungai yang pernah ia lalui. Ia menyadari, hidup memang seperti sungai. Tidak selalu lurus, tidak selalu mulus. Ada saatnya air tenang, ada saatnya bergelombang. Ada saatnya air jernih, ada saatnya keruh.
Namun, yang terpenting, sungai itu selalu mengalir. Tidak pernah berhenti. Dan seperti sungai yang pada akhirnya akan bermuara di laut luas, Arya percaya bahwa setiap perjalanan, setiap pengalaman, setiap suka dan duka, akan bermuara pada pemahaman yang lebih besar tentang kehidupan itu sendiri. Ia tersenyum. Hidup adalah perjalanan yang indah, tak peduli seberapa deras arusnya.
Tambahkan Komentar