Oleh : Khansa Aisyatul Nabilla

Di Kampung Sukamaju, ronda malam bukan sekadar kewajiban keamanan lingkungan tapi ajang reuni bapak-bapak, tempat segala keluhan rumah tangga, gosip terbaru, dan teori konspirasi kucing tetangga dibahas tuntas. Malam itu, giliran ronda jatuh pada trio paling legendaris yakni Pak Dul, Pak Komar, dan Pak Slamet. Mereka bertiga disebut "Trio Lampu Petromax", karena sejak dulu tugas mereka hanya seputar ngopi, ngobrol, dan ngantuk.


Pak Dul, si ketua RT yang terlalu semangat, datang ke pos ronda lebih awal. Mengenakan jaket rompi hitam, celana training yang sudah melar di lutut, dan sandal swallow warna biru dengan tulisan "Dul Gans" kepanjangan dari Dul Ganteng katanya agar sendalnya tidak tertukar dengan yang lain. Ia membawa termos besar berisi kopi dan sekotak biskuit yang sudah melempem sejak Lebaran kemarin. Tak lama, datang Pak Komar membawa kentang goreng buatan anaknya yang lebih cocok disebut "kentang keras rasa karbon". Disusul Pak Slamet dengan bantal kecil dan koran bekas, bersiap jika nanti suasana makin membosankan.


Malam dimulai seperti biasa mengobrol seputar cerita-cerita zaman dulu, keluhan harga sembako, dan debat tentang siapa yang mencuri sandal Pak Karto dua minggu lalu. Hingga tiba-tiba, terdengar suara gaduh dari arah rumah Bu Tuminah. Suara dentuman seperti ember jatuh, lalu suara "meong" yang cukup dramatis.


Pak Dul langsung berdiri. "Ini saatnya kita bertindak! Jangan remehkan suara kucing. Bisa jadi itu penyamaran tuyul atau maling!"


Pak Komar menyalakan senter. "Maling sekarang canggih. Bisa pakai teknologi kucing. Kita harus siaga."


Pak Slamet menghela napas. “Dulu ronda enak. Tinggal tidur sambil bawa kentongan. Sekarang malah paranoid.”


Namun demi nama baik keamanan kampung, mereka bertiga menyusuri gang sempit menuju rumah Bu Tuminah. Lampu halaman remang-remang, dan toples kerupuk terlihat terguling. Mereka menyisir area seperti detektif amatir. Tapi setelah lima menit berkeliling, yang mereka temukan hanya seekor kucing hitam gemuk yang tampak tidak bersalah sambil menjilati bekas kerupuk.


“Aduh... ini kucingnya Bu Tuminah. Namanya Nugroho,” ujar Pak Komar sambil menyorotkan senter ke arah kucing itu.


Pak Dul mendengus. “Nama kucing kok kayak kepala dinas.”


Kucing itu menatap mereka seperti ingin berkata, “Kalian nggak ada kerjaan lain?”


Setelah memastikan tidak ada kejahatan serius, mereka pun kembali ke pos ronda. Namun suasana jadi berubah. Pak Dul tampak murung.


"Kampung ini makin sepi. Dulu banyak kejadian. Sekarang maling pun malas datang," keluhnya sambil mengaduk kopi.


“Bagus dong, berarti aman,” ujar Pak Slamet.


“Bukan itu. Ronda jadi nggak menantang,” lanjut Pak Dul sambil menatap langit penuh harapan seperti anak kecil yang gagal main petasan. Lalu muncullah ide konyol.


“Bagaimana kalau kita bikin simulasi penyusupan? Biar warga tetap waspada!” usul Pak Dul dengan semangat. “Kita bikin ‘Operasi Ronda Rahasia’. Aku jadi maling pura-pura, kalian tangkap aku, terus kita lapor ke warga bahwa ronda berhasil!”


Pak Komar dan Pak Slamet saling pandang. “Ide bagus, tapi lebih bagus kalo gausah dijalankan pak” komentar Pak Komar.


Tapi karena tidak ada tontonan yang lebih seru dan TV rusak karena petir minggu lalu, mereka akhirnya setuju. Maka, dimulailah "Operasi Ronda Rahasia".


Pukul 1 dini hari, Pak Dul mulai menjalankan misi. Ia berpakaian serba hitam, memakai masker hitam (yang terlalu kecil hingga telinga tertarik), dan membawa tas kosong untuk menambah kesan mencurigakan. Ia menyusup ke rumah Pak RW lewat pagar belakang. Rencananya sederhana. Buat sedikit suara, lalu ditangkap pura-pura oleh Pak Komar dan Pak Slamet, supaya besok bisa ada “berita heboh” di grup WhatsApp warga.


Namun rencana itu langsung kacau ketika Pak RW yang insomnia mendengar suara langkah mencurigakan dan spontan melempar sendok ke arah Pak Dul.


“HAIYA! Maling!!!”


Pak Dul panik, terpeleset di karpet, dan menabrak pot bunga. Pak RW langsung keluar rumah sambil membawa wajan yang niatnya akan digunakan untuk memukul maling. Dalam waktu 7 menit, warga sudah berkumpul membawa sapu, galah jemuran, dan satu orang membawa senter dari hape yang baterainya tinggal 3%.


Pak Komar dan Pak Slamet yang terlambat muncul, langsung bingung.


“Malingnya... itu Pak Dul!” bisik Pak Slamet sambil menahan tawa.


Pak Dul mencoba bangkit dan melepas masker. “Sabar! Ini cuma simulasi! Edukasi warga!”


Namun warga tidak percaya begitu saja. Ibu-ibu sudah histeris, anak-anak nonton dari jendela, dan kucing Nugroho ikut naik ke atas kepala Pak Dul entah kenapa.


Akhirnya, setelah dijelaskan dengan penuh drama, teriakan, dan klarifikasi lewat corong masjid, warga bubar sambil geleng-geleng kepala. Pak Dul duduk lesu di pos ronda dengan es batu di pelipis.


“Udah, Pak. Minggu depan kita main catur aja. Simulasi bikin kepala benjol,” ujar Pak Komar sambil tertawa terbahak.


Pak Slamet mengangguk sambil menyeruput kopi. “Setidaknya malam ini kita nggak bosan. Dan Pak RW jadi latihan refleks.”


Pak Dul mengangguk pelan. “Iya, iya. Tapi Nugroho harus dikarantina. Dia terlalu aktif di jam-jam rawan.”


Malam pun berakhir dengan tawa dan sedikit benjol. Dan sejak saat itu, di Kampung Sukamaju kalau ada suara mencurigakan warga tak langsung panik. Mereka akan cek dulu “Itu maling... atau Pak Dul lagi simulasi?”

Bagikan :

Tambahkan Komentar