Oleh: Ghaida Mutmainnah

Senja menggantung di ufuk barat, menumpahkan semburat jingga yang menyelimuti halaman pesantren. Angin sore berembus lembut, membawa aroma kayu bakar dari dapur santri. Di bawah pohon mangga tua, aku dan dia duduk berjarak. Sejauh kata yang tak bisa diucap, sedekat doa yang tak pernah sampai.


Namanya Aqila, gadis dengan mata teduh dan suara selembut lantunan ayat-ayat Al-Qur’an. Aku mengenalnya sebagai salah satu pengurus pesantren, sedangkan aku hanya santri baru yang masih belajar menundukkan pandangan.


Hari itu kami sedang menunggu ustaz untuk rapat kecil. Suasana sunyi di antara kami lebih gaduh dari riuh suara anak-anak di asrama. Aku ingin bicara, tapi kata-kata selalu kalah oleh degup jantungku.


“Kamu sering baca buku di sini, ya?” suaranya memecah hening.

Aku tersenyum gugup. “Iya, tempatnya… tenang.”

“Tenang, atau karena jarang ada yang lewat?” tanyanya, mata teduhnya menatapku sekilas.

“Mungkin keduanya,” jawabku pelan.


Sejak hari itu, aku selalu berharap ada alasan untuk kembali ke bawah pohon mangga tua.


Pertemuan kami selalu sederhana. Di lorong asrama saat dia mengantarkan mushaf, di aula saat latihan nasyid, atau di perpustakaan pesantren. Kami jarang bicara, tapi setiap tatapan seolah mengucapkan kata-kata yang kami takutkan sendiri.


Sampai suatu malam, aku mendengar kabar dari teman seangkatan.

“Jangan terlalu dekat sama Aqila. Keluarganya keturunan kiai besar. Katanya nggak sembarangan orang bisa jadi pendamping hidupnya.”

Kata-kata itu seperti guntur yang menggelegar di dada.


Aku anak desa biasa dengan nasab yang tak punya gelar apapun—hanya bisa tersenyum pahit. Sementara dia… lahir dari keluarga yang silsilahnya bersambung ke para ulama besar.


Suatu sore, di bawah pohon yang sama, aku memberanikan diri.

“Aqila, boleh aku tanya sesuatu?”

Dia mengangguk. “Tanya saja, kalau aku bisa jawab.”

“Kalau ada dua orang yang saling mendoakan… tapi garis nasabnya berbeda jauh, apa doa itu tetap sampai?” tanyaku, berusaha terdengar tenang.


Dia terdiam lama. Angin sore seperti ikut menahan napas.

“Doa selalu sampai,” jawabnya akhirnya. “Tapi tak semua doa dikabulkan seperti yang kita mau.”


Mataku menangkap gurat sedih di wajahnya. Kami sama-sama tahu, pembatas itu bukan hanya pada nama keluarga. Ada harapan yang tak bisa kami selipkan dalam rencana Tuhan.


Hari demi hari, jarak kami semakin terasa. Dia mulai menghindari tatapanku, aku pun hanya bisa menatap punggungnya dari jauh. Sampai akhirnya, di sebuah malam yang sunyi, aku memberanikan diri mengirim pesan lewat kertas yang kuselipkan di buku perpustakaan:


“Kalau suatu hari nanti kita tak lagi bisa saling menyapa, semoga kita masih bisa saling mendoakan. Aku ingin jadi alasanmu bahagia, meski bukan aku yang mendampingimu.”


Keesokan harinya, buku itu kembali ke rak, dan di halaman yang sama ada tulisan tangannya:


“Terima kasih sudah pernah ada. Di balik nama yang membatasi, aku tetap mendoakanmu.”


Beberapa tahun kemudian, aku mendengar kabar pernikahannya. Nama mempelai pria itu disebutkan dengan gelar-gelar panjang. Aku hanya tersenyum getir, duduk di serambi rumah sambil menatap undangan yang tak pernah sampai padaku.


Tapi setiap kali senja datang, aku masih suka duduk di bawah pohon mangga tua. Berdoa diam-diam, semoga dia bahagia dengan jalan yang Tuhan pilihkan.


Karena cinta, terkadang bukan tentang memiliki. Cinta adalah doa yang tulus, bahkan ketika kita bukan orang yang bisa menyebut namanya di sepertiga malam.

Bagikan :

Tambahkan Komentar