Oleh : Indah Kurnia Sari
Di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh hamparan sawah dan pepohonan rindang, terdapat sebuah telaga yang tenang dan jernih. Penduduk desa menyebutnya Telaga Kenangan, karena di sanalah banyak cerita lama tersimpan, seperti jejak kaki yang tak pernah hilang meski air terus mengalir.
Raka, seorang pemuda desa yang baru saja kembali dari kota, berjalan menyusuri pinggir telaga itu. Ia membawa sebuah kotak kayu kecil, berisi surat-surat dan foto-foto lama milik neneknya yang telah tiada. Nenek Raka sering bercerita tentang masa mudanya di desa ini, tentang cinta yang terpendam dan janji yang belum sempat terucap.
Matahari sore mulai merunduk, menciptakan bayangan panjang di atas air telaga. Raka duduk di sebuah batu besar, membuka kotak kayu itu perlahan. Di dalamnya, ia menemukan sebuah surat yang tertulis dengan tinta pudar. Surat itu ditulis oleh neneknya untuk seorang pria bernama Jaya, yang merupakan cinta pertama neneknya.
Dalam surat itu, nenek bercerita tentang janji mereka untuk bertemu di tepi telaga setiap tahun pada tanggal yang sama, meski takdir memisahkan mereka. Namun, Jaya tak pernah datang lagi setelah perang memisahkan mereka. Nenek Raka menulis bahwa meski rindu itu membekas, ia memilih untuk melanjutkan hidup demi keluarga dan desa.
Raka menatap air telaga, membayangkan jejak kaki nenek dan Jaya yang pernah mengukir kisah di sana. Ia merasa ada sesuatu yang harus ia lakukan untuk menghidupkan kembali kenangan itu, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk desa yang mulai melupakan sejarahnya.
Keesokan harinya, Raka mengajak beberapa pemuda desa untuk membersihkan area sekitar telaga. Mereka membersihkan sampah, menata batu-batu yang berserakan, dan menanam bunga-bunga warna-warni di tepi telaga. Warga desa mulai tertarik dan ikut bergabung, menghidupkan kembali semangat yang lama hilang.
Pada malam purnama, Raka mengadakan sebuah acara kecil di tepi telaga. Ia membacakan surat neneknya dengan suara yang penuh haru, diiringi alunan gamelan yang dimainkan oleh para tetua desa. Suasana menjadi sakral dan penuh kenangan, seolah-olah nenek dan Jaya hadir di antara mereka.
Seorang perempuan tua yang hadir, yang ternyata adalah sahabat lama nenek Raka, menangis terharu. Ia bercerita bahwa Jaya sebenarnya masih hidup, tinggal di desa sebelah, dan selalu merindukan nenek Raka. Namun, ia terlalu malu untuk kembali.
Mendengar itu, Raka merasa terpanggil untuk menyatukan kembali dua hati yang terpisah oleh waktu. Ia menghubungi Jaya dan mengajaknya datang ke telaga pada peringatan berikutnya. Ketika hari itu tiba, Jaya dan nenek Raka yang kini telah tiada, seolah bertemu kembali dalam kenangan yang hidup di hati semua orang.
Telaga Kenangan pun menjadi saksi bisu dari sebuah cinta yang abadi, yang mengajarkan bahwa meski waktu berlalu dan jarak memisahkan, jejak kaki di hati takkan pernah hilang.
Tambahkan Komentar