![]() |
Foto Fibercreme |
Oleh : Khansa Aisyatul Nabilla
Setiap kali Lebaran tiba, aroma khas ketupat selalu hadir di meja makan rumah-rumah Indonesia. Ia bukan hanya makanan pelengkap opor ayam, sambal goreng ati, atau rendang, tapi juga menjadi penanda kuat bahwa momen Idulfitri telah benar-benar datang. Namun, benarkah ketupat hanya sekadar hidangan? Di balik anyaman daun kelapa muda dan beras yang dikukus hingga padat, tersembunyi filosofi dan nilai budaya yang mendalam, yang kini perlahan-lahan mulai dilupakan seiring berjalannya waktu.
Dalam masyarakat Jawa, ketupat memiliki nama lain “Kupat”, yang merupakan singkatan dari “ngaku lepat” (mengakui kesalahan) dan “laku papat” (empat tindakan). Empat tindakan tersebut meliputi lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Lebaran berarti selesai, sebagai tanda akhir dari bulan Ramadan. Luberan bermakna limpahan rezeki dan berkah yang harus dibagikan kepada sesama. Leburan berarti melebur dosa dengan saling memaafkan, dan "Laburan" melambangkan kesucian hati setelah menjalani puasa sebulan penuh. Dengan kata lain, ketupat adalah simbol spiritual dan sosial yang mengajarkan manusia untuk kembali menjadi pribadi yang bersih, rendah hati, dan saling peduli.
Bentuk fisiknya pun sarat makna. Anyaman ketupat yang rumit melambangkan kompleksitas kesalahan manusia. Kita sering tersesat dalam kesalahan yang tampak kusut dan saling berkelindan. Namun, saat ketupat dibelah, kita akan menemukan isian beras yang putih bersih dan padat, sebagai cerminan hati yang telah disucikan setelah melewati proses pengakuan dan saling memaafkan. Ketupat menjadi lambang keterbukaan hati dan kejujuran, bahwa di dalam diri yang tampak rumit, selalu ada potensi untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Namun kini, di tengah gaya hidup yang serba cepat dan praktis, ketupat mulai kehilangan tempat sebagai simbol sakral. Banyak keluarga lebih memilih membeli ketupat siap santap di pasar atau supermarket. Bahkan sebagian hanya menggantinya dengan lontong atau nasi biasa demi alasan efisiensi. Tidak ada yang salah dengan itu kita hidup di zaman yang memang menuntut kepraktisan. Tapi tanpa disadari, kita mulai menjauh dari proses. Kita tidak lagi merasakan bagaimana susahnya menganyam janur, mencuci beras berkali-kali, dan menunggu ketupat matang selama berjam-jam dengan sabar. Padahal, dalam proses itulah nilai-nilai kesabaran, kerja keras, dan kekompakan keluarga justru dilatih.
Bagi sebagian orang, proses membuat ketupat adalah bagian dari ritual yang menyatukan keluarga. Anak-anak membantu mencuci janur, para ibu menganyam sambil mengobrol, dan para bapak biasanya jadi tim tukang rebus sekaligus penjaga kompor. Di sinilah letak nilai sosial ketupat—ia hadir sebagai alat perekat antargenerasi, bukan hanya makanan yang disantap sesaat lalu dilupakan. Bahkan dalam banyak keluarga, tradisi membuat ketupat bersama menjadi momen nostalgia yang paling dirindukan, melebihi rasa makanan itu sendiri.
Ketupat juga menyimpan kekuatan budaya sebagai simbol persatuan. Hampir di seluruh wilayah Indonesia, ketupat hadir dalam berbagai bentuk dan nama. Di Madura ada “topot”, di Bugis disebut “katupa”, di Bali dikenal dengan “tipat”. Di Minangkabau, ketupat dihidangkan dalam tradisi “makan bajamba” yang menandai kebersamaan dan gotong royong. Artinya, ketupat bukan milik satu suku atau satu budaya saja, melainkan telah menjadi identitas nasional yang menyatukan banyak ragam dalam satu makna yang sama: perayaan dan permohonan maaf.
Sayangnya, arus globalisasi dan budaya instan membuat generasi muda perlahan menjauh dari nilai-nilai itu. Bagi sebagian anak muda urban, ketupat hanya muncul sebagai ‘konten’ di Instagram atau TikTok. Foto ketupat lengkap dengan caption “Lebaran vibes!” atau “Menu andalan mamah” hadir sebentar, lalu hilang ditelan algoritma. Ketupat tidak lagi dipahami sebagai simbol, melainkan sekadar ornamen lebaran. Mungkin saatnya kita kembali merenung apa arti sebenarnya dari makanan yang selalu kita banggakan ini?
Melestarikan ketupat bukan berarti harus menolak kemajuan atau menutup diri dari perubahan. Tapi kita bisa mulai dari hal keci seperti mengajarkan anak-anak cara menganyam janur, menjelaskan makna filosofisnya saat berbuka puasa, atau setidaknya tidak melewatkan tradisi itu tanpa cerita. Dengan begitu, ketupat tetap hidup, bukan hanya sebagai lauk, tapi sebagai pengingat akan akar budaya dan spiritualitas kita.
Di tengah dunia yang makin cepat dan penuh distraksi, ketupat mengajarkan kita untuk kembali pada kesederhanaan. Ia tidak mewah, tidak mahal, dan tidak viral. Tapi ia hadir tepat Waktu saat Idulfitri tiba, saat kita perlu kembali ke hati yang jernih, dan saat kita rindu akan rumah, keluarga, dan damai.
Ketupat adalah pelajaran diam-diam tentang kehidupan. Tentang bagaimana sesuatu yang rumit bisa dibuka perlahan, dibersihkan, dan dinikmati bersama. Maka, saat kita memakannya tahun ini, mari tidak hanya mengunyah rasa, tapi juga mengingat makna.
Tambahkan Komentar