Oleh : Khansa Aisyatul Nabilla


Setiap hari Minggu ketiga, suasana di RT 04 selalu berubah. Jika hari-hari biasanya hanya terdengar suara ayam, penjual sayur, atau motor bapak-bapak berknalpot racing. Maka hari itu rumah Bu Rini mendadak menjadi pusat peradaban. Meja ruang tamu penuh kue, taplak baru diganti, dan teh manis disajikan hangat dengan gelas-gelas bening yang hanya keluar sebulan sekali khusus arisan ibu-ibu. Semuanya tampak normal, kecuali satu hal yang tidak pernah absen aroma teh yang entah kenapa selalu terasa… lebih dari sekadar manis. Ya, ada rasa julid dalam setiap seruputannya.


Ibu-ibu datang dengan dandanan terbaik. Meski cuaca panas, mereka tetap mengenakan mukena renda sehabis pengajian hanya untuk menunjukkan bahwa mereka adalah “wanita sholehah bergaya”. Parfum yang digunakan bukan sembarangan, mulai dari bau bunga tujuh rupa, lavender, hingga aroma tajam citrus yang menusuk hidung  menciptakan suasana seolah sedang di lorong pusat perbelanjaan. Tapi jangan tertipu dengan senyum mereka yang hangat, karena di balik sapaan manis dan saling puji tas baru, terselip nada-nada yang bisa mengiris kepercayaan diri siapa pun yang tak siap mental.


Bu Yeyen misalnya, dikenal sebagai pemilik salon rumahan. Senyumnya selalu lebar, namun setiap orang tahu bahwa dia menyimpan data lengkap soal uban tetangga, jerawat remaja anak orang, hingga siapa yang suka hutang tapi tidak pernah bayar. Bu Wati lain lagi, spesialis komentar halus beracun. Ia bisa memuji kue buatan Bu Dinda sambil berkata, “Rasanya khas sekali, seperti kue-kue di warung jaman kecil dulu,” yang terdengar manis tetapi sejatinya menyindir rasa dan bentuknya yang seperti gagal mekar.


Ritual arisan bukan sekadar pengundian uang, melainkan juga ajang adu gengsi terselubung. Siapa membawa kue terenak, siapa yang make up-nya flawless, siapa anaknya ranking satu, siapa suaminya belum pulang sejak lebaran tahun lalu. Semua dibicarakan seolah itu informasi wajib nasional. Dan ketika satu ibu mendapat giliran arisan, minggu depannya rumahnya harus bersih, hidangannya lengkap, dan senyumnya kuat karena begitu ia masuk grup WhatsApp, komentar-komentar akan datang seperti angin malam yang dingin tapi menusuk.


Sore itu, giliran Bu Irma yang dapat undian arisan. Ia tersenyum sumringah saat namanya disebut, tapi semua orang tahu, itu pertanda minggu depan akan ada laporan evaluasi tidak resmi dari para anggota. Benar saja, begitu acara bubar, grup arisan “Berkah Ibu RT 04” langsung ramai. Ada yang bilang bolunya terlalu keras, ada yang mengaku menyelipkan ke tas karena takut sakit gigi, dan tentu saja ada yang memosting stiker sindiran halus bergambar gigi rontok.


Tak mau kalah, minggu berikutnya Bu Irma membalas dengan cara tak terduga. Ia mengundang arisan dadakan, katanya hanya ingin ‘silaturahmi tambahan’. Saat semua sudah berkumpul dan mulai menyeruput teh, Bu Irma menyajikan bolu buatan sendiri tapi kali ini dengan kejutan rasa cabai. Para ibu pun tercekat di suapan pertama. Bolu itu memang lembut, tapi lidah mereka langsung terbakar. “Itu bolu sambel, Bu. Inovasi dari YouTube. Biar yang suka nyinyir, bisa ngerasain pedasnya hidup,” ucap Bu Irma sambil tersenyum kalem.


Sejak kejadian itu, suasana arisan agak berubah. Masih tetap ramai, masih banyak tawa, masih ada sindiran… tapi kini lebih berhati-hati. Teh tetap manis, tapi ibu-ibu mulai sadar bahwa kata-kata lebih tajam dari lada, dan kadang bisa kembali seperti bumerang dalam bentuk bolu cabai. Dan meskipun tidak ada yang secara resmi meminta maaf, semua perlahan belajar  bahwa lebih baik menikmati kue apa adanya, daripada menertawakan dapur orang lain.

Bagikan :

Tambahkan Komentar